Roboh
Oleh: Salman Arif
Sudah tiga
hari Pak Haji berkawan panas kota. Menghirup polusi dan menatap rimba beton
yang berlomba memanjat langit. Kepalanya kacau tak keruan. Rasanya ada yang
hilang dari kehidupannya selama beberapa hari ini.
“Orang
kampung itu berjiwa sosial tinggi. Jangan sampai seperti burung lupa cara
mengepak sayap. Bagaimana pula kau membuat pagar rumah setinggi dan serapat
itu? Semut pun tak bisa mengintip ke pekarangan rumahmu!” ujar Pak Haji heran
pada anaknya.
Kalau di
kampung, jarang rumah berpagar. Orang kampung bisa bercakap antar teras ke
teras rumah tanpa batas. Menikmati pagi sambil melihat anak-anak berangkat
sekolah. Saling bertukar sapa dan berbagi kabar. Bocah-bocah bebas bermain di
halaman rumah siapa saja yang mereka kehendaki. Nilai-nilai sosial begitu
kentara. Berbeda jauh dengan kehidupan kota. Hal demikian sudah banyak
ditinggalkan apalagi masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Daripada
duduk di teras menghadap tembok beku, Pak Haji memutuskan duduk di depan
gerbang rumah di atas kursi lipat plastik setiap pagi, menemukan kembali sisi
kehidupannya yang hilang. Menikmati aktivitas masyarakat di saat cahaya mentari
masih lembut, menyapa pejalan kaki walau kadang dia pun ditatap bak orang
sinting. Di kota, kadang sapaan dianggap suatu yang aneh pula, dianggap modus
atau apalah. Entah mengapa rasanya dunia sudah terbalik.
“Assalamualaikum
Pak Haji, tumben duduk di depan pagar. Biasanya di dalam terus,” sapa
seorang tetangga laki-laki.
“Wa’alaikumussalam.
Terus apanya Mas? Hehe… Saya baru tiga hari di sini,” sanggah Pak Haji sambil
tertawa ringan.
“Maaf nih
Pak Haji ya. Soalnya saya tak pernah lihat wajah tuan rumah, paling cuma
Toyotanya saja yang kelihatan keluar masuk.”
“Itu anak
saya. Saya baru datang dari kampung.”
***
“Sebaiknya
kau robohkan saja pagar rumahmu itu, supaya lingkungan luar dan kau saling
kenal. Jangan mengurung diri saja. Kalau kau mati siapa yang tahu? Apalagi kau
hidup sendiri.” Tak bosan-bosan Pak Haji menasehati anak laki-lakinya itu.
“Bapak, sekarang
zaman edan. Sudah ditembok pun, maling tetap saja bisa membobol rumah,” jawab
anaknya singkat.
“Atau kau
gantilah dengan pagar yang agak terbuka,” tambah Pak Haji lagi.
“Nggak usah,
Pak. Sudah terlanjur dibangun seperti itu. Mubazir.”
***
Seperti biasa,
Pak Haji duduk santai di depan gerbang dengan kursi plastiknya. Kalau sore
beliau suka berkeliling daerah sekitar, melihat nasib orang-orang terpinggir di
kota gila ini. Di samping gedong ada gubuk reot. Sebuah pemandangan yang
kontras. Bocah ingusan sibuk mengais-gais sampah. Para pengangguran sibuk main
kartu di pos ronda. Mushala tempat Pak Haji biasa shalat juga tak begitu
terawat. Kadang ada adzan kadang tidak. Sepertinya sang anak tak akan pernah
tahu kondisi lingkungan sekitar kalau terus bersikap eksklusif seperti itu.
Akan menjadi desas-desus kalau anaknya pulang kampung dengan gaya
kekota-kotaan, jadi bahan gunjingan. Burung betul-betul telah lupa cara
mengepak sayap.
***
Pak Haji
sudah pulang ke kampung enam hari yang lalu. Pagi ini dia tak lagi duduk di
depan gerbang. Rumah itu kembali seperti tiada penghuni. Seperti rumah angker
yang ditinggal bertahun-tahun. Dan tiba-tiba…
Brummm…
Kretakkk... Jderrr…
Sebuah truk
besar tanpa kendali menyapu gerbang dan pagar beton rumah anak Pak Haji, maka
roboh dan ratalah dengan tanah.
Masyarakat
sekitar berhamburan menolong sopir truk yang terluka. Namun tak jauh beberapa
meter, bau busuk samar-samar menggerayangi bulu hidung.
“Mayat! Mayat!”
teriak seseorang menunjuk-nunjuk ke arah kaca depan mobil Toyota yang diparkir
di pekarangan rumah.
*Cermin ini sudah diterbitkan dalam buku antologi cermin "Risalah Negeri Saba'"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar