Puisi Faisal Zulkarnaen

lelaki
memandang ujung kaki
di bangku taman berteman sunyi

angin tertawa mengejek dan menari
kau pikir aku akan menolongmu
menerbangkan mimpi-mimpimu
dan menyemainya di putik-putik bunga?

lelaki 
memandang ujung kaki
di bangku taman berteman sunyi

bulbul kecil membisikkan melodi satir
jadi kau ingin aku terbang ke negeri Saba
dan mengambilkan sebutir permata...
untukmu?

mendengar itu
sang lelaki berhenti mencintai bunga-bunga


|Kairo, musim semi 2011|

Lelaki Bunga

by on November 13, 2011
Puisi Faisal Zulkarnaen lelaki memandang ujung kaki di bangku taman berteman sunyi angin tertawa mengejek dan menari kau pikir aku akan m...
Cerpen Indra San Meazza


Nafasnya masih terus memburu. Penasaran. Seringai sinis di wajahnya tak henti-hentinya ia sunggingkan pada seseorang di hadapannya. Kecewa, terpukul, terhina, bertumpuk-tumpuk menjadi satu.

"Masih jelas ingatanmu tentang keluhmu dulu?! Mengapa ketika bahagia itu sudah terwujudkan, bukan kedamaian dan kepuasan yang hinggap. Ternyata hanya rasa hambar dan tak berselera yang menjalar. Apa karena tantangan itu sudah reda dan klimaks penderitaan selama ini tak dapat ditebus dengan kebahagiaan sekejap," matanya mencorong menuntut.

"Huh, ketika itu aku kewalahan meredakan gerutumu. Bukankah bahagia itu yang kau igaukan, kau dambakan. Yang terus menghantui tidur dan lamunanmu. Yang kerap menghiasi pergolakan jiwamu. Yang membuat dendammu selalu membara.

Derita Bahagia…*

by on November 13, 2011
Cerpen Indra San Meazza Nafasnya masih terus memburu. Penasaran. Seringai sinis di wajahnya tak henti-hentinya ia sunggingkan pada se...
Puisi Afiat Fahma Zamani 


You’re a shiny pearl
But looks too dark
You’re a sweet honey
But tasted too bitter
You’re a beauty rose
But felt too wilt

To Look U’r Shiny
To Taste U’r Sweet
And To Feel U’r beauty
Are very Hard for Me

Step to Paradise

by on November 13, 2011
Puisi Afiat Fahma Zamani  You’re a shiny pearl But looks too dark You’re a sweet honey But tasted too bitter You’re a beauty rose B...
Puisi Afiat Fahma Zamani 


Aku ini bagaimna dan aku harus bagaimana?
Bukankah kulitku masih biru,
Mengapa slalu disuruh ini itu?
Disaat pikirku belum terisi,
kenapa tak ada yang memahami?

Aku ini bagaimna??

Aku makan kamu makan,
tapi aku yang disalahkan!
Aku Lari dia lari
Aku yang dimarahi!
Aku belajar mereka belajar,
Lagi-lagi aku yang digencar!
Aku manusia, Kamu, dia juga mereka pun manusia.
Mengapa tidak sama?!!

Aku Ini Bagaimana

by on November 13, 2011
Puisi Afiat Fahma Zamani  Aku ini bagaimna dan aku harus bagaimana? Bukankah kulitku masih biru, Mengapa slalu disuruh ini itu? Disaa...
Puisi  Afiat Fahma Zamani


Coba kau terka,

apa maksud ‘Lawan’ menjajah kita?
Harta? Iya!
Kuasa? Benar!
Agama? Seratus!

Namun, tahukah kau,
Apa maksud Tuhan dibalik penjajahan?
Tentu tidak untuk sebatas merajalelakan keonaran,
Juga bukan sekedar menyebarluaskan kerusakan
Atau bahkan memporakporandakan ajaran!

Dulu,
Adanya lawan, muncul pahlawan
Maraknya kerusuhan, timbul pergerakan
Terjadinya penjajahan, lahir kemerdekaan
Demikian lah Tuhan mengatur perjalanan alam

Sekarang
Tak ada lawan, tiada juga pahlawan
Heningnya keadaan, memudahkan penggelapan
Punya pemerintah, tapi rakyat tetap saja susah

Lalu,
Apakah kita akan pasrah dengan aturan Tuhan?

Cairo, 10 November 2010
persembahan untuk Ibu pertiwiku Indonesia

 ·  · Bagikan

(Pah)Lawan

by on November 13, 2011
Puisi  Afiat Fahma Zamani Coba kau terka, apa maksud ‘Lawan’ menjajah kita? Harta? Iya! Kuasa? Benar! Agama? Seratus! Na...








Oleh: Irja Nasrulloh

Wahai manusia-manusia yang tertidur dalam buaian sejarah…Sejarah kita memang Indah…Sejarah kejayaan Islam memang memesona. Tapi coba bangunlah sebentar…kembalikan kejayaan itu! Yakinlah, kita bisa!
Sejarah Islam di Bagdad, Damaskus, Andalusia, dan lainnya, telah membuai jiwa-jiwa yang selalu membangga-banggakan nenek moyangnya. Kita selalu berteriak-teriak kepada dunia akan kejayaan Islam masa lalu, akan tetapi apakah artinya semua itu, tanpa disertai keinginan dahsyat untuk mengembalikan imperium Islam itu. Teriakan itu tak lebih dari sebuah kekosongan! Hampa! Fatamorgana!
Delapan ratus tahun umat Islam  berjaya di Spanyol. Salah satu kota di Spanyol yang telah disaksikan dengan bangga oleh sejarah adalah Cordoba. Dahulu, Cordoba pernah dikuasai Bizantium di bawah komando raja Goth Barat. Tahun 711 M atau 93 H, ketika Islam masuk ke daerah itu, Cordoba memulai babak barunya. Cordoba menjadi pusat peradaban Islam yang bersinar di atas planet bumi.

Oleh Irja Nasrulloh
 
Jika membahas kematian, maka sebenarnya kita sedang membahas masa depan kita. Ya, itulah masa depan. Masa depan daripada semua makhluk yang bernyawa.
Seseorang yang tak ingin menjemput kematian, berarti ia telah mengingkari sebuah realita. Mati menjadi sebuah realita yang terus terjadi setiap detiknya, dalam sekat bola dunia. Terlalu banyak nyawa yang melayang seiring detakan jarum jam, dari ujung timur sampai ujung barat dunia ini. Kematian pasti akan menemui kita!
Seseorang yang mengingat mati(karena ia percaya akan datangnya kematian itu, sewaktu-waktu), maka akan selalu berusaha untuk memperbaiki segala tindakannya. Ia tahu, bahwa nyawa akan melayang kapan saja, serta dalam kondisi apa saja. Tentu, hal ini terjadi pada orang-orang yang meyakini eksistensi akhirat. Adapun, bagi orang-orang yang mengingkarinya, maka hal ini mustahil terjadi.
Inilah “Spirit Kematian” yang akan menjadi motor segala tindakan manusia untuk lebih baik. Mungkin benar, bahwa dunia ini panggung sandiwara. Dunia ini juga sekadar taman-taman bermain. Hakikat dunia ini tak ubahnya medan imtihan. Perbuatan manusia, merupakan aksi yang pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan The Judge, Allah Swt. Jadi, kebaikan atau kesalahan yang sebesar atom pun pasti ada balasannya.
Kata orang, “mengingat mati justru akan mengendorkan semangat hidup.” Berbeda denganku, menurutku justru mengingat mati akan menjadi penyemangat hidup. Bagaimana bisa jadi penyemangat? Seperti disinggung di statement sebelumnya, bahwa dengan mengingat kematian yang sewaktu-waktu tiba, kita akan meningkatkan kualitas hidup kita. Sebelum ajal sempat datang, kita akan “menabung” segala perbuatan baik kita, sebanyak-banyaknya. Sebelum nyawa melayang, kita akan  berusaha memberi manfaat (baca:kontribusi) untuk umat manusia di dunia ini, sebesar-besarnya. Dengan hal seperti inilah, maka akan tercipta sebuah kemajuan yang teramat pesat. Segala tindakan dan sisi-sisi kehidupan manusia akan terus di-support oleh spirit kematian ini. Sudahkah Anda memiliki spirit kematian ini? Atau justru Anda bertolak dari spirit ini?


 


Spirit Kematian

by on November 08, 2011
Oleh Irja Nasrulloh   Jika membahas kematian, maka sebenarnya kita sedang membahas masa depan kita. Ya, itulah masa depan. Masa d...


Oleh Irja Nasrulloh

Entahlah, tiba-tiba saja terbesit untuk menulis judul di atas. Saya hanya ingin menyinggung sekilas tentang sosok unik bernama wanita.
Berbicara mengenai wanita, kadang kita akan sampai pada poin di mana wanita adalah manusia yang tercipta begitu mempesona, karena keindahannya. Hal ini diibaratkan oleh Kitab Suci, yang menggambarkan bagaimana di surga nanti, terdapat wanita-wanita cantik yang akan menjadi pendamping orang-orang yang bertaqwa. Wanita-wanita atau bidadari inilah sebagai balasan bagi orang-orang yang taat pada Robnya selama di dunia.  Namun, bukan hal itu yang saya inginkan tekankan di sini.
 Sejujurnya,  saya memang kagum pada seorang wanita. Karena wanita tidak bisa lepas dari sosok ibu saya. Ibu yang selalu ikhlas berjalan di atas nanah dan darah, saat mulai mengandung kita, sampai kemudian mengasuhnya. Sungguh ibu menjadi simbol keihklasan hati.
Lepas dari semua hal di atas, seorang wanita sangat berbeda secara fisik dengan seorang laki-laki. Secara kekuatan jasmani, maka laki-laki akan berada di atas tingkat seorang wanita. Adapun secara kejiwaan, wanita lebih sensitif dibanding seorang laki-laki. Hal ini tetap tidak menafikan bahwasannya di sana juga ada laki-laki yang begitu peka terhadap rangsangan alias sensitif. Satu hal yang perlu kita ingat, di dalam kelemahan (baca:secara fisik) seorang wanita, di sana tersimpan hati yang begitu kokoh dan perkasa. Ya, saya katakan perkasa, karena ternyata kebanyakan wanita menjadikan hati sebagai tameng dalam situasi yang sedang melandanya. Di dalam hati inilah tersimpan kekuatan yang begitu dahsyatnya, sampai-sampai mampu meluluhkan keperkasaan fisik seorang lelaki. Seorang lelaki yang gagah perkasa, tiba-tiba akan takluk di depan seorang wanita yang berhati tulus dan lembut. Ingatkah Anda akan kisah ratu Cleopatra yang mampu menundukkan raja yang begitu perkasa?
Di sisi lain ada juga seorang lelaki yang luluh di hadapan wanita bukan karena kecantikan hatinya, tapi karena keindahan dan lekuk-lekuk tubuhnya. Tipe lelaki kedua inilah yang kita singkirkan dahulu, supaya pembahasan tidak terlalu melebar.
Memang secara ego, wanita lebih mendahulukan hati atau perasaannya daripada akalnya. Hal ini terbukti menurut eksperimen yang saya lakukan selama ini, melalui studi literatur. Wanita lebih memprioritaskan kejiwaannya hampir dalam segala hal, ( Maaf), bahkan dalam masalah ranjang sekalipun. Hal ini yang kadang kurang disadari seoarang suami, padahal inilah salah satu kunci keharmonisan keluarga. Seorang lelaki lebih memprioritaskan kepuasan fisik, padahal wanita membutuhkan kehangatan kasih sayang batin yang lebih lama. Dalam beberapa menit saja di atas ranjang, seorang lelaki akan cepat menerima kepuasan klimaks dari seorang wanita serta akan cepat meninggalkan istri yang masih membutuhkan kasih sayang lebih lama. Banyak istri-istri yang malu untuk berterus terang pada suaminya dalam hal ini. Sikap malu yang berlebih dalam diri wanita, sejatinya menjadi problem. Ah, naif sekali!!! Inilah alasan istri mengapa terkadang harun jajan di luar. Hal-hal yang terlihat sederhana, terkadang akan memporak-porandakan kehidupan rumah tangga. Bahkan dalam sebuah literatur yang pernah saya baca, kalaupun tidak menuntut, seorang wanita tidak memerlukan kepuasan hubungan biologis dengan suami (walaupun hal tersebut hakikatnya tidak sesuai dengan fitrah manusia yang dianugerahi nafsu syahwat oleh Allah Swt.). Yang dia butuhkan adalah ketulusan cinta dan kasih sayang yang mendalam dari seorang suami. Sederhananya, wanita sangat membutuhkan kepuasan batin dari pasangannya. Tentu, Anda boleh untuk tidak mempercayai hal ini.
Ucapan dan gerak-gerik seseorang akan mudah dinilai oleh perasaan wanita. Seorang lelaki yang tanpa sengaja telah melontarkan kata-kata, melirik, atau isyarat apa saja kepada seorang wanita terkadang akan menimbulkan masalah. Begitulah perasaan seorang wanita yang begitu peka terhadap rangsangan apapun yang datang. Berbeda dengan laki-laki yang lebih condong menggunakan akalnya dalam menghakimi sesuatu. Dari sinilah kita akhirnya menjadi tahu, mengapa seorang perempuan akan mudah merasa cemburu, cemberut, ngambek, dan lain sebagainya. Itulah sekelumit tentang wanita.

Kenyataan Seorang Wanita

by on November 08, 2011
Oleh Irja Nasrulloh Entahlah, tiba-tiba saja terbesit untuk menulis judul di atas. Saya hanya ingin menyinggung sekilas tentang ...


Cerpen Irja Nasrulloh

Pagi telah menyapa alam dengan suram. Hembusan udara pagi kali ini tak bersahabat. Alam sekitar telah mengeluarkan aura panas yang membara. Begitu juga dengan kicauan burung-burung yang mendendangkan lagu permusuhan. Alam dan isinya benar-benar mengutukku dan berteriak bahwa diriku ini haram.
Aku menyusuri jalanan yang berliku dan cukup terjal pagi itu. Jalanan yang membelah hutan pinus itu adalah jalan utama yang akan menghubungkan dengan jalan  beraspal. Aku membiarkan rambutku yang  panjang teruarai bebas, bergerak ke sana-kemari. Dengan membawa tas hitam yang mulai usang, aku terus berjalan dan harus berjalan sekitar dua kilo meter lagi. Itu bukan suatu pekerjaan yang berat, tetapi sudah menjadi hal yang biasa.Tujuanku kali ini adalah SMA Bhakti Karya, Kalijambe, Purworejo, sebuah tempat di mana aku menapaki jalan keilmuan.
Kini aku telah tiba di pintu gerbang sekolah. Seperti biasanya, ada dua orang pengemis di dekat pintu gerbang itu. Setiap aku datang, mereka selalu tersenyum kepadaku. Aku pura-pura tersenyum membalasnya dengan senyuman palsu. Entahlah, bosan juga terus-terusan melihat kedua pengemis itu
"Met pagi, Mira…" sapa temanku di dekat pintu gerbang sekolah.
"Pagi juga…" jawabku hambar.
"Sudah siap, nih…" ledek temanku. Aku pun hanya tersenyum lesu dan tak menjawabnya.
Ini adalah hari terakhir ujian sekolah semester pertama, dengan mata pelajaran fisika.Tanpa basa-basi aku menghamburkan diriku kepada teman-temanku. Sebentar lagi bel tanda masuk berbunyi. Benar, tak berapa lama bel berbunyi dan aku  masuk ke kelas tiga IPA II. Semua terlihat begitu serius kecuali aku. Entahlah diri ini terlalu kenyang dengan masalah hidup yang tak pernah terhenti, sampai-sampai masalah itu mampu memporak-porandakan konsentrasiku ketika ujian.
Suasana kelas sunyi. Semua yang berada di kelas masih dengan mulut terkatub, berpusar pada konsentrasi untuk meraba jawaban-jawaban ujian. Begitu juga denganku yang terus mencoba berkonsentrasi, mencoba mencampakkan masalah-masalahku. Ketika aku terus mencoba, ternyata semakin getir yang aku rasakan, dan semakin pahit yang aku telan. Semua rumus-rumus tak ada yang kuingat kecuali sedikit sekali. Aku tak berdaya. Pikiranku berputar-putar bagaikan gangsing. Bintang-bintang  pun semakin banyak  berputar-putar di atas kepalaku. Kepalaku sangat pusing. Pandanganku tiba-tiba kabur. 
" Grupyak..!!!aku pingsan dan terjatuh ke lantai. Semua pandangan mata beralih kepadaku.
"Angkat..!" seru pengawas waktu itu kepada teman-teman kelasku. Aku pun dibawa ke ruang unit kesehatan sekolah untuk menjalani pemeriksaan. Beberapa menit kemudian aku siuman, tapi tak mampu lagi mengikuti ujian. Aku pasrah.

* * *
Malam sudah mengepakkan sayapnya. Seperti biasa aku kembali beraktivitas di dalam keremangan malam dan jauh dari keramaian.Ini adalah suatu pekerjaan yang sangat beresiko. Ini kaitannya dengan menjajah anak bangsa secara halus. Akulah sang pengedar narkoba. Sudah lama aku meracuni generasi harapan bangsa. Hati kecilku terluka, dan begitu pedih setiap kaki ini melangkah menuju pojokan gelap pusat kota Purworejo. Di sanalah para pelangganku selalu menunggu barang haram yang aku bawa. Stok morfin aku dapatkan dari seorang teman kenalanku di Jogjakarta.
"Sip nih, nono'nya dah datang…" bisik Paendol, pelanggan setiaku.
" Stt…" bisikku. Aku mendekat kepada mereka.
" Kali ini aku bawa yang lebih ok, gimana?" lanjutku sambil melirik para bajingan yang ada di situ.
" Kongkret, bisa dikompromikan, manis..?" kata Jeky sambil mencolek pipiku.
Aku melengos menolak colekan menjijikkan itu.
Pukul 00.15 aku masih bersama para bajingan di pojokan gelap, pusat kota. Dalam kegelapan malam yang mencekam itu, aku teringat ibuku yang kini tergolek lemah sendirian. Terbayang bahwa aku akan segera membelikan obat dan makanan untuk ibu dari hasil bisnis gelapku ini. Sungguh semua ini aku lakukan demi memperjuangkan seorang ibu. Sekali lagi, demi memperjuangkan sebuah nyawa.
" Dwer…" terdengar sebuah suara ledakan sangat keras di dekat tempat rahasia kami, memecah kesunyian malam.
"Tiarap!!!" bisik Paendol. Kami semua pun tiarap, waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.
"Dwer…"terdengar suara ledakan kedua. Mulut kami semua masih terkatub. Jantung kami berdetak kencang. Aliran darah mengalir deras menjalari sudut-sudut tubuh kami. Sekitar setengah jam kami tak bergerak dari posisi tiarap. Peluh-peluh dingin pun membasahi dahiku. Napasku pun mulai sesak. Aku tak tahan dengan keadaan yang seperti ini.
" Coba, ada yang menengok keadaan sekitar! Tak kuat kalau begini terus" aku berbisik kepada orang-orang di sekitarku.
" Sabar, tunggu sepuluh menit lagi, agar suasana benar-benar dipastikan aman." bisik orang di sampingku. Aku tetap bertahan dengan keadaan yang menyiksa itu, menunggu sepuluh menit kemudian.
Jarum jam sudah menambahi rotasinya sebanyak sepuluh menit. Kemudian dengan sangat hati-hati Jeky bangkit, mengendap-endap melihat keadaan sekitar. Mimik mukanya terlihat serius. Matanya melirik ke samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Sepertinya keadaan bisa di pastikan aman.
Jeky memberi isyarat kepada kami semua yang masih tiarap, bahwa keadaan masih bersahabat. Tanpa sengaja matanya menghadap ke samping kanan atas, sebuah travo di tiang listrik mengeluarkan asap. Sudah bisa dipastikan bahwa ledakan yang baru saja terjadi adalah ledakan travo tersebut. Kami semua menarik napas dengan lega, menuju pembebasan. Uuuh…
Pagi pukul tiga aku harus pulang. Dengan naik ojek seharga empat ribu rupiah aku akan cepat sampai di rumahku. Untung masih ada ojek yang aktif dua puluh empat jam di tempat itu. Pekerjaan beresiko itu tidak kulakukan setiap hari, karena aku harus membagi waktuku, di mana aku juga masih punya tanggung jawab untuk menyelesaikan  tugas-tugas dari sekolah. Kini, tak ada waktu lagi untuk ke gereja, karena aku sudah lama meninggalkan kebaktian gereja st. mark yang dilaksanakn setiap hari minggu. Memang dulu ketika ayah masih ada kami adalah penganut Kristen katolik yang taat. Dulu kami selalu menyembah Yesus dan mengkuduskan bunda Maria.Tapi, sekarang aku tak tahu statusku, apakah aku penganut Kristen atau justru telah berubah menjadi atheis. Entahlah…
Ojek berhenti di depan apotek multi farma untuk membeli obat. Aku tak tahu jenis apa yang harus aku beli. Aku hanya menerangkan gejala-gejala yang menyerang ibuku kepada apoteker. Aku hanya bisa berharap semoga apoteker tak salah pilih, sebab penyakit ibuku sangat kronis.
Aku pun tiba di rumah setelah perjalanan sekitar setengah jam dengan ojek. Aku masuk rumah dan berlari menuju ke kamar ibu. Perasaan khawatir tiba-tiba muncul.
 Langsung aku pegang tangan ibu.
"Bu, Ibu." aku berkata pelan.
            "Bu, bagaimana keadaan Ibu, ini Mira belikan obat, Bu?" kataku melanjutkan.
Ibu masih terdiam. Kutatapi wajahnya. Matanya cekung, wajahnya terlihat kering dan pucat, tulang-tulangnya terlihat menonjol. Dia mulai bergerak, tangannya meraba-raba, ingin mencari sesuatu.
" Bu, ini mira disini, di dekat Ibu". kataku kepada ibu. Aku memegang erat tangan ibu.Terlihat bola matanya bergerak-gerak, dan beberapa saat kemudian secara perlahan membuka matanya.
" Nduk…" kata ibu perlahan.
" Iya,bu? Mira di sini." kataku.
Aku pun mengambilkan semangkuk bubur nasi putih yang kubuat tadi malam. Kusuapi ibu. Sisi halus perempuanku tiba-tiba muncul. Mataku basah melihat kondisi ibu yang seperti ini. Mengenaskan…
Air mataku terus meleleh melepaskan aliran kesedihan. Kupijit-pijit kakinya sambil aku terus menyuapinya. Jika aku melihat tubuh ibu yang kerontang ini, aku jadi teringat dua orang pengemis yang sering aku lihat itu. Entahlah, kenapa aku tiba-tiba mengingat orang-orang itu? Dua orang itu memang sekurus ibuku. Mereka selalu duduk di dekat pintu gerbang sekolah, mengharapkan belas kasihan orang-orang yang tersentuh hatinya. Aku menyesal kadang berbuat tidak sopan kepada mereka. Aku sering salah tingkah ketika mereka selalu  menatapku lama-lama, seperti ada sesuatu yang ingin mereka katakan kepadaku, tetapi tak tersampaikan dan tercekik di leher. Siapa mereka sebenarnya? Ah, aku campakkan ingatan-ingatan itu. Dasar pengemis!
Aku terus memandangi wajah ibu lekat-lekat. Aku tak beranjak dari  samping ibu walau perut ini sejak tadi keroncongan, minta diisi. Sungguh, aku tak terlalu memperdulikan hal itu, karena cintaku kepada ibu telah mampu mengenyangkan jiwa dan ragaku. Beberapa saat kemudian, kubantu ibu minum obat. Aku tetap  setia menungguinya hingga ia bisa tertidur.

* * *

" Mira!" teriak temanku, Winani namanya.
" Ya, ada apa?" tanyaku.
" Di panggil pak Hadi di ruang BK(bimbingan konseling)." kata winani
" Ya, aku akan segera ke sana." kataku
Aku bergegas menuju ruang BK. "Ada apa gerangan?" batinku.Tak biasanya pak Hadi memanggilku. Lagi pula beliau kan guru Pendidikan Agama Islam. Aku tak pernah mengikuti pelajarannya. Aku sangat membenci pelajaran agama Islam.
"Jangan-jangan…"pikirku. Sambil berjalan menuju ruang BK, pikiranku dipenuhi bermacam-macam pertanyaan. Tak beberapa lama, aku pun tiba di ruang BK.
"tok,tok,tok…"aku mengetuk pintu ruang BK.
"krek…" sesaat kemudian, pintu pun terbuka dan muncul seorang lelaki yang cukup muda dengan pakaian seragam, yaitu jas dan celana abu-abu.
" Silahkan masuk!" perintah orang itu, beliaulah pak Hadi.
" Terima kasih." kataku.
Aku pun masuk dan duduk berhadap-hadapan dengan pak hadi di ruangan khusus untuk bimbingan konseling. Di sana aku ditanyai bermacam-macam hal, seputar pelajaran dan kehidupanku. Aku bagaikan seorang tereksekusi yang terus dilempari bermacam-macam pertanyaan. Aku seakan-akan terhipnotis. Tak ada yang bisa aku sembunyikan, termasuk pekerjaan malamku selama ini. Aku beberkan rahasia yang sebenarnya tak seorang pun boleh tahu. Tapi, dengan aku beberkan masalah-masalahku itu, aku berharap ada lorong-lorong terang yang bisa kulewati untuk menuju kehidupan yang lebih putih.
Beliau kemudian menasehatiku. Beliau mengutip sebuah ayat Al-qur'an surat Al-'Ashr ayat 1-3. Aku tersinggung saat beliau mengutip ayat Al-qur'an. Jati diriku sebagai seorang Kristen muncul lagi manakala bersinggungan dengan masalah keislaman. 
" Pak, tolong jangan perdengarkan ayat-ayat Al-qur'an kepada saya…" kataku pada pak Hadi.
"Kenapa?" tanya beliau.
" Bagaimana mungkin bapak mengutip ayat Al-qur'an, sedangkan saya tidak percaya pada Al-qur'an itu sendiri." aku menolak.
" Saya tidak memaksa kamu percaya pada Al-qur'an, Hanya saja yang perlu diingat bahwa kamu bisa tahu kebenaran suatu kitab suci karena melihat isinya. Bagaimana kamu tahu kalau Al-qur'an itu salah jika belum tahu isinya? " katanya.
Aku terdiam mengiyakan kata-kata pak Hadi. Lidahku terasa lunglai. Kepalaku menunduk.
Pak Hadi kemudian melanjutkan kata-katanya.  
"Aku ikut prihatin dengan masalah yang kamu alami…"  Beliau menunduk dan berhenti dari kata-katanya, ikut merasakan pedihnya masalah yang aku alami. Beberapa saat lamanya,  tak ada suara yang keluar dari mulut, yang hanya ada hanya kesunyian siang bolong. Sisi halusku muncul saat itu juga. Perlahan, air mataku membasahi pipi, meratapi nasibku yang begitu malang. Dalam hati aku mengutuk diri sendiri. Mengapa aku harus mengalami derita seperti ini? Mengapa bukan orang lain? Mengapa aku diciptakan di dunia untuk menjadi seperti ini? Air mataku benar-benar mengucur deras. Semuanya terasa dingin dan membeku. Darahku juga membeku.
Selang beberapa saat, pak Hadi melanjutkan perkataannya.
" Saya tahu keadaan yang menimpamu, tapi bagaimanapun juga kesalahanmu tersebut adalah kesalahan yang fatal. Kamu telah mendukung penjajahan bangsamu sendiri secara pelan-pelan. Kamu telah mengerdilkan pemikiran generasi pewaris bangsa." kata pak Hadi.
Aku terisak, sangat menyadari kesalahan terbesar yang aku lakukan. Memang aku telah merusak saudara-saudaraku pewaris negara. Aku telah menginjak-injak masa depan mereka. "Apapun akan aku lakukan untuk menebus kesalahanku ini." hatiku berbisik.
"Sudahlah. Hapus air matamu. Yang terpenting sekarang adalah mulai detik ini juga, kamu harus menutup lembaran hitammu itu. Pintu kesempatan terbuka lebar untukmu. Kamu masih sangat muda untuk membuka lembaran-lembaran yang lebih putih dan lebih cerah untuk masa-masa mendatang. Masih ada waktu untuk semua itu." pak Hadi memberikan nasehat dengan penuh kebijaksanaan. Kemudian, beliau membuka lemari yang ada di ruang itu. Beliau mengambil bingkisan rapi yang dimasukkan ke dalam plastik biru.
"Terimalah pemberian sederhana ini… " kata pak Hadi sambil menyodorkan plastik biru itu kepadaku. Aku diam dan belum mampu berkata-kata. Aku masih menahan sesenggukan, yang tersisa dari isakan tangisku. Aku mencoba menenangkan diri.
" Te, te, terima kasih, pak?" aku menerima bingkisan itu, dan mengucapkan banyak terima kasih kepada pak Hadi atas nasehat-nasehat beliau, sebelum kemudian pamit untuk keluar. Beliau mengantarkanku sampai ke pintu. Aku pun keluar dan menuju kelasku.

*  * *

Empat bulan kemudian…
Aku terus mempelajari Al-qur'an terjemahan Indonesia yang diberikan pak Hadi empat bulan yang lalu, juga buku-buku pemberian pak Hadi, seperti buku "The Choice" karya Ahmed Deedat dan buku "Sejarah Teks Al-qur'an" karya Prof. Dr. M. M al A'zami. Aku masih ingat betul ketika Al-qur'an dan buku-buku itu diberikan di ruang BK. Aku juga terkejut ketika membuka amplop yang sengaja diselipkan pak Hadi di antara bungkusan buku. Amplop tersebut berisi uang sejumlah satu juta rupiah. Semua itu masih hadir di benakku dan sudah berlalu empat  bulan yang lalu.
Aku sudah menghempaskan jauh-jauh bisnis terlarangku selama ini. Aku benar-benar taubat. Kini aku sibuk membandingkan masalah teologi Islam-Kristen. Kadang-kadang keduanya mempunyai kemiripan, tapi kadang juga sangat kontradiktif. Aku sering mengadakan diskusi dengan pak Hadi, seperti kali ini,
"Pak, bukankah Al-qur'an juga mengakui bahwa Yesus(nabi Isa as.) sebagai "Roh Kudus" dan "Kalimat Allah"? Ini cukup untuk menjadi bukti bahwa Yesus itu sendiri anak Tuhan dan penjelmaan dari pada Tuhan itu sendiri." aku meyakinkan pak Hadi, bahwa Yesus adalah Tuhan.
" Benar, Al-qur'an menyebut semua itu, tetapi Al-qur'an juga menyebutkan bahwa Kalimat Allah itu jumlahnya tak terkira. Itu semua merujuk kepada ilmu dan hikmah-Nya,  seperti yang termaktub di dalam Al-Qur'an S.18: 109, disebutkan,

 "Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Jadi pendapatmu telah dibantah oleh ayat tersebut. Yesus bukan satu-satunya kalimat Allah. Adapun Yesus menjadi "Roh Kudus", itu tak mempengaruhi derajatnya sebagai manusia. Al-qur'an juga menggunakan kalimat "Roh Kudus" untuk nabi Adam as (Surat Al-hijr: 29)." pak Hadi berbicara panjang lebar.
" Baiklah, akan tetapi di dalam Injil yang saya pelajari bahwa Yesus menyatu dengan Tuhan Bapa, jadi Dia adalah Tuhan.(Yohanes 14: 11)
" Kamu tidak melihat perkataan Yesus sendiri juga di dalam Injil Yohanes 14:28, Dia mengatakan:
"Kamu telah mendengar, bahwa Aku telah berkata kepadamu: Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu. Sekiranya kamu mengasihi Aku, tentu kamu akan bersukacita karena Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku."

Yesus mengakui bahwa Bapa-Nya lebih besar. Kalau Dia sendiri mengakui bahwa ada yang lebih besar dari-Nya, apakah pantas disebut Tuhan? Bukankah Tuhan itu maha besar dan maha segala-galanya.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa Yesus bukan Tuhan, Dia hanyalah rasul yang diutus oleh Allah kepada Bani Israil, seperti yang disebutkan di dalam Injil Matius pasal 15 ayat 24. Ayat lain yang menyatakan bahwa Yesus adalah hanya sebagai utusan, bukan Tuhan yaitu Yohanes 17: 3, Markus 6:4, Lukas 13:33, dan lain-lain." Pak Hadi melanjutkan. Aku mengangguk-angguk.
"Baiklah, terima kasih atas keterangan-keterangan Bapak.  Akan saya pertimbangkan segala keterangan-keterangan dari Bapak, dan mungkin kita sudahi dulu diskusi kali ini." kataku pada pak Hadi.
" Ya, kita cukupkan saja, bisa kita sambung lain kali. Teruslah belajar, ya?" kata pak Hadi. Aku pun mengangguk dan tersenyum, kemudian pergi.
Aku semakin bingung dengan Injil yang penuh kontradiktif. Lagian orang-orang Kristen lebih banyak bersembunyi di balik misteri Tuhan, ketika mereka tak mampu menjelaskan konsep teologi Kristen, seperti trinitas, dosa warisan, penebusan dosa, dan lain sebagainya. Kebanyakan teologi Kristen bertentangan dengan akal sehat. Kadang orang-orang Kristen juga beralasan bahwa Injil hanya bisa ditafsirkan secara hermeneutika, yaitu sesuai setting waktu itu, saat penurunan wahyu. Ini justru semakin menguatkan pendirianku bahwa Injil hanya untuk Bani Israil waktu itu. Aku pun terus memutar otak, mengambil sebuah keputusan di antara tetap fanatik terhadap kekristenanku atau berjalan di atas jalan terang yang mulai membuka jiwaku. Aku masih berpikir dan belum mampu menentukan keputusan. Tuhan… beri aku petunjuk…

* * *
Malam itu aku berbaring di samping ibu. Aku menerawang langit-langit kamar sambil menimbang-nimbang kedua teologi agama Kristen-Islam. Tiba-tiba, tubuh ibu yang sedang tenang itu menggeliat. Aku memperhatikan ibu dengan seksama.
"Ibu…bagimana keadaan ibu sekarang,apakah lebih baik?" tanyaku pada ibu.
"Ya,lebih baik."jawab ibu tetap dengan keadaan masih lemah,tetapi lebih baik dari sebelumnya.
"Nduk…ibu mau bilang sesuatu pada kamu." kata ibu
"Bilang saja, Bu. Ibu perlu apa?" tanyaku
"Ibu tidak perlu apa-apa, hanya…" jawaban ibu terputus.
"Hanya apa, Bu?"tanyaku pada Ibu.
"Ibu hanya ingin mengatakan bahwa…"jawaban ibu kembali terputus. Tiba-tiba dia menangis. Aku semakin penasaran kepada ibu. Aku mencoba menenangkan diri.
"Ibu…ayolah katakan saja. Ada apa sebenarnya?"aku sedikit mendesak ibu.
"Begini, nak. Sebenarnya kamu bukanlah anak ibu yang sebenarnya." kata ibu.
"Maksud ibu?"aku terhenyak dan melototi ibu, tak percaya pada kata-kata yang baru kudengar.
"Kamu bukan berasal dari darah daging ibu dan bapakmu yang kamu kenal itu,akan tetapi…."ibu tak meneruskan kata-katanya. Dia menangis, menangis pedih. Begitu juga dengan diriku. Jantungku hampir copot mendengar kata-kata ibu.Tubuhku lemas, sumsum tulang punggungku berubah menjadi es. Aku tetap berusaha untuk menenangkan diri.
"Kamu adalah darah daging pengemis-pengemis yang sering kamu lihat itu." sesekali ibu mencoba menahan tangisanya sambil terus berkata."pengemis di depan pintu gerbang sekolah itulah orang tuamu yang sebenarnya."
Aku masih diam tak bisa berkata-kata, dan membiarkan ibu menyelesaikan pembicaraanya.
"Dulu kedua orang tuamu itu melarikan dari desa asalnya karena takut kecaman dari warga sekitar, setelah diketahui bahwa mengandung jabang bayimu dari hasil hubungan gelap." ibu terus tersedu dan terhenti dari pembicaraannya. Dalam kondisi yang begitu lemas masih saja diriku dihantam oleh halilintar malam jika dikatakan bahwa aku adalah anak haram hasil hubungan gelap kedua orang tuaku. Air mataku telah berubah menjadi darah. Malam yang gelap bertambah gelap. Desiran angin malam yang menorobos lewat celah-celah jendela terasa menyayat kulitku, mencopoti tulangku satu persatu.
"Ibu, ayo ceritakan lagi mengapa akhirnya aku bisa bertemu ibu." Sambil terisak aku berkata  kepada ibu. Ibu pun mengusap air matanya, kemudian berkata,
"Saat itu kamu sudah dilahirkan. Orang tuamu pada saat itu sudah menjadi pengemis. Sepertinya mereka sudah tak punya gairah hidup. Mereka benar-benar depresi dengan masalah yang mereka hadapi. Umurmu kira-kira dua bulan. Saat itu juga aku dan suamiku belum punya anak, padahal kami sudah menikah selama tujuh tahun. Kami sangat menginginkan seorang anak yang akan meneruskan generasi kami. Aku sering melihat bayimu yang mungil di pangkuan ibumu. Kamu juga sering menangis malam-malam, mungkin karena kamu kelaparan. ASI ibu yang kurang makan dampaknya berpengaruh  pada bayinya. Demikianlah menurutku yang terjadi pada ibumu, dia kurang makan. Selain itu kondisi cuaca di luar sangat tidak baik bagi bayi. Aku benar-benar tak tega melihatmu. Akhirnya aku dan suamiku bersepakat untuk mengambil kamu menjadi anak asuh. Kami sangat bahagia bisa mempunyai anak sepertimu. Maaf Nduk, ibu baru mengatakan sekarang, ketika kamu sudah dewasa. Sudah saatnya kamu mengetahui hal itu. Kamu tahu sendiri, ibumu ini sudah tua dan lemah. Jika suatu saat ibumu ini pergi, kamu sudah tahu siapa jati dirimu itu." kata-kata ibu semakin parau dan tergantikan oleh tangisan. Sungguh, aku tak pernah mengira bahwa akan terjadi hal seperti ini. kutak pernah berharap sedikit pun untuk menjadi anak haram, tapi kini kenyataannya berbeda. Aku terlahir dari darah haram. Akulah darah daging pengemis-pengemis itu…
Aku mendekap ibu. Kami hanyut dalam tangisan yang begitu pedih malam itu. Kami terus menangis. Rasanya tak ingin berhenti dari tangisan, walaupun kami tahu bahwa hal itu tak menyelesaikan masalah. Bagaimanapun air mata telah menjadi sahabat dekat kami. Tangisan kami baru  berakhir ketika fajar mulai menyingsing.

* * *
Tubuhku serasa melayang bagaikan kapas yang tertiup angin, lemah dan mudah terempas. Semua orang-orang di dekatku telah pergi ke alam baka. Ibu angkat yang telah mengasuhku selama ini kini telah tiada. Begitu juga pengemis-pengemis itu, keduanya telah tiada. Merekalah orang tuaku yang sebenarnya  Diri ini benar-benar tak berdaya. Diri ini tak memiliki siapa-siapa lagi. Aku sangat merasakan akan arti kehidupan di dunia ini. Dunia ini  hanyalah panggung sandiwara dan ladang usaha saja, untuk mempersiapkan kehidupan yang hakiki. Aku harus tegar dalam menghadapi kenyataan ini. Aku juga harus tegas dalam mengambil sikap.
 Dengan tekad yang bulat, akhirnya aku mengambil sebuah keputusan, yaitu bahwa Islam adalah agama yang sangat sesuai dengan multidimensi kehidupan ini. Hanya Islam sajalah  yang telah mengatur segala hal di dunia ini, dari hal sekecil atom sampai sebesar dan seluas jagad raya ini. Semua telah tergores melalui pena Islam. Islam juga mempunyai konsep ketuhanan yang jelas, bukan dogma buram seperti yang kemarin-kemarin aku yakini. Aku akan memeluk agama Islam. Pasti!
Aku pun segera datang kepada pak Hadi, untuk memenuhi syarat pertama untuk menjadi seorang muslimah, yaitu mengucapkan  syahadatain. Pak Hadi menerima maksud kedatanganku dengan penuh antusias. Beliau membimbingku mengucapkan syahadatain dan mengganti namaku menjadi Mir'ah al-husna, yaitu cermin kebaikan. Tak lama kemudian beliau sujud syukur dan memberikan ucapan selamat atas keislamanku. Bukan hanya beliau saja yang mengucapkan selamat kepadaku, akan tetapi juga alam dan isinya. Mereka semua riang gembira dan terus memuja Sang Pemilik maha karya serta mengucapakan: "Selamat untuk Mir'ah al-husna…Selamat untuk sang pencari kebenaran…" 
* * *
Tiga hari setelah keislamanku seorang laki-laki datang ke rumahku. Ia memakai pakaian warna hijau dan celana hitam. Ia memang sengaja berdandan rapi untuk memikat siapa saja yang melihatnya, termasuk aku pada kesempatan kali ini. Rupanya laki-laki itu juga baru saja membersihkan kumis dan merapikan jenggotnya. Bagaimanapun juga masih terlihat samar-samar bulu halus di wajahnya, yang menambah kewibawaannya. Sesaat kemudian, sosok dengan penampilan muda itu dengan penuh kemantapan, mengatakan maksud dan tujuannya. Aku sangat terkejut, ternyata aku dipinangnya. Sesaat lamanya aku terbungkam. Perasaan tak percaya, bingung, bahagia, semuanya menyatu. Sekali lagi lelaki itu mengulangi perkataanya. Ia sampai mengulanginya tiga kali. Kali ini aku tak mau mengeceawknnya. Aku mengangguk. Anggukan itulah sebagai isyarat bahwa aku menerima pinangannya. Dia kemudian membawakan untaian kalam pujangga yang sekonyong-konyong hadir di bibirnya:
Engkau seharum kuntum-kuntum surga.
Baumu semerbak menawarkan hadirnya cinta suci
Meresahkan setiap jiwa…
yang rindu akan lentera.
Kepastianmu menuju kebenaran adalah lentera
Menerangi…
Membangkitkan denyut-denyut kehidupan
Menguatkan helai-helai lunglai…
Menjadi kokoh dan perkasa
Dalam mengarungi samudera kefanaan ini

Aku tersenyum dan kemudian menunduk, bermaksud menyembunyikan kebahagiaanku. Air mata kebahagian meleleh dari kedua pelupuk mataku. Air mata itu  hangat, sehangat cahaya matahari pagi yang memberi kekuatan pada alam dan seisinya. Sungguh hatiku berbunga-bunga manakala aku telah mendapatkan lelaki yang selama ini aku teladani kepribadiannya itu. Bagaimana tidak, dialah lelaki pertama yang membukakan jalan untukku menuju jalan yang sangat terang. Dialah yang selama ini telah mensuport aku terus tegar dalam mengarungi jerihnya kehidupan. Dialah pak Hadi, guruku itu. Pak Hadi telah memberiku cahaya yang sanggup menerangi sisi-sisi gelapku. Aku sangat bersyukur ditakdirkan untuk membangun maghligai rumah tangga bersamanya. Sebentar lagi, seizin Allah, pasti aku akan menjalinkan rumah tangga yang dipenuhi dengan bunga-bunga cinta. Ini merupakan anugerah besar yang diberikan Allah kepadaku. Aku tak bisa menyatakan kebahagaiaanku, suatu kebahagiaan yang tak mampu dinyatakan dengan suara maupun deretan kata-kata. Ya Allah terima kasih…Ya Allah, rahmatilah kami…
* * *






Rahasia Malamku

by on November 08, 2011
Cerpen Irja Nasrulloh Pagi telah menyapa alam dengan suram. Hembusan udara pagi kali ini tak bersahabat. Alam sekitar telah meng...
Oleh Irja Nasrulloh

Berbicara mengenai fiksi maka kita tidak akan lepas dari sastra, karena fiksi sendiri merupakan sebuah istilah dalam karya sastra yang berarti khayalan atau tidak nyata. Yang termasuk dalam karya sastra adalah cerpen, novel, pantun, syair, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi. Semua itu juga disebut dengan fiksi karena merupakan hasil imajinasi atau khayalan belaka.
Fiksi merupakan sebuah karya yang mudah dibuat dan tidak terlalu terikat oleh berbagai aturan-aturan, sebagaimana yang ada pada karya ilmiah. Dalam kaitannya dengan metode dakwah sendiri, fiksi diibaratkan sebagai dharbul amtsal atau permisalan. Al-Qur’an sendiri memberikan contoh tentang dharbul amtsal ini, yaitu dalam kisah-kisah al-Qur’an yang berjubel jumlahnya. Dengan metode inilah, pembaca ikut terhanyut dalam setting yang disajikan penulis. Alhasil, hikmah yang tersurat atau tersirat di dalam tulisan bisa masuk ke dalam memori otak pembaca dengan mudah serta tidak ada unsur menggurui.
Seorang penulis fiksi harus tahu betul akan tingkatan konsumen, mulai dari tingkatan anak-anak, remaja, dan dewasa. Dengan hal tersebut, penulis akhirnya mampu menyesuaikan tulisan-tulisan yang diproduksinya. Misal, untuk tingkatan anak-anak, penulis juga harus menggunakan bahasa yang mudah dicerna dan dipahami oleh mereka. Begitu pula dengan para remaja dan orang-orang dewasa. Revolusi bahasa merupakan salah satu kunci kesuksesan menulis.
Ada beberapa kendala yang harus dihilangkan bagi siapa saja yang ingin menulis, terutama pemula. Di antara kendala-kendala tersebut ialah kurang percaya diri, tidak ada keberanian untuk menulis, niat yang setengah-setengah, tidak tahan kritikan, dan kurang sabar. Hal tersebut harus dibuang jauh-jauh, sehingga proses menulis bisa berjalan lancar serta kontinu.
Mungkin beberapa orang akan berkata, “Saya ingin menulis, tapi tidak tahu dari mana harus memulainya?!” Pertanyaan tersebut mungkin akan sering terdengar dari para pemula yang ingin mencoba menulis. Nah, dalam memulai menulis kita bisa memulainya dengan hal-hal berikut, memulai dengan dialog, deskripsi tokoh, adegan, atau latar tempat.  Dalam membuat dialog, seorang penulis bisa menuliskan kalimat-kalimat yang singkat, layaknya dialog yang bisa kita lakukan sehari-hari dengan orang-orang di sekeliling kita. Sedangkan untuk membuat deskripsi tokoh, bisa dijelaskan fisik ataupun karakter tokoh. Semua hal tersebut boleh dijelaskan secara detail, termasuk adegan dan latar, agar cerita terkesan lebih hidup. Namun, bagaimanapun, seorang penulis bisa me-manage tulisannya sesuai selera mereka. Contoh, dalam penulisan cerpen, mungkin beberapa penulis tidak akan terlalu detail dalam mendeskripsikan tokoh, berhubung cerpen merupakan karya fiksi yang karakternya terbatas.
Salah satu hal yang perlu diingat, jangan mengedit tulisan kita di tengah-tengah. Itulah sebabnya, beberapa orang tak pernah selesai dalam menulis, dikarenakan bolak-balik ke depan dan selalu saja merasa ada yang salah dengan tulisannya. Menemukan kesalahan di sela-sela menulis adalah hal yang lumrah, namun berusahalah untuk mengedit tulisan ketika tulisan tersebut telah sampai pada penyelesaian. Bolehlah, mengedit sekadarnya di sela-sela menulis, namun jangan sampai merusak inti cerita, sehingga harus mengubah  lagi dari awal.
Terakhir, inilah sedikit tips menulis fiksi. Walaupun tulisan ini sederhana, namun semoga bermanfaat untuk pembaca semua. Terima Kasih. Selamat Menulis! Salam Pena!   

Apa Itu Fiksi?

by on November 08, 2011
Oleh Irja Nasrulloh Berbicara mengenai fiksi maka kita tidak akan lepas dari sastra, karena fiksi sendiri merupakan sebuah istilah dala...