Oleh: Juliana
Sang pria
terpukau laut. Mata elangnya menatap tajam deburan ombak yang menghantam tebing
memecah hening, lalu percikan asin air laut menerpa wajah. Menemani
kesendiriannya mengurai derita yang berdenyut bersama nadi. Burung camar menukik
ke laut memangsa ikan, kecepatannya membuat terkagum. Selalu saja tepat
sasaran. Matahari di ufuk barat enggan menggelincir mencipta langit berlukis
jingga. Sekelompok burung melintasi laut kembali ke peraduan.
“Burung camar,
haruskah aku belajar darimu?,”
Ucap pria itu
lirih beriring senyum mengejek diri sendiri. Tangan kanannya menghunus pisau
dan menimangnya pelan. Ujung mata pisau memantulkan cahaya, bercampur
aroma dendam juga kematian. Terasa anyir menyusup hidung. Dalam hitungan detik
berbalik dan melempar pisau ke arah tiga buah kelapa muda yang disusun rapi di
atas batu karang berjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Pisau melesat
menerjang kelapa penuh emosi lantas membelah buah dengan sempurna. Bibirnya
mengulum senyum;akhirnya dia berhasil setelah menyerapahi ratusan kelapa yang
gagal dibidik. Sudah sekian tahun melatih diri membidik sasaran selalu saja
meleset, kendati begitu dia tak menyerah. Sekarang usahanya terbayar.
“Sudah, Damar!
Mau sampai kapan kau begini terus?”
Terdengar suara
perempuan meneriakinya dari belakang. Si Pria menoleh, sosok gadis manis
menatapnya lekat. Rambut yang panjang sehitam
jelaga tampak terurai. Tak ada jawaban, hanya suara desir ombak mengisi sunyi.
“Damar, jawab!”
serunya lagi.
“Biar pisau itu
yang menjawab” jawab Damar kasar.
Damar memang
tidak mengerti kelembutan. Manik matanya tidak sedikit pun menyisakan damai,
kehidupan hanya mengajarkannya kekerasan. Sedari kecil dia tidak pernah
merasakan kasih sayang orang-tua.
“Galih, aku
lahir dengan merenggut nyawa seseorang yang seharusnya kupanggil ibu. Aku membunuhnya
bahkan saat aku belum mengenali wajahnya. Aku terlahir sebagai pembunuh. Dia
hanya meninggalkan pisau,
jadi kenapa tidak aku pakai saja untuk menghabisi bejat yang telah merampas kehormatannya,
juga hidup keluarganya,” bibirnya melantun kisah getir bertahun silam.
“Damar, kamu bukan
pembunuh ibumu, itu takdir. Dan pisau bernama bapakmu itu tanda bahwa kamu
tidak sendiri. Suatu saat bisa kamu mencarinya tapi bukan untuk kamu bunuh,” gadis bermata bundar mencoba memadamkan api dalam
hati Damar.
“Aku tidak
peduli,” jawabnya ketus.
***
Di dipan
serambi rumah tampak perempuan hamil tua terlihat payah. Duduk termangu,
tatapan kosong menerawang langit-langit rumah, tangan kanannya mengelus
perut sedangkan tangan kiri menopang
badannya yang letih. Rambutnya yang awut-awutan sama sekali tidak mengurangi
guratan personal di wajahnya. Pancaran
mata yang sendu menyimpan selaksa kepedihan; peristiwa demi peristiwa
bergantian berputar laksana kaset usang. Seusang daster yang dia kenakan. Bulir
air mengaliri pipi. Mulutnya terus bergumam pelan mengisahkan goresan luka.
Gumaman yang tak sepenuhnya dia sadari, diselingi gelak tawa tanpa sebab.
Seorang
perempuan tampak setia mendampinginya. Mendengar berulang kali celotehan yang
sama tidak membuat diri beranjak, mengerti bahwa yang dia butuhkan sekarang
adalah teman sebagai pendengar meskipun tak banyak menanggapi, selain itu khawatir
bila terjadi sesuatu. Dalam beberapa kesempatan, Asih yang malang kerap mencoba
bunuh diri. Kondisi kesehatan dan jiwanya tengah kacau.
“Mereka
membakar rumah, Mbak. Bapak,
ibuk ndak ada yang
lolos dari maut. Yang tersisa hanya... hanya... noda. Duh, Gusti... .” Bibir mungilnya mengisahkan
perampokan beberapa bulan
lalu. Masih jelas dalam benaknya gerombolan perampok menjarah isi rumah.
***
Malam itu, selepas mengaji di surau kampung
Asih mendapati temaram lampu petromaks di teras kian meredup, padahal biasanya
Bapak tidak akan tinggal diam. Suasana rumah sangat lengang, pintu rumah pun
terbuka begitu saja;kandang kambing di pekarangan rumah juga sepi. Nyenyat.Tanpa
rasa curiga memasuki rumah.
“Assalamualaikum
Ibu, Bapak, aku pulang.”
Sontak Asih
menghentikan langkah, keadaan ruang tamu sangat berantakan, taplak meja
tergeletak di lantai, vas bunga kesayangan ibu pecah berpuing-puing di pojok
ruangan;kursi-kursi juga kertas berserakan di segala sisi.
Astagfirullah, ada apa ini?
Kaki
berjingkat, melangkah pelan menuju kamar yang tak jauh dari ruang tamu. Suara
gaduh terdengar dari kamar orang-tuanya. Dada berdegup kencang, refleks
menggigit bibir;tetesan peluh mengalir di pelipis. Dengan ragu menyibak gorden
pintu kamar lantas terbelalak dan mengatup bibir dengan ke dua tangan;mukena
yang dia pegang terjatuh. Akhirnya mengurungkan niat untuk masuk, lalu tersandar
pada dinding. Keadaan kamar tidak jauh berbeda dengan ruang tamu.
“Ibu, bapak...
.”
Asih tak
sanggup melanjutkan kata-kata. Empat orang berpakaian serba hitam tampak tengah
kabur melalui jendela kamar meninggalkan seorang yang masih sibuk mengemas
perhiasan dari meja rias. Sedang ke dua orang tuanya terkapar tak
berdaya di sisi ranjang. Darah segar merembes dari baju bapak yang terkoyak.
“Ayo, cabut!,”
Dedengkot
komplotan mengisyaratkan untuk segera pergi.
“Barang-barang
di sini terlalu berharga untuk disia-siakan. Aku menyusul,” jawabnya sembari
memasukkan perhiasan ke
dalam karung.
Terdengar
percakapan dari dalam kamar. Asih mencari senjata di sekitar ruangan dan
menemukan pemukul di dekat lemari;tinggal diam bukanlah pilihan yang tepat.
Hati remuk redam, melihat orang
terkasih bergelimpangan antara hidup dan mati.
Dengan sisa keberanian yang dia miliki, melangkahkan kaki memasuki kamar
beraroma darah.
Pupil hitam
mengurung sosok lelaki yang masih menetap. Ke dua tangan menggenggam erat
pemukul lantas sekuat tenaga mengayunkan pukulan ke punggung lawan. Tapi apalah
daya, kekuatannya tak seberapa untuk wujud tinggi besar yang hanya tersentak
kaget dan mengaduh pelan. Pukulannya tak ubah seperti gigitan semut. Kemudian
berbalik badan, sejenak terpana oleh gadis bak bidadari yang memukulnya. Cahaya
rembulan yang mengintip dari jendela jatuh tepat di wajah Asih, mempertegas
garis kecantikan wajah yang diwarisi ibu. Sorot mata yang tidak mengenal rasa
takut membuatnya semakin menarik.
“Mau apa kamu,
pembunuh!” bentak Asih. Gertakan yang terdengar lucu di telinga perampok berdarah dingin.
“Hanya singgah
sebentar, anak manis,” jawabnya seraya tersenyum menjijikkan.
“Dasar
bedebah!, Aku bukan anak manis.”
Asih kembali
mengayunkan pemukul ke arah perampok tapi dengan mudah ditangkis berbalas
tempeleng dan membuatnya
pingsan;dengan singgap perampok menangkap badan
yang ambruk.
“Ternyata, ada
yang lebih berharga dari sekadar perhiasan di laci. Aku tak perlu meminta maaf,
bukan?” ujarnya sambil
membelai pipi lebam gadis dalam dekapannya.
***
Dinding hanya membisu
menyaksikan aksi bejat kala itu. Kobaran api membumbung angkuh melahap rumah
mencipta asap hitam mengepul ke udara. Satu persatu tiang rumah roboh;sosok
yang terbaring lemah di atas ranjang terbatuk karena asap. Keadaannya sangat memprihatinkan.
Asih mencoba
bangkit dan turun dari ranjang, rasa nyeri menjalar ke sekujur tubuh. Hawa
panas ruangan menyadarkannya dari pingsan juga mimpi terburuk dalam hidup.
“Perampok
brengsek! Apa yang telah dia lakukan?.”
Dia berjalan
terhuyung menuju ke dua mayat yang tidak jauh darinya namun terjatuh, kakinya sulit digerakkan.
Tubuh menimpa benda bertuliskan sebuah nama. Perampok begitu ceroboh meninggalkan jejak.
Malaikat maut seakan menjemput, dengan
kondisi lemah mustahil baginya menyelamatkan diri sendiri dari kepungan api.
Namun garis hidup berkata lain, salah seorang warga menemukannya.
“Asih, innalillahi.”
“Pak de, tolong
saya,” sahut Asih lirih diiringi batuk, pernapasannya mulai sesak.
Di luar rumah ramai warga saling bahu
membahu berusaha memadamkan api. Berita kebakaran cepat menyebar ke seluruh
penjuru desa. Pekatnya malam dan musim kemarau menghambat proses pemadaman,
persediaan air tidak memadai.
***
Usai berkisah
si perempuan terbahak lalu menangis lirih. Betapa lara itu menyayat jantung,
lukanya tak kunjung sembuh. Bibirnya menyairkan lagu pengantar tidur dan
mengubah lirik syair sesuka
hati.
“Asih mati...
Oh, Asih
mati...
Kalau tidak
mati digigit nyamuk...
Asih mati...
Oh, Asih
mati...
Mati... mati...
hahaha!!!,” suaranya begitu pilu menyakiti telinga. Mendadak raut muka berubah
pucat. Tetesan darah segar mengaliri
kaki.
“Mbak, perutku mulas. Aduh, sakit.”
“Pak, Asih mau lairan! Cepat panggil dukun,
Pak!.”
Perempuan yang
sedari tadi diam langsung mengambil tindakan, apalagi Asih mengalami
pendarahan. Perlahan memapah Asih masuk ke dalam rumah. Tak berselang lama
dukun datang tergopoh. Menangani persalinan perihal lumrah, tapi tidak untuk
pasien setengah waras, hal ini membuatnya iba.
Calon ibu sejak
tadi mengerang kesakitan dan sudah banyak mengeluarkan darah. Sepantasnya dia
mendapatkan bantuan medis yang layak. Perjuangannya mempertaruhkan hidup dan
mati sangat mengagumkan. Sejauh ini Asih masih bertahan. Tetesan peluh
membanjiri tubuh membasahi rambut yang diikat sembarang. Hingga suara tangis
bayi pecah;semua menarik napas lega.
“Masya Allah,
ganteng sekali, Nduk,” ucap
dukun lantas meletakkannya ke pelukan Asih. Sang ibu hanya tersenyum lemah,
matanya berkaca-kaca.
“Namai bayiku
Damar, jika kelak bumi kehilangan cahaya. Aku harap dia bisa menerangi diri
sendiri juga orang lain.
Juga berikan pisauku, agar dia tahu siapa bapaknya.”
Usai berpesan
perlahan menutup mata, pelukannya mengendur. Tangisan bayi semakin keras. Dukun
yang tengah mendengarkan dengan saksama terkesiap lalu menepuk-nepuk pipi Asih
akan tetapi tak bereaksi, memeriksa nadi pergelangan tangan namun tak ada
denyut.
“Innalillahi wa inna ilayhi rajiun.”
***
Dan waktu
berputar begitu cepat mengantar
jabang bayi pada masa depan. Kini ia menjelma Arjuna tampan memesona setiap
mata yang mengindra;wajah berahang kokoh dihias alis tebal serupa busur. Tatap
matanya bisa saja menyihir hati semua wanita namun tak sekali pun ia melakukan hal
seremeh itu.
Selama ini ia
gunakan waktu untuk bekerja pada pengasuhnya. Orang tua Galih. Bahkan saat
matahari menggelincir menjemput malam, gelap tak kuasa menutupi wajahnya
yang rupawan. Tangan yang kekar menyarungkan pisau ke
pinggang lalu beranjak pergi.
“Abah menyuruhmu
pulang, hari sudah gelap,”
Galih
mencoba mencegah Damar.
“Aku tak bisa.
Sampaikan maafku sebagai anak yang tidak pandai berterima kasih. Aku harus
mencari bajingan itu. Akan kubunuh dia meski dari jarak terjauh.”
Belum jauh kaki
Damar melangkah meninggalkan gadis yang hanya terpaku terdengar suara bariton
menghentikannya.
“Kau tak perlu
repot mencariku, anak muda. Aku di sini.”
Seorang
lelaki berdiri tak jauh
darinya.
Damar menoleh
menuju sumber suara bukan hal sulit untuk menemukannya. Dua manusia mengadu
mata. Memandang lelaki asing itu seolah melihat bayang dirinya di masa tua.
Tanpa sepengetahuan Damar, ia selalu mengawasi gerak-geriknya. Memperhatikan
Damar dari kegelapan.
“Tunggu apa
lagi? Aku siap mati di tanganmu.”
“Damar... ,”
suara Galih mengalihkan Damar. Lisan memang
tidak berkata-kata tapi bola mata seolah berbahasa. Damar melengos dan kembali
fokus pada pria yang mengaku sebagai bapaknya.
“Baik,
bersiaplah untuk mati. Kukembalikan pisaumu”
Gerak
pisau secepat kilat menerobos
sasaran. Soal ketepatan, Damar sudah terlatih. Darah segar muncrat ke segala
arah. Ular welang yang siap menyerang kapan saja tewas seketika, pisau mengoyak
kepala ular hingga bagian perut. Benar, Pisau itu tak melukai tuannya.
Bapak dan
anak membeku. Sang anak menelan ludah lantas membuka suara.
“Damar,
haruskah aku memanggilmu, Bapak?.”