Barbar Damar
Sabtu (25/3/2017) di sore hari yang cerah, kembali para pejuang pena (baca:FLP Mesir) berkumpul di rumah IKMAL (Ikatan Keluarga Mahasiswa Lampung) guna bahas karya bareng atau yang lebih dikenal dengan “Barbar”. Pada kesempatan kali ini, kita membahas karya salah seorang anggota FLP Mesir yang berjudulkan “Damar”, sebuah cerpen yang disajikan oleh Juliana (insyaallah akan dimuat pada postingan selanjutnya).
Cerpen ini diberi judul “Damar” karena tokoh utama dalam cerpen bernama Damar yang dikisahkan memiliki masa lalu yang terbilang buruk. Ibunya diperkosa oleh salah seorang perampok yang merampok rumahnya. Kemudian hidup ibunya penuh dengan frustasi akan masa lalu. Ketika melahirkan anaknya, beliau meninggal karena pendarahan yang banyak. Damar ingin balas dendam terhadap orang yang telah membuat ibunya seperti itu.
Karena kita membahas cerpen ini, maka banyaklah kata-kata yang terlontar, baik itu pujian, kritikan ataupun saran untuk cerpen maupun penulis secara pribadi. Pujian secara umum adalah cerpennya bagus, alurnya maju mundur, penulisan yang rapi, memasukkan kata-kata yang tidak dipakai kebanyakan orang, dan yang paling disorot adalah kalimat yang disajikan oleh Juliana sangat puitis.
Namun yang namanya manusia, pastilah tak terlepas dari yang namanya
kekhilafan. Baik itu kekhilafan dalam tanda baca, huruf kapital, ataupun dalam
penulisan cerita. Ada yang mengkritik bahwasanya penulis sering menghilangkan
subjek dari sebuah kalimat sehingga membuat pembaca harus membaca
berulang-ulang agar paham. Juga ada beberepa diksi yang harus dihapus ataupun
diganti agar cerpen menjadi lebih bagus dan renyah dibaca.
Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi selama
pembahasan tersebut. Pertama, bahwasanya plot itu beda dengan alur. Plot itulah
yang membuat cerita menjadi hidup. Tanpa plot, sebuah paragraf bisa jadi tidak
dapat disebut sebagai cerita. Plotlah yang nantinya membuat alur menyambung dan
terdengar sebagai sebuah cerita atau peristiwa.
Misal, ada yang mengatakan cerita terpendek itu hanya tiga kalimat yaitu kisahnya Julius Caisar “Aku datang, aku menang, dan aku berkuasa.” Namun ini baru hanya sebuah alur. Sedangkan deskripsi dari ia datang dengan apa hingga ia menang disebabkan apa dan berkuasa itulah yang disebut plot.
Kedua, kita sebagai pembaca juga harus melihat latar belakang seorang
penulis ketika ingin mengkritik sebuah karya. Karena beda penulis beda gaya
kepenulisan, disebabkan keberagaman budaya yang dimiliki. Terutama kita orang Indonesia
yang memiliki banyak provinsi, yang mana setiap provinsi memiliki budayanya
masing-masing.
Misal, di dalam cerpen ini kita akan merasakan kental sekali aroma Jawa.
Mulai dari panggilan “Nduk” yang digunakan untuk memanggil buah hati. “Dukun”
yang dipakai sebagai bidan yang membantu proses kelahiran. Itu disebabkan latar
belakang Juliana sendiri adalah wong Jowo.
Ketiga, bahwasanya gaya kepenulisan antara ikhwan dan akhwat itu berbeda.
Ikhwan lebih mengedepankan logika sedangkan akhwat lebih kepada perasaan. Ada kalanya
kedua spesies manusia itu dapat bersatu namun dalam beberapa hal mereka saling
bertolak belakang. Rasa saling legowolah yang harus dipupuk agar tidak terjadi
perselisihan nantinya.
Akhirnya acara ditutup dengan perkenalan oleh pejuang baru yang memutuskan bergabung di kapal FLP Mesir. Satu dari ikhwan dan tiga orang dari akhwat. Mudah-mudahan dengan kehadiran anggota baru membuat anggota lama kembali bersemangat dalam menulis. Mari jadikan menulis sebagai sarana mengenalkan risalah islam ke dunia yang luas ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar