Rahasia Malamku
Cerpen Irja Nasrulloh
Pagi telah menyapa alam dengan suram. Hembusan udara pagi kali ini tak bersahabat. Alam sekitar telah mengeluarkan aura panas yang membara. Begitu juga dengan kicauan burung-burung yang mendendangkan lagu permusuhan. Alam dan isinya benar-benar mengutukku dan berteriak bahwa diriku ini haram.
Aku menyusuri jalanan yang berliku dan cukup terjal pagi itu. Jalanan yang membelah hutan pinus itu adalah jalan utama yang akan menghubungkan dengan jalan beraspal. Aku membiarkan rambutku yang panjang teruarai bebas, bergerak ke sana-kemari. Dengan membawa tas hitam yang mulai usang, aku terus berjalan dan harus berjalan sekitar dua kilo meter lagi. Itu bukan suatu pekerjaan yang berat, tetapi sudah menjadi hal yang biasa.Tujuanku kali ini adalah SMA Bhakti Karya, Kalijambe, Purworejo, sebuah tempat di mana aku menapaki jalan keilmuan.
Kini aku telah tiba di pintu gerbang sekolah. Seperti biasanya, ada dua orang pengemis di dekat pintu gerbang itu. Setiap aku datang, mereka selalu tersenyum kepadaku. Aku pura-pura tersenyum membalasnya dengan senyuman palsu. Entahlah, bosan juga terus-terusan melihat kedua pengemis itu
"Met pagi, Mira…" sapa temanku di dekat pintu gerbang sekolah.
"Pagi juga…" jawabku hambar.
"Sudah siap, nih…" ledek temanku. Aku pun hanya tersenyum lesu dan tak menjawabnya.
Ini adalah hari terakhir ujian sekolah semester pertama, dengan mata pelajaran fisika.Tanpa basa-basi aku menghamburkan diriku kepada teman-temanku. Sebentar lagi bel tanda masuk berbunyi. Benar, tak berapa lama bel berbunyi dan aku masuk ke kelas tiga IPA II. Semua terlihat begitu serius kecuali aku. Entahlah diri ini terlalu kenyang dengan masalah hidup yang tak pernah terhenti, sampai-sampai masalah itu mampu memporak-porandakan konsentrasiku ketika ujian.
Suasana kelas sunyi. Semua yang berada di kelas masih dengan mulut terkatub, berpusar pada konsentrasi untuk meraba jawaban-jawaban ujian. Begitu juga denganku yang terus mencoba berkonsentrasi, mencoba mencampakkan masalah-masalahku. Ketika aku terus mencoba, ternyata semakin getir yang aku rasakan, dan semakin pahit yang aku telan. Semua rumus-rumus tak ada yang kuingat kecuali sedikit sekali. Aku tak berdaya. Pikiranku berputar-putar bagaikan gangsing. Bintang-bintang pun semakin banyak berputar-putar di atas kepalaku. Kepalaku sangat pusing. Pandanganku tiba-tiba kabur.
" Grupyak..!!!aku pingsan dan terjatuh ke lantai. Semua pandangan mata beralih kepadaku.
"Angkat..!" seru pengawas waktu itu kepada teman-teman kelasku. Aku pun dibawa ke ruang unit kesehatan sekolah untuk menjalani pemeriksaan. Beberapa menit kemudian aku siuman, tapi tak mampu lagi mengikuti ujian. Aku pasrah.
* * *
Malam sudah mengepakkan sayapnya. Seperti biasa aku kembali beraktivitas di dalam keremangan malam dan jauh dari keramaian.Ini adalah suatu pekerjaan yang sangat beresiko. Ini kaitannya dengan menjajah anak bangsa secara halus. Akulah sang pengedar narkoba. Sudah lama aku meracuni generasi harapan bangsa. Hati kecilku terluka, dan begitu pedih setiap kaki ini melangkah menuju pojokan gelap pusat kota Purworejo. Di sanalah para pelangganku selalu menunggu barang haram yang aku bawa. Stok morfin aku dapatkan dari seorang teman kenalanku di Jogjakarta.
"Sip nih, nono'nya dah datang…" bisik Paendol, pelanggan setiaku.
" Stt…" bisikku. Aku mendekat kepada mereka.
" Kali ini aku bawa yang lebih ok, gimana?" lanjutku sambil melirik para bajingan yang ada di situ.
" Kongkret, bisa dikompromikan, manis..?" kata Jeky sambil mencolek pipiku.
Aku melengos menolak colekan menjijikkan itu.
Pukul 00.15 aku masih bersama para bajingan di pojokan gelap, pusat kota. Dalam kegelapan malam yang mencekam itu, aku teringat ibuku yang kini tergolek lemah sendirian. Terbayang bahwa aku akan segera membelikan obat dan makanan untuk ibu dari hasil bisnis gelapku ini. Sungguh semua ini aku lakukan demi memperjuangkan seorang ibu. Sekali lagi, demi memperjuangkan sebuah nyawa.
" Dwer…" terdengar sebuah suara ledakan sangat keras di dekat tempat rahasia kami, memecah kesunyian malam.
"Tiarap!!!" bisik Paendol. Kami semua pun tiarap, waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.
"Dwer…"terdengar suara ledakan kedua. Mulut kami semua masih terkatub. Jantung kami berdetak kencang. Aliran darah mengalir deras menjalari sudut-sudut tubuh kami. Sekitar setengah jam kami tak bergerak dari posisi tiarap. Peluh-peluh dingin pun membasahi dahiku. Napasku pun mulai sesak. Aku tak tahan dengan keadaan yang seperti ini.
" Coba, ada yang menengok keadaan sekitar! Tak kuat kalau begini terus" aku berbisik kepada orang-orang di sekitarku.
" Sabar, tunggu sepuluh menit lagi, agar suasana benar-benar dipastikan aman." bisik orang di sampingku. Aku tetap bertahan dengan keadaan yang menyiksa itu, menunggu sepuluh menit kemudian.
Jarum jam sudah menambahi rotasinya sebanyak sepuluh menit. Kemudian dengan sangat hati-hati Jeky bangkit, mengendap-endap melihat keadaan sekitar. Mimik mukanya terlihat serius. Matanya melirik ke samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Sepertinya keadaan bisa di pastikan aman.
Jeky memberi isyarat kepada kami semua yang masih tiarap, bahwa keadaan masih bersahabat. Tanpa sengaja matanya menghadap ke samping kanan atas, sebuah travo di tiang listrik mengeluarkan asap. Sudah bisa dipastikan bahwa ledakan yang baru saja terjadi adalah ledakan travo tersebut. Kami semua menarik napas dengan lega, menuju pembebasan. Uuuh…
Pagi pukul tiga aku harus pulang. Dengan naik ojek seharga empat ribu rupiah aku akan cepat sampai di rumahku. Untung masih ada ojek yang aktif dua puluh empat jam di tempat itu. Pekerjaan beresiko itu tidak kulakukan setiap hari, karena aku harus membagi waktuku, di mana aku juga masih punya tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. Kini, tak ada waktu lagi untuk ke gereja, karena aku sudah lama meninggalkan kebaktian gereja st. mark yang dilaksanakn setiap hari minggu. Memang dulu ketika ayah masih ada kami adalah penganut Kristen katolik yang taat. Dulu kami selalu menyembah Yesus dan mengkuduskan bunda Maria.Tapi, sekarang aku tak tahu statusku, apakah aku penganut Kristen atau justru telah berubah menjadi atheis. Entahlah…
Ojek berhenti di depan apotek multi farma untuk membeli obat. Aku tak tahu jenis apa yang harus aku beli. Aku hanya menerangkan gejala-gejala yang menyerang ibuku kepada apoteker. Aku hanya bisa berharap semoga apoteker tak salah pilih, sebab penyakit ibuku sangat kronis.
Aku pun tiba di rumah setelah perjalanan sekitar setengah jam dengan ojek. Aku masuk rumah dan berlari menuju ke kamar ibu. Perasaan khawatir tiba-tiba muncul.
Langsung aku pegang tangan ibu.
"Bu, Ibu." aku berkata pelan.
"Bu, bagaimana keadaan Ibu, ini Mira belikan obat, Bu?" kataku melanjutkan.
Ibu masih terdiam. Kutatapi wajahnya. Matanya cekung, wajahnya terlihat kering dan pucat, tulang-tulangnya terlihat menonjol. Dia mulai bergerak, tangannya meraba-raba, ingin mencari sesuatu.
" Bu, ini mira disini, di dekat Ibu". kataku kepada ibu. Aku memegang erat tangan ibu.Terlihat bola matanya bergerak-gerak, dan beberapa saat kemudian secara perlahan membuka matanya.
" Nduk…" kata ibu perlahan.
" Iya,bu? Mira di sini." kataku.
Aku pun mengambilkan semangkuk bubur nasi putih yang kubuat tadi malam. Kusuapi ibu. Sisi halus perempuanku tiba-tiba muncul. Mataku basah melihat kondisi ibu yang seperti ini. Mengenaskan…
Air mataku terus meleleh melepaskan aliran kesedihan. Kupijit-pijit kakinya sambil aku terus menyuapinya. Jika aku melihat tubuh ibu yang kerontang ini, aku jadi teringat dua orang pengemis yang sering aku lihat itu. Entahlah, kenapa aku tiba-tiba mengingat orang-orang itu? Dua orang itu memang sekurus ibuku. Mereka selalu duduk di dekat pintu gerbang sekolah, mengharapkan belas kasihan orang-orang yang tersentuh hatinya. Aku menyesal kadang berbuat tidak sopan kepada mereka. Aku sering salah tingkah ketika mereka selalu menatapku lama-lama, seperti ada sesuatu yang ingin mereka katakan kepadaku, tetapi tak tersampaikan dan tercekik di leher. Siapa mereka sebenarnya? Ah, aku campakkan ingatan-ingatan itu. Dasar pengemis!
Aku terus memandangi wajah ibu lekat-lekat. Aku tak beranjak dari samping ibu walau perut ini sejak tadi keroncongan, minta diisi. Sungguh, aku tak terlalu memperdulikan hal itu, karena cintaku kepada ibu telah mampu mengenyangkan jiwa dan ragaku. Beberapa saat kemudian, kubantu ibu minum obat. Aku tetap setia menungguinya hingga ia bisa tertidur.
* * *
" Mira!" teriak temanku, Winani namanya.
" Ya, ada apa?" tanyaku.
" Di panggil pak Hadi di ruang BK(bimbingan konseling)." kata winani
" Ya, aku akan segera ke sana." kataku
Aku bergegas menuju ruang BK. "Ada apa gerangan?" batinku.Tak biasanya pak Hadi memanggilku. Lagi pula beliau kan guru Pendidikan Agama Islam. Aku tak pernah mengikuti pelajarannya. Aku sangat membenci pelajaran agama Islam.
"Jangan-jangan…"pikirku. Sambil berjalan menuju ruang BK, pikiranku dipenuhi bermacam-macam pertanyaan. Tak beberapa lama, aku pun tiba di ruang BK.
"tok,tok,tok…"aku mengetuk pintu ruang BK.
"krek…" sesaat kemudian, pintu pun terbuka dan muncul seorang lelaki yang cukup muda dengan pakaian seragam, yaitu jas dan celana abu-abu.
" Silahkan masuk!" perintah orang itu, beliaulah pak Hadi.
" Terima kasih." kataku.
Aku pun masuk dan duduk berhadap-hadapan dengan pak hadi di ruangan khusus untuk bimbingan konseling. Di sana aku ditanyai bermacam-macam hal, seputar pelajaran dan kehidupanku. Aku bagaikan seorang tereksekusi yang terus dilempari bermacam-macam pertanyaan. Aku seakan-akan terhipnotis. Tak ada yang bisa aku sembunyikan, termasuk pekerjaan malamku selama ini. Aku beberkan rahasia yang sebenarnya tak seorang pun boleh tahu. Tapi, dengan aku beberkan masalah-masalahku itu, aku berharap ada lorong-lorong terang yang bisa kulewati untuk menuju kehidupan yang lebih putih.
Beliau kemudian menasehatiku. Beliau mengutip sebuah ayat Al-qur'an surat Al-'Ashr ayat 1-3. Aku tersinggung saat beliau mengutip ayat Al-qur'an. Jati diriku sebagai seorang Kristen muncul lagi manakala bersinggungan dengan masalah keislaman.
" Pak, tolong jangan perdengarkan ayat-ayat Al-qur'an kepada saya…" kataku pada pak Hadi.
"Kenapa?" tanya beliau.
" Bagaimana mungkin bapak mengutip ayat Al-qur'an, sedangkan saya tidak percaya pada Al-qur'an itu sendiri." aku menolak.
" Saya tidak memaksa kamu percaya pada Al-qur'an, Hanya saja yang perlu diingat bahwa kamu bisa tahu kebenaran suatu kitab suci karena melihat isinya. Bagaimana kamu tahu kalau Al-qur'an itu salah jika belum tahu isinya? " katanya.
Aku terdiam mengiyakan kata-kata pak Hadi. Lidahku terasa lunglai. Kepalaku menunduk.
Pak Hadi kemudian melanjutkan kata-katanya.
"Aku ikut prihatin dengan masalah yang kamu alami…" Beliau menunduk dan berhenti dari kata-katanya, ikut merasakan pedihnya masalah yang aku alami. Beberapa saat lamanya, tak ada suara yang keluar dari mulut, yang hanya ada hanya kesunyian siang bolong. Sisi halusku muncul saat itu juga. Perlahan, air mataku membasahi pipi, meratapi nasibku yang begitu malang. Dalam hati aku mengutuk diri sendiri. Mengapa aku harus mengalami derita seperti ini? Mengapa bukan orang lain? Mengapa aku diciptakan di dunia untuk menjadi seperti ini? Air mataku benar-benar mengucur deras. Semuanya terasa dingin dan membeku. Darahku juga membeku.
Selang beberapa saat, pak Hadi melanjutkan perkataannya.
" Saya tahu keadaan yang menimpamu, tapi bagaimanapun juga kesalahanmu tersebut adalah kesalahan yang fatal. Kamu telah mendukung penjajahan bangsamu sendiri secara pelan-pelan. Kamu telah mengerdilkan pemikiran generasi pewaris bangsa." kata pak Hadi.
Aku terisak, sangat menyadari kesalahan terbesar yang aku lakukan. Memang aku telah merusak saudara-saudaraku pewaris negara. Aku telah menginjak-injak masa depan mereka. "Apapun akan aku lakukan untuk menebus kesalahanku ini." hatiku berbisik.
"Sudahlah. Hapus air matamu. Yang terpenting sekarang adalah mulai detik ini juga, kamu harus menutup lembaran hitammu itu. Pintu kesempatan terbuka lebar untukmu. Kamu masih sangat muda untuk membuka lembaran-lembaran yang lebih putih dan lebih cerah untuk masa-masa mendatang. Masih ada waktu untuk semua itu." pak Hadi memberikan nasehat dengan penuh kebijaksanaan. Kemudian, beliau membuka lemari yang ada di ruang itu. Beliau mengambil bingkisan rapi yang dimasukkan ke dalam plastik biru.
"Terimalah pemberian sederhana ini… " kata pak Hadi sambil menyodorkan plastik biru itu kepadaku. Aku diam dan belum mampu berkata-kata. Aku masih menahan sesenggukan, yang tersisa dari isakan tangisku. Aku mencoba menenangkan diri.
" Te, te, terima kasih, pak?" aku menerima bingkisan itu, dan mengucapkan banyak terima kasih kepada pak Hadi atas nasehat-nasehat beliau, sebelum kemudian pamit untuk keluar. Beliau mengantarkanku sampai ke pintu. Aku pun keluar dan menuju kelasku.
* * *
Empat bulan kemudian…
Aku terus mempelajari Al-qur'an terjemahan Indonesia yang diberikan pak Hadi empat bulan yang lalu, juga buku-buku pemberian pak Hadi, seperti buku "The Choice" karya Ahmed Deedat dan buku "Sejarah Teks Al-qur'an" karya Prof. Dr. M. M al A'zami. Aku masih ingat betul ketika Al-qur'an dan buku-buku itu diberikan di ruang BK. Aku juga terkejut ketika membuka amplop yang sengaja diselipkan pak Hadi di antara bungkusan buku. Amplop tersebut berisi uang sejumlah satu juta rupiah. Semua itu masih hadir di benakku dan sudah berlalu empat bulan yang lalu.
Aku sudah menghempaskan jauh-jauh bisnis terlarangku selama ini. Aku benar-benar taubat. Kini aku sibuk membandingkan masalah teologi Islam-Kristen. Kadang-kadang keduanya mempunyai kemiripan, tapi kadang juga sangat kontradiktif. Aku sering mengadakan diskusi dengan pak Hadi, seperti kali ini,
"Pak, bukankah Al-qur'an juga mengakui bahwa Yesus(nabi Isa as.) sebagai "Roh Kudus" dan "Kalimat Allah"? Ini cukup untuk menjadi bukti bahwa Yesus itu sendiri anak Tuhan dan penjelmaan dari pada Tuhan itu sendiri." aku meyakinkan pak Hadi, bahwa Yesus adalah Tuhan.
" Benar, Al-qur'an menyebut semua itu, tetapi Al-qur'an juga menyebutkan bahwa Kalimat Allah itu jumlahnya tak terkira. Itu semua merujuk kepada ilmu dan hikmah-Nya, seperti yang termaktub di dalam Al-Qur'an S.18: 109, disebutkan,
"Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Jadi pendapatmu telah dibantah oleh ayat tersebut. Yesus bukan satu-satunya kalimat Allah. Adapun Yesus menjadi "Roh Kudus", itu tak mempengaruhi derajatnya sebagai manusia. Al-qur'an juga menggunakan kalimat "Roh Kudus" untuk nabi Adam as (Surat Al-hijr: 29)." pak Hadi berbicara panjang lebar.
" Baiklah, akan tetapi di dalam Injil yang saya pelajari bahwa Yesus menyatu dengan Tuhan Bapa, jadi Dia adalah Tuhan.(Yohanes 14: 11)
" Kamu tidak melihat perkataan Yesus sendiri juga di dalam Injil Yohanes 14:28, Dia mengatakan:
"Kamu telah mendengar, bahwa Aku telah berkata kepadamu: Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu. Sekiranya kamu mengasihi Aku, tentu kamu akan bersukacita karena Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku."
Yesus mengakui bahwa Bapa-Nya lebih besar. Kalau Dia sendiri mengakui bahwa ada yang lebih besar dari-Nya, apakah pantas disebut Tuhan? Bukankah Tuhan itu maha besar dan maha segala-galanya.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa Yesus bukan Tuhan, Dia hanyalah rasul yang diutus oleh Allah kepada Bani Israil, seperti yang disebutkan di dalam Injil Matius pasal 15 ayat 24. Ayat lain yang menyatakan bahwa Yesus adalah hanya sebagai utusan, bukan Tuhan yaitu Yohanes 17: 3, Markus 6:4, Lukas 13:33, dan lain-lain." Pak Hadi melanjutkan. Aku mengangguk-angguk.
"Baiklah, terima kasih atas keterangan-keterangan Bapak. Akan saya pertimbangkan segala keterangan-keterangan dari Bapak, dan mungkin kita sudahi dulu diskusi kali ini." kataku pada pak Hadi.
" Ya, kita cukupkan saja, bisa kita sambung lain kali. Teruslah belajar, ya?" kata pak Hadi. Aku pun mengangguk dan tersenyum, kemudian pergi.
Aku semakin bingung dengan Injil yang penuh kontradiktif. Lagian orang-orang Kristen lebih banyak bersembunyi di balik misteri Tuhan, ketika mereka tak mampu menjelaskan konsep teologi Kristen, seperti trinitas, dosa warisan, penebusan dosa, dan lain sebagainya. Kebanyakan teologi Kristen bertentangan dengan akal sehat. Kadang orang-orang Kristen juga beralasan bahwa Injil hanya bisa ditafsirkan secara hermeneutika, yaitu sesuai setting waktu itu, saat penurunan wahyu. Ini justru semakin menguatkan pendirianku bahwa Injil hanya untuk Bani Israil waktu itu. Aku pun terus memutar otak, mengambil sebuah keputusan di antara tetap fanatik terhadap kekristenanku atau berjalan di atas jalan terang yang mulai membuka jiwaku. Aku masih berpikir dan belum mampu menentukan keputusan. Tuhan… beri aku petunjuk…
* * *
Malam itu aku berbaring di samping ibu. Aku menerawang langit-langit kamar sambil menimbang-nimbang kedua teologi agama Kristen-Islam. Tiba-tiba, tubuh ibu yang sedang tenang itu menggeliat. Aku memperhatikan ibu dengan seksama.
"Ibu…bagimana keadaan ibu sekarang,apakah lebih baik?" tanyaku pada ibu.
"Ya,lebih baik."jawab ibu tetap dengan keadaan masih lemah,tetapi lebih baik dari sebelumnya.
"Nduk…ibu mau bilang sesuatu pada kamu." kata ibu
"Bilang saja, Bu. Ibu perlu apa?" tanyaku
"Ibu tidak perlu apa-apa, hanya…" jawaban ibu terputus.
"Hanya apa, Bu?"tanyaku pada Ibu.
"Ibu hanya ingin mengatakan bahwa…"jawaban ibu kembali terputus. Tiba-tiba dia menangis. Aku semakin penasaran kepada ibu. Aku mencoba menenangkan diri.
"Ibu…ayolah katakan saja. Ada apa sebenarnya?"aku sedikit mendesak ibu.
"Begini, nak. Sebenarnya kamu bukanlah anak ibu yang sebenarnya." kata ibu.
"Maksud ibu?"aku terhenyak dan melototi ibu, tak percaya pada kata-kata yang baru kudengar.
"Kamu bukan berasal dari darah daging ibu dan bapakmu yang kamu kenal itu,akan tetapi…."ibu tak meneruskan kata-katanya. Dia menangis, menangis pedih. Begitu juga dengan diriku. Jantungku hampir copot mendengar kata-kata ibu.Tubuhku lemas, sumsum tulang punggungku berubah menjadi es. Aku tetap berusaha untuk menenangkan diri.
"Kamu adalah darah daging pengemis-pengemis yang sering kamu lihat itu." sesekali ibu mencoba menahan tangisanya sambil terus berkata."pengemis di depan pintu gerbang sekolah itulah orang tuamu yang sebenarnya."
Aku masih diam tak bisa berkata-kata, dan membiarkan ibu menyelesaikan pembicaraanya.
"Dulu kedua orang tuamu itu melarikan dari desa asalnya karena takut kecaman dari warga sekitar, setelah diketahui bahwa mengandung jabang bayimu dari hasil hubungan gelap." ibu terus tersedu dan terhenti dari pembicaraannya. Dalam kondisi yang begitu lemas masih saja diriku dihantam oleh halilintar malam jika dikatakan bahwa aku adalah anak haram hasil hubungan gelap kedua orang tuaku. Air mataku telah berubah menjadi darah. Malam yang gelap bertambah gelap. Desiran angin malam yang menorobos lewat celah-celah jendela terasa menyayat kulitku, mencopoti tulangku satu persatu.
"Ibu, ayo ceritakan lagi mengapa akhirnya aku bisa bertemu ibu." Sambil terisak aku berkata kepada ibu. Ibu pun mengusap air matanya, kemudian berkata,
"Saat itu kamu sudah dilahirkan. Orang tuamu pada saat itu sudah menjadi pengemis. Sepertinya mereka sudah tak punya gairah hidup. Mereka benar-benar depresi dengan masalah yang mereka hadapi. Umurmu kira-kira dua bulan. Saat itu juga aku dan suamiku belum punya anak, padahal kami sudah menikah selama tujuh tahun. Kami sangat menginginkan seorang anak yang akan meneruskan generasi kami. Aku sering melihat bayimu yang mungil di pangkuan ibumu. Kamu juga sering menangis malam-malam, mungkin karena kamu kelaparan. ASI ibu yang kurang makan dampaknya berpengaruh pada bayinya. Demikianlah menurutku yang terjadi pada ibumu, dia kurang makan. Selain itu kondisi cuaca di luar sangat tidak baik bagi bayi. Aku benar-benar tak tega melihatmu. Akhirnya aku dan suamiku bersepakat untuk mengambil kamu menjadi anak asuh. Kami sangat bahagia bisa mempunyai anak sepertimu. Maaf Nduk, ibu baru mengatakan sekarang, ketika kamu sudah dewasa. Sudah saatnya kamu mengetahui hal itu. Kamu tahu sendiri, ibumu ini sudah tua dan lemah. Jika suatu saat ibumu ini pergi, kamu sudah tahu siapa jati dirimu itu." kata-kata ibu semakin parau dan tergantikan oleh tangisan. Sungguh, aku tak pernah mengira bahwa akan terjadi hal seperti ini. kutak pernah berharap sedikit pun untuk menjadi anak haram, tapi kini kenyataannya berbeda. Aku terlahir dari darah haram. Akulah darah daging pengemis-pengemis itu…
Aku mendekap ibu. Kami hanyut dalam tangisan yang begitu pedih malam itu. Kami terus menangis. Rasanya tak ingin berhenti dari tangisan, walaupun kami tahu bahwa hal itu tak menyelesaikan masalah. Bagaimanapun air mata telah menjadi sahabat dekat kami. Tangisan kami baru berakhir ketika fajar mulai menyingsing.
* * *
Tubuhku serasa melayang bagaikan kapas yang tertiup angin, lemah dan mudah terempas. Semua orang-orang di dekatku telah pergi ke alam baka. Ibu angkat yang telah mengasuhku selama ini kini telah tiada. Begitu juga pengemis-pengemis itu, keduanya telah tiada. Merekalah orang tuaku yang sebenarnya Diri ini benar-benar tak berdaya. Diri ini tak memiliki siapa-siapa lagi. Aku sangat merasakan akan arti kehidupan di dunia ini. Dunia ini hanyalah panggung sandiwara dan ladang usaha saja, untuk mempersiapkan kehidupan yang hakiki. Aku harus tegar dalam menghadapi kenyataan ini. Aku juga harus tegas dalam mengambil sikap.
Dengan tekad yang bulat, akhirnya aku mengambil sebuah keputusan, yaitu bahwa Islam adalah agama yang sangat sesuai dengan multidimensi kehidupan ini. Hanya Islam sajalah yang telah mengatur segala hal di dunia ini, dari hal sekecil atom sampai sebesar dan seluas jagad raya ini. Semua telah tergores melalui pena Islam. Islam juga mempunyai konsep ketuhanan yang jelas, bukan dogma buram seperti yang kemarin-kemarin aku yakini. Aku akan memeluk agama Islam. Pasti!
Aku pun segera datang kepada pak Hadi, untuk memenuhi syarat pertama untuk menjadi seorang muslimah, yaitu mengucapkan syahadatain. Pak Hadi menerima maksud kedatanganku dengan penuh antusias. Beliau membimbingku mengucapkan syahadatain dan mengganti namaku menjadi Mir'ah al-husna, yaitu cermin kebaikan. Tak lama kemudian beliau sujud syukur dan memberikan ucapan selamat atas keislamanku. Bukan hanya beliau saja yang mengucapkan selamat kepadaku, akan tetapi juga alam dan isinya. Mereka semua riang gembira dan terus memuja Sang Pemilik maha karya serta mengucapakan: "Selamat untuk Mir'ah al-husna…Selamat untuk sang pencari kebenaran…"
* * *
Tiga hari setelah keislamanku seorang laki-laki datang ke rumahku. Ia memakai pakaian warna hijau dan celana hitam. Ia memang sengaja berdandan rapi untuk memikat siapa saja yang melihatnya, termasuk aku pada kesempatan kali ini. Rupanya laki-laki itu juga baru saja membersihkan kumis dan merapikan jenggotnya. Bagaimanapun juga masih terlihat samar-samar bulu halus di wajahnya, yang menambah kewibawaannya. Sesaat kemudian, sosok dengan penampilan muda itu dengan penuh kemantapan, mengatakan maksud dan tujuannya. Aku sangat terkejut, ternyata aku dipinangnya. Sesaat lamanya aku terbungkam. Perasaan tak percaya, bingung, bahagia, semuanya menyatu. Sekali lagi lelaki itu mengulangi perkataanya. Ia sampai mengulanginya tiga kali. Kali ini aku tak mau mengeceawknnya. Aku mengangguk. Anggukan itulah sebagai isyarat bahwa aku menerima pinangannya. Dia kemudian membawakan untaian kalam pujangga yang sekonyong-konyong hadir di bibirnya:
Engkau seharum kuntum-kuntum surga.
Baumu semerbak menawarkan hadirnya cinta suci
Meresahkan setiap jiwa…
yang rindu akan lentera.
Kepastianmu menuju kebenaran adalah lentera
Menerangi…
Membangkitkan denyut-denyut kehidupan
Menguatkan helai-helai lunglai…
Menjadi kokoh dan perkasa
Dalam mengarungi samudera kefanaan ini
Aku tersenyum dan kemudian menunduk, bermaksud menyembunyikan kebahagiaanku. Air mata kebahagian meleleh dari kedua pelupuk mataku. Air mata itu hangat, sehangat cahaya matahari pagi yang memberi kekuatan pada alam dan seisinya. Sungguh hatiku berbunga-bunga manakala aku telah mendapatkan lelaki yang selama ini aku teladani kepribadiannya itu. Bagaimana tidak, dialah lelaki pertama yang membukakan jalan untukku menuju jalan yang sangat terang. Dialah yang selama ini telah mensuport aku terus tegar dalam mengarungi jerihnya kehidupan. Dialah pak Hadi, guruku itu. Pak Hadi telah memberiku cahaya yang sanggup menerangi sisi-sisi gelapku. Aku sangat bersyukur ditakdirkan untuk membangun maghligai rumah tangga bersamanya. Sebentar lagi, seizin Allah, pasti aku akan menjalinkan rumah tangga yang dipenuhi dengan bunga-bunga cinta. Ini merupakan anugerah besar yang diberikan Allah kepadaku. Aku tak bisa menyatakan kebahagaiaanku, suatu kebahagiaan yang tak mampu dinyatakan dengan suara maupun deretan kata-kata. Ya Allah terima kasih…Ya Allah, rahmatilah kami…
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar