Karya: Ridho Al Fajri

Aku pernah goyah berdiri Pada titik paling gamang dalam hidup Dihadapkan pada dua pilihan Antara jatuh lalu binasa Atau kembali lalu menentang badai Aku bahkan kerap berdiskusi perihal pedih Pada akar-akar di palung semesta Pada rinai yang belum sempat bercengkerama dengan awan Pada ribuan kerikil yang dipaksa meninggalkan sungai Airmata, darah, juga nanah Peluh, letih dan kerabatnya lelah Menakdirkan diri senantiasa bersamaku Hingga titah Tuhan kirimkan kemudian Setiap penciptaan berhak atas senyum juga tawa Di sanalah lalu, harapan kupintal ke langit ‘Moga cerita berakhir bahagia'

Secarcik Harapan

by on Maret 31, 2017
Karya: Ridho Al Fajri Aku pernah goyah berdiri Pada titik paling gamang dalam hidup Dihadapkan pada dua pilihan Antara jatuh lalu bin...

Oleh: Salman Arif

Sudah tiga hari Pak Haji berkawan panas kota. Menghirup polusi dan menatap rimba beton yang berlomba memanjat langit. Kepalanya kacau tak keruan. Rasanya ada yang hilang dari kehidupannya selama beberapa hari ini.

“Orang kampung itu berjiwa sosial tinggi. Jangan sampai seperti burung lupa cara mengepak sayap. Bagaimana pula kau membuat pagar rumah setinggi dan serapat itu? Semut pun tak bisa mengintip ke pekarangan rumahmu!” ujar Pak Haji heran pada anaknya.

Kalau di kampung, jarang rumah berpagar. Orang kampung bisa bercakap antar teras ke teras rumah tanpa batas. Menikmati pagi sambil melihat anak-anak berangkat sekolah. Saling bertukar sapa dan berbagi kabar. Bocah-bocah bebas bermain di halaman rumah siapa saja yang mereka kehendaki. Nilai-nilai sosial begitu kentara. Berbeda jauh dengan kehidupan kota. Hal demikian sudah banyak ditinggalkan apalagi masyarakat ekonomi menengah ke atas.

Daripada duduk di teras menghadap tembok beku, Pak Haji memutuskan duduk di depan gerbang rumah di atas kursi lipat plastik setiap pagi, menemukan kembali sisi kehidupannya yang hilang. Menikmati aktivitas masyarakat di saat cahaya mentari masih lembut, menyapa pejalan kaki walau kadang dia pun ditatap bak orang sinting. Di kota, kadang sapaan dianggap suatu yang aneh pula, dianggap modus atau apalah. Entah mengapa rasanya dunia sudah terbalik.

Assalamualaikum Pak Haji, tumben duduk di depan pagar. Biasanya di dalam terus,” sapa seorang tetangga laki-laki.

Wa’alaikumussalam. Terus apanya Mas? Hehe… Saya baru tiga hari di sini,” sanggah Pak Haji sambil tertawa ringan.

“Maaf nih Pak Haji ya. Soalnya saya tak pernah lihat wajah tuan rumah, paling cuma Toyotanya saja yang kelihatan keluar masuk.”

“Itu anak saya. Saya baru datang dari kampung.”
***
“Sebaiknya kau robohkan saja pagar rumahmu itu, supaya lingkungan luar dan kau saling kenal. Jangan mengurung diri saja. Kalau kau mati siapa yang tahu? Apalagi kau hidup sendiri.” Tak bosan-bosan Pak Haji menasehati anak laki-lakinya itu.

“Bapak, sekarang zaman edan. Sudah ditembok pun, maling tetap saja bisa membobol rumah,” jawab anaknya singkat.

“Atau kau gantilah dengan pagar yang agak terbuka,” tambah Pak Haji lagi.

“Nggak usah, Pak. Sudah terlanjur dibangun seperti itu. Mubazir.”
***
Seperti biasa, Pak Haji duduk santai di depan gerbang dengan kursi plastiknya. Kalau sore beliau suka berkeliling daerah sekitar, melihat nasib orang-orang terpinggir di kota gila ini. Di samping gedong ada gubuk reot. Sebuah pemandangan yang kontras. Bocah ingusan sibuk mengais-gais sampah. Para pengangguran sibuk main kartu di pos ronda. Mushala tempat Pak Haji biasa shalat juga tak begitu terawat. Kadang ada adzan kadang tidak. Sepertinya sang anak tak akan pernah tahu kondisi lingkungan sekitar kalau terus bersikap eksklusif seperti itu. Akan menjadi desas-desus kalau anaknya pulang kampung dengan gaya kekota-kotaan, jadi bahan gunjingan. Burung betul-betul telah lupa cara mengepak sayap.
***
Pak Haji sudah pulang ke kampung enam hari yang lalu. Pagi ini dia tak lagi duduk di depan gerbang. Rumah itu kembali seperti tiada penghuni. Seperti rumah angker yang ditinggal bertahun-tahun. Dan tiba-tiba…

Brummm… Kretakkk... Jderrr…

Sebuah truk besar tanpa kendali menyapu gerbang dan pagar beton rumah anak Pak Haji, maka roboh dan ratalah dengan tanah.

Masyarakat sekitar berhamburan menolong sopir truk yang terluka. Namun tak jauh beberapa meter, bau busuk samar-samar menggerayangi bulu hidung.

“Mayat! Mayat!” teriak seseorang menunjuk-nunjuk ke arah kaca depan mobil Toyota yang diparkir di pekarangan rumah.



*Cermin ini sudah diterbitkan dalam buku antologi cermin "Risalah Negeri Saba'"

Roboh

by on Maret 31, 2017
Oleh: Salman Arif Sudah tiga hari Pak Haji berkawan panas kota. Menghirup polusi dan menatap rimba beton yang berlomba memanjat la...
Oleh: Juliana


Sang pria terpukau laut. Mata elangnya menatap tajam deburan ombak yang menghantam tebing memecah hening, lalu percikan asin air laut menerpa wajah. Menemani kesendiriannya mengurai derita yang berdenyut bersama nadi. Burung camar menukik ke laut memangsa ikan, kecepatannya membuat terkagum. Selalu saja tepat sasaran. Matahari di ufuk barat enggan menggelincir mencipta langit berlukis jingga. Sekelompok burung melintasi laut kembali ke peraduan.
“Burung camar, haruskah aku belajar darimu?,”
Ucap pria itu lirih beriring senyum mengejek diri sendiri. Tangan kanannya menghunus pisau dan menimangnya pelan. Ujung mata pisau memantulkan  cahaya,  bercampur aroma dendam juga kematian. Terasa anyir menyusup hidung. Dalam hitungan detik berbalik dan melempar pisau ke arah tiga buah kelapa muda yang disusun rapi di atas batu karang berjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Pisau melesat menerjang kelapa penuh emosi lantas membelah buah dengan sempurna. Bibirnya mengulum senyum;akhirnya dia berhasil setelah menyerapahi ratusan kelapa yang gagal dibidik. Sudah sekian tahun melatih diri membidik sasaran selalu saja meleset, kendati begitu dia tak menyerah. Sekarang usahanya terbayar.
“Sudah, Damar! Mau sampai kapan kau begini terus?”
Terdengar suara perempuan meneriakinya dari belakang. Si Pria menoleh, sosok gadis manis menatapnya lekat. Rambut yang panjang  sehitam jelaga tampak terurai. Tak ada jawaban, hanya suara desir ombak mengisi sunyi.
“Damar, jawab!” serunya lagi.
“Biar pisau itu yang menjawab” jawab Damar kasar.
Damar memang tidak mengerti kelembutan. Manik matanya tidak sedikit pun menyisakan damai, kehidupan hanya mengajarkannya kekerasan. Sedari kecil dia tidak pernah merasakan kasih sayang orang-tua.
“Galih, aku lahir dengan merenggut nyawa seseorang yang seharusnya kupanggil ibu. Aku membunuhnya bahkan saat aku belum mengenali wajahnya. Aku terlahir sebagai pembunuh. Dia hanya meninggalkan  pisau, jadi kenapa tidak aku pakai saja untuk menghabisi bejat yang telah merampas kehormatannya, juga hidup keluarganya,” bibirnya melantun kisah  getir bertahun silam.
“Damar, kamu bukan pembunuh ibumu, itu takdir. Dan pisau bernama bapakmu itu tanda bahwa kamu tidak sendiri. Suatu saat bisa kamu mencarinya tapi bukan untuk  kamu bunuh,”  gadis  bermata bundar  mencoba memadamkan api dalam hati Damar.
“Aku tidak peduli,” jawabnya ketus.
*** 
Di dipan serambi rumah tampak perempuan hamil tua terlihat payah. Duduk termangu, tatapan kosong menerawang langit-langit rumah, tangan kanannya mengelus perut  sedangkan tangan kiri menopang badannya yang letih. Rambutnya yang awut-awutan sama sekali tidak mengurangi guratan personal di wajahnya.  Pancaran mata yang sendu menyimpan selaksa kepedihan; peristiwa demi peristiwa bergantian berputar laksana kaset usang. Seusang daster yang dia kenakan. Bulir air mengaliri pipi. Mulutnya terus bergumam pelan mengisahkan goresan luka. Gumaman yang tak sepenuhnya dia sadari, diselingi gelak tawa tanpa sebab.
Seorang perempuan tampak setia mendampinginya. Mendengar berulang kali celotehan yang sama tidak membuat diri beranjak, mengerti bahwa yang dia butuhkan sekarang adalah teman sebagai pendengar meskipun tak banyak menanggapi, selain itu khawatir bila terjadi sesuatu. Dalam beberapa kesempatan, Asih yang malang kerap mencoba bunuh diri. Kondisi kesehatan dan jiwanya tengah kacau.
“Mereka membakar rumah, Mbak. Bapak, ibuk ndak ada yang lolos dari maut. Yang tersisa hanya... hanya...  noda. Duh, Gusti... .” Bibir mungilnya mengisahkan perampokan  beberapa bulan lalu. Masih jelas dalam benaknya gerombolan perampok menjarah isi rumah.
***
Malam itu,  selepas mengaji di surau kampung Asih mendapati temaram lampu petromaks di teras kian meredup, padahal biasanya Bapak tidak akan tinggal diam. Suasana rumah sangat lengang, pintu rumah pun terbuka begitu saja;kandang kambing di pekarangan rumah juga sepi. Nyenyat.Tanpa rasa curiga memasuki rumah.
“Assalamualaikum Ibu, Bapak, aku pulang.”
Sontak Asih menghentikan langkah, keadaan ruang tamu sangat berantakan, taplak meja tergeletak di lantai, vas bunga kesayangan ibu pecah berpuing-puing di pojok ruangan;kursi-kursi juga kertas berserakan di segala sisi.
Astagfirullah, ada apa ini?
Kaki berjingkat, melangkah pelan menuju kamar yang tak jauh dari ruang tamu. Suara gaduh terdengar dari kamar orang-tuanya. Dada berdegup kencang, refleks menggigit bibir;tetesan peluh mengalir di pelipis. Dengan ragu menyibak gorden pintu kamar lantas terbelalak dan mengatup bibir dengan ke dua tangan;mukena yang dia pegang terjatuh. Akhirnya mengurungkan niat untuk masuk, lalu tersandar pada dinding. Keadaan kamar tidak jauh berbeda dengan ruang tamu.
“Ibu, bapak... .”  
Asih tak sanggup melanjutkan kata-kata. Empat orang berpakaian serba hitam tampak tengah kabur melalui jendela kamar meninggalkan seorang yang masih sibuk mengemas perhiasan dari meja rias.  Sedang  ke dua orang tuanya terkapar tak berdaya di sisi ranjang. Darah segar merembes dari baju bapak yang terkoyak.
“Ayo, cabut!,”
Dedengkot komplotan mengisyaratkan untuk segera pergi.
“Barang-barang di sini terlalu berharga untuk disia-siakan. Aku menyusul,” jawabnya sembari memasukkan  perhiasan ke dalam karung.
Terdengar percakapan dari dalam kamar. Asih mencari senjata di sekitar ruangan dan menemukan pemukul di dekat lemari;tinggal diam bukanlah pilihan yang tepat. Hati remuk redam, melihat orang
 terkasih  bergelimpangan antara hidup dan mati. Dengan sisa keberanian yang dia miliki, melangkahkan kaki memasuki kamar beraroma darah.
Pupil hitam mengurung sosok lelaki yang masih menetap. Ke dua tangan menggenggam erat pemukul lantas sekuat tenaga mengayunkan pukulan ke punggung lawan. Tapi apalah daya, kekuatannya tak seberapa untuk wujud tinggi besar yang hanya tersentak kaget dan mengaduh pelan. Pukulannya tak ubah seperti gigitan semut. Kemudian berbalik badan, sejenak terpana oleh gadis bak bidadari yang memukulnya. Cahaya rembulan yang mengintip dari jendela jatuh tepat di wajah Asih, mempertegas garis kecantikan wajah yang diwarisi ibu. Sorot mata yang tidak mengenal rasa takut membuatnya semakin  menarik.
“Mau apa kamu, pembunuh!” bentak Asih. Gertakan yang terdengar lucu di telinga perampok  berdarah dingin.
“Hanya singgah sebentar, anak manis,” jawabnya seraya tersenyum menjijikkan.
“Dasar bedebah!, Aku bukan anak manis.”
Asih kembali mengayunkan pemukul ke arah perampok tapi dengan mudah ditangkis berbalas tempeleng dan  membuatnya pingsan;dengan singgap perampok menangkap  badan yang ambruk.
“Ternyata, ada yang lebih berharga dari sekadar perhiasan di laci. Aku tak perlu meminta maaf, bukan?” ujarnya  sambil membelai pipi lebam gadis dalam dekapannya.
*** 
Dinding hanya membisu menyaksikan aksi bejat kala itu. Kobaran api membumbung angkuh melahap rumah mencipta asap hitam mengepul ke udara. Satu persatu tiang rumah roboh;sosok yang terbaring lemah di atas ranjang terbatuk karena asap. Keadaannya sangat  memprihatinkan.
Asih mencoba bangkit dan turun dari ranjang, rasa nyeri menjalar ke sekujur tubuh. Hawa panas ruangan menyadarkannya dari pingsan juga mimpi terburuk dalam hidup.
“Perampok brengsek! Apa yang telah dia lakukan?.”
Dia berjalan terhuyung menuju ke dua mayat yang tidak jauh darinya namun  terjatuh, kakinya sulit digerakkan. Tubuh menimpa benda bertuliskan sebuah nama.  Perampok begitu ceroboh meninggalkan jejak.
           Malaikat maut seakan menjemput, dengan kondisi lemah mustahil baginya menyelamatkan diri sendiri dari kepungan api. Namun garis hidup berkata lain, salah seorang warga  menemukannya.
“Asih, innalillahi.” 
“Pak de, tolong saya,” sahut Asih lirih diiringi batuk, pernapasannya mulai sesak.
       Di luar rumah ramai warga saling bahu membahu berusaha memadamkan api. Berita kebakaran cepat menyebar ke seluruh penjuru desa. Pekatnya malam dan musim kemarau menghambat proses pemadaman, persediaan air tidak memadai.

***
Usai berkisah si perempuan terbahak lalu menangis lirih. Betapa lara itu menyayat jantung, lukanya tak kunjung sembuh. Bibirnya menyairkan lagu pengantar tidur dan mengubah lirik syair  sesuka hati.
“Asih mati...
Oh, Asih mati...
Kalau tidak mati digigit nyamuk...
Asih mati...
Oh, Asih mati...
Mati... mati... hahaha!!!,” suaranya begitu pilu menyakiti telinga. Mendadak raut muka berubah pucat. Tetesan darah segar mengaliri  kaki.
Mbak, perutku mulas. Aduh, sakit.”
“Pak, Asih mau lairan! Cepat panggil dukun, Pak!.”
Perempuan yang sedari tadi diam langsung mengambil tindakan, apalagi Asih mengalami pendarahan. Perlahan memapah Asih masuk ke dalam rumah. Tak berselang lama dukun datang tergopoh. Menangani persalinan perihal lumrah, tapi tidak untuk pasien setengah waras, hal ini membuatnya iba.
Calon ibu sejak tadi mengerang kesakitan dan sudah banyak mengeluarkan darah. Sepantasnya dia mendapatkan bantuan medis yang layak. Perjuangannya mempertaruhkan hidup dan mati sangat mengagumkan. Sejauh ini Asih masih bertahan. Tetesan peluh membanjiri tubuh membasahi rambut yang diikat sembarang. Hingga suara tangis bayi pecah;semua menarik napas lega.
“Masya Allah, ganteng sekali, Nduk,” ucap dukun lantas meletakkannya ke pelukan Asih. Sang ibu hanya tersenyum lemah, matanya berkaca-kaca.
“Namai bayiku Damar, jika kelak bumi kehilangan cahaya. Aku harap dia bisa menerangi diri sendiri  juga orang lain. Juga berikan pisauku, agar dia tahu siapa bapaknya.”
Usai berpesan perlahan menutup mata, pelukannya mengendur. Tangisan bayi semakin keras. Dukun yang tengah mendengarkan dengan saksama terkesiap lalu menepuk-nepuk pipi Asih akan tetapi tak bereaksi, memeriksa nadi pergelangan tangan namun tak ada denyut.
“Innalillahi wa inna ilayhi rajiun.”
***
Dan waktu berputar begitu cepat  mengantar jabang bayi pada masa depan. Kini ia menjelma Arjuna tampan memesona setiap mata yang mengindra;wajah berahang kokoh dihias alis tebal serupa busur. Tatap matanya bisa saja menyihir hati semua wanita namun  tak sekali pun ia melakukan hal seremeh itu.
Selama ini ia gunakan waktu untuk bekerja pada pengasuhnya. Orang tua Galih. Bahkan saat matahari menggelincir menjemput malam, gelap tak kuasa menutupi wajahnya yang  rupawan. Tangan yang  kekar menyarungkan pisau ke pinggang lalu beranjak pergi.
“Abah menyuruhmu pulang, hari sudah gelap,”
 Galih mencoba mencegah Damar.
“Aku tak bisa. Sampaikan maafku sebagai anak yang tidak pandai berterima kasih. Aku harus mencari bajingan itu. Akan kubunuh dia meski dari jarak terjauh.”
Belum jauh kaki Damar melangkah meninggalkan gadis yang hanya terpaku  terdengar suara bariton menghentikannya.
“Kau tak perlu repot mencariku, anak muda. Aku di sini.”
Seorang lelaki  berdiri tak jauh darinya.
Damar menoleh menuju sumber suara bukan hal sulit untuk menemukannya. Dua manusia mengadu mata. Memandang lelaki asing itu seolah melihat bayang dirinya di masa tua. Tanpa sepengetahuan Damar, ia selalu mengawasi gerak-geriknya. Memperhatikan Damar dari kegelapan.
“Tunggu apa lagi? Aku siap mati di tanganmu.”
“Damar... ,” suara Galih mengalihkan Damar. Lisan  memang tidak berkata-kata tapi bola mata seolah berbahasa. Damar melengos dan kembali fokus pada pria yang mengaku sebagai bapaknya.
“Baik, bersiaplah untuk mati. Kukembalikan pisaumu”
Gerak pisau  secepat kilat menerobos sasaran. Soal ketepatan, Damar sudah terlatih. Darah segar muncrat ke segala arah. Ular welang yang siap menyerang kapan saja tewas seketika, pisau mengoyak kepala ular hingga bagian perut. Benar, Pisau itu tak melukai tuannya.
 Bapak dan anak membeku. Sang anak menelan ludah lantas membuka suara.
“Damar, haruskah aku memanggilmu, Bapak?.”


Damar

by on Maret 27, 2017
Oleh : Juliana Sang pria terpukau laut. Mata elangnya menatap tajam deburan ombak yang menghantam tebing memecah hening, lalu perc...


Sabtu (25/3/2017) di sore hari yang cerah, kembali para pejuang pena (baca:FLP Mesir) berkumpul di rumah IKMAL (Ikatan Keluarga Mahasiswa Lampung) guna bahas karya bareng atau yang lebih dikenal dengan “Barbar”. Pada kesempatan kali ini, kita membahas karya salah seorang anggota FLP Mesir yang berjudulkan “Damar”, sebuah cerpen yang disajikan oleh Juliana (insyaallah akan dimuat pada postingan selanjutnya).

Cerpen ini diberi judul “Damar” karena tokoh utama dalam cerpen bernama Damar yang dikisahkan memiliki masa lalu yang terbilang buruk. Ibunya diperkosa oleh salah seorang perampok yang merampok rumahnya. Kemudian hidup ibunya penuh dengan frustasi akan masa lalu. Ketika melahirkan anaknya, beliau meninggal karena pendarahan yang banyak. Damar ingin balas dendam terhadap orang yang telah membuat ibunya seperti itu.

Karena kita membahas cerpen ini, maka banyaklah kata-kata yang terlontar, baik itu pujian, kritikan ataupun saran untuk cerpen maupun penulis secara pribadi. Pujian secara umum adalah cerpennya bagus, alurnya maju mundur, penulisan yang rapi, memasukkan kata-kata yang tidak dipakai kebanyakan orang, dan yang paling disorot adalah kalimat yang disajikan oleh Juliana sangat puitis.

Namun yang namanya manusia, pastilah tak terlepas dari yang namanya kekhilafan. Baik itu kekhilafan dalam tanda baca, huruf kapital, ataupun dalam penulisan cerita. Ada yang mengkritik bahwasanya penulis sering menghilangkan subjek dari sebuah kalimat sehingga membuat pembaca harus membaca berulang-ulang agar paham. Juga ada beberepa diksi yang harus dihapus ataupun diganti agar cerpen menjadi lebih bagus dan renyah dibaca.

Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi selama pembahasan tersebut. Pertama, bahwasanya plot itu beda dengan alur. Plot itulah yang membuat cerita menjadi hidup. Tanpa plot, sebuah paragraf bisa jadi tidak dapat disebut sebagai cerita. Plotlah yang nantinya membuat alur menyambung dan terdengar sebagai sebuah cerita atau peristiwa.


Misal, ada yang mengatakan cerita terpendek itu hanya tiga kalimat yaitu kisahnya Julius Caisar “Aku datang, aku menang, dan aku berkuasa.” Namun ini baru hanya sebuah alur. Sedangkan deskripsi dari ia datang dengan apa hingga ia menang disebabkan apa dan berkuasa itulah yang disebut plot.

Kedua, kita sebagai pembaca juga harus melihat latar belakang seorang penulis ketika ingin mengkritik sebuah karya. Karena beda penulis beda gaya kepenulisan, disebabkan keberagaman budaya yang dimiliki. Terutama kita orang Indonesia yang memiliki banyak provinsi, yang mana setiap provinsi memiliki budayanya masing-masing.

Misal, di dalam cerpen ini kita akan merasakan kental sekali aroma Jawa. Mulai dari panggilan “Nduk” yang digunakan untuk memanggil buah hati. “Dukun” yang dipakai sebagai bidan yang membantu proses kelahiran. Itu disebabkan latar belakang Juliana sendiri adalah wong Jowo.

Ketiga, bahwasanya gaya kepenulisan antara ikhwan dan akhwat itu berbeda. Ikhwan lebih mengedepankan logika sedangkan akhwat lebih kepada perasaan. Ada kalanya kedua spesies manusia itu dapat bersatu namun dalam beberapa hal mereka saling bertolak belakang. Rasa saling legowolah yang harus dipupuk agar tidak terjadi perselisihan nantinya.

Akhirnya acara ditutup dengan perkenalan oleh pejuang baru yang memutuskan bergabung di kapal FLP Mesir. Satu dari ikhwan dan tiga orang dari akhwat. Mudah-mudahan dengan kehadiran anggota baru membuat anggota lama kembali bersemangat dalam menulis. Mari jadikan menulis sebagai sarana mengenalkan risalah islam  ke dunia yang luas ini.

Barbar Damar

by on Maret 27, 2017
Sabtu (25/3/2017) di sore hari yang cerah, kembali para pejuang pena (baca:FLP Mesir) berkumpul di rumah IKMAL (Ikatan Keluarga Ma...


Karya: Zakia Rahmadani

Hiqdu menyusup dalam hati
Hassad menjelma mengekspresikan diri
Lahir karena amarah tak terkendali
Keduanya bergejolak bak kayu bakar dimakan api
Ibadah, puasa, shalat
Sedekah dan pahala haji
Tenggelam dalam lautan merah tak bertepi
Kapankah kau berhenti?
Karena hati adalah segumpal yang suci
Jika kau nodai sekali
Penyakitnya akan komplikasi
Dan kitab samawi yang dibawa Muhammad
cukup untuk mengobati

18 Maret 2017
Lotus Park, Cairo

Kapankah Kau Berhenti?

by on Maret 26, 2017
Karya: Zakia Rahmadani Hiqdu menyusup dalam hati Hassad menjelma mengekspresikan diri Lahir karena amarah tak terkendali Keduanya ...


Karya: Fudhla Zahida

Setiap pilihan memiliki konsekuensi
Setiap keputusan menghasilkan harapan
Dan setiap ketaatan
Meski tampak sulit,
akan menghadirkan senyuman

Karena aku tahu
Banyak yang mengharap kebaikan
Dan aku lebih tahu lagi
Bahwa baik yang kita sangka
tak selalu baik yang seharusnya

Kembali (berusaha) yakin
Bahwa janjinya akan lebih menyenangkan
Dan akan (jauh) lebih baik
dari panjat doa dan tinggi harapan

19 Maret

Yakin(ku)

by on Maret 26, 2017
Karya: Fudhla Zahida Setiap pilihan memiliki konsekuensi Setiap keputusan menghasilkan harapan Dan setiap ketaatan Meski tampak su...

Karya: Armeyn Sarouzie

Hai penggaris!

Tahukah kamu kalau keberadaanmu itu begitu berarti?

aku tidak bisa berjalan lurus kemanapun yang kuinginkan

janganlah goyah janganlah patah



hai pensil! 

Tahukah kamu kalau keberadaanmu sangat berarti?

tanpa adanya dirimu apalah gunanya aku

teruslah berjalan jangan berhenti


Hai pensil! Hai penggaris!

Akulah penggunamu

Janganlah habis janganlah rapuh

Biar kalian tetap berguna

Kairo, 18 Maret 2017

Pesan Alat Tulis

by on Maret 24, 2017
Karya: Armeyn Sarouzie Hai penggaris! Tahukah kamu kalau keberadaanmu itu begitu berarti? aku tidak bisa berjalan lurus keman...
Karya: Ria Nurhaini

Aku selalu senang melihatmu
Jika putih, maka kamu yang paling bersinar
Birumu seperti lautan keindahan yang menjaga
Senjamu selalu membiaskan
warna oranye bak madu yang ditumpahkan
Juga hitammu yang dikelilingi perhiasan
yang tiada ada bandingan

Aku akan selalu senang memandangimu
Pagimu, siangmu, juga malammu

Namun duhai, apatah yang kamu lihat dari diriku?
Akankah aku berkilau?
Ataukah aku hanyalah kabut hitam yang menggelap?
Atau mungkin aku hanyalah lautan lumpur yang bernoda?

Duhai Kuasa, berikanlah keindahan dan tanamkan
Keindahan hati dan kelembutan nurani
Agar kami bisa menghibur dan meberikan senyuman
Kepada langit yang selalu menyajikan

Kairo, 18 Maret 2017

Tatapan Kalbu

by on Maret 23, 2017
Karya: Ria Nurhaini Aku selalu senang melihatmu Jika putih, maka kamu yang paling bersinar Birumu  seperti lautan keindahan yang me...
Pada hari Sabtu (18/3/2017) FLP Mesir mengadakan ngobrol bareng tentang puisi. Acara yang dinaungi dengan mendung dan memerahnya langit itu diadakan di Hadiqoh Lotus, Hay Sabi’. Dengan menghadirkan Muhajir Muslim sebagai narasumber. Acara dimulai pukul 14.45 sampai 18.30 Clt.

Diawali dengan penuangan pemahaman tentang puisi yang sudah sedikit berdebu di kepala para anggota, Muhajir menuangkannya dengan santai.

Puisi menurut Goenawan Muhamad merupakan fragmen peristiwa pengalaman, pengamatan dan pemikiran.” Ujarnya mengawali dengan defenisi puisi menurut pakar. ” Dan Saini KM mendefinisikan penyair sebagai Ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan’.”