Derita Bahagia…*
Cerpen Indra San Meazza
Nafasnya masih terus memburu. Penasaran. Seringai sinis di wajahnya tak henti-hentinya ia sunggingkan pada seseorang di hadapannya. Kecewa, terpukul, terhina, bertumpuk-tumpuk menjadi satu.
"Masih jelas ingatanmu tentang keluhmu dulu?! Mengapa ketika bahagia itu sudah terwujudkan, bukan kedamaian dan kepuasan yang hinggap. Ternyata hanya rasa hambar dan tak berselera yang menjalar. Apa karena tantangan itu sudah reda dan klimaks penderitaan selama ini tak dapat ditebus dengan kebahagiaan sekejap," matanya mencorong menuntut.
"Huh, ketika itu aku kewalahan meredakan gerutumu. Bukankah bahagia itu yang kau igaukan, kau dambakan. Yang terus menghantui tidur dan lamunanmu. Yang kerap menghiasi pergolakan jiwamu. Yang membuat dendammu selalu membara.
Yang menjadikanmu bertahan dan bergelora melanjutkan keberpura-puraan hidup ini?!" tangannya terkepal menahan rasa geram yang memuncak.
Yang menjadikanmu bertahan dan bergelora melanjutkan keberpura-puraan hidup ini?!" tangannya terkepal menahan rasa geram yang memuncak.
Lelaki di hadapannya masih bungkam. Tak ada ekspresi pada wajahnya, tak ada rona pada rautnya. Hampa. Kemudian lelaki itu menarik selimut dan membetulkan letak bantal yang bergeser. Matanya sendu memandang sahabatnya yang emosional. Mata itu bertemu pada sepasang kilat siap menerkamnya. Ah… sepasang mata murka itu dulu berada pada mataku, dan mengapa kini beralih padamu yang sekarat ini, batinnya pilu.
"Sudahlah, Sembada… maafkan aku," sahutnya nyaris tak terdengar.
"Maaf. Maaf…. Hoho… saksikanlah semesta, saudaraku Ginanjar berkata maaf," ia tergelak parau. Serak batuknya menyemburkan kental ludah bercampur bercak merah pekat.
"Sembada… tenangkan dirimu," jemari Ginanjar mengurut pelan dada Sembada. Segelas air hangat ia ulurkan pada lidah yang membiru itu.
"Sadarkah apa yang kau ucapkan, Ginanjar. Kenapa kau menjadi kerdil setelah meraih semuanya. Seolah kau tak bedanya dengan si dungu yang berpura-pura dungu? Sekarang kau sudah tak bernafsu menantang takdir, tak ada lagi nyala api yang membakarmu. Tak ada lagi sesumbarmu bertarung dengan nasib. Kau merindukan bukan? Di saat kau hantam angan-anganmu dengan derita. Ketika kau puja nestapa dan beramal dengan sengsara. Ketika kau merasa berharga jika seluruh lara dan murka menerpamu bertubi-tubi? Ha.. ha.. dengan begitu kau akan berkoar menjadi seluhur-luhurnya manusia."
"Masa itu telah berlalu, Sembada. Gerhana itu telah lewat. Penantian selama ini telah terjawab. Aku menyesal, mengapa bukan sejak dulu rasa syukur itu menyergapku. Kau belum tahu, aku sangat damai dan bahagia dalam arti sesungguhnya. Sekarang aku begitu bergairah melanjutkan hidup ini. Bahwa segalanya harus dimaknai dengan rasa syukur." Ia tersenyum ceria, berseri-seri.
"Ah, ternyata salju kedamaian telah membiusmu. Bisikan ketentraman telah menulikanmu. Cahaya keselamatan telah menyambarmu. Badai sentosa telah memporak-porandakan piciknya pendirianmu. Akhirnya… kau teguk juga racun keletihan dan kau mabuk dengan arak kelelahan. Aku terharu melihatmu tersenyum namun nyatanya kau menyeringai syahdu. Aku tertegun melihatmu berkotbah namun sebenarnya kau mengejekku berapi-api. Oo… inikah puncak pengembaraanmu? Aku terguguk-guguk mengutukmu."
Ginanjar tersedak. Tak mampu bersuara. Sahabatnya telah menjelma menjadi dirinya dahulu, bahkan lebih ganas. Sembada yang dahulu begitu lugu, penurut, penakut, lemah dan tak berdaya, kini mendadak begitu liar dan tak terkendali. Semua tak lain karena dirinya. Ginanjar mengeluh menyesali diri. Mengapa tak dihentikannya doktrin-doktrin sesat yang telah mendarah daging pada Sembada. Prasangka bahwa ia akhirnya akan kembali dan sampai pada seperti dirinya ternyata keliru dan salah besar. Sembada telah menyimpang terlalu jauh dan begitu jauh. Ditatapnya nanar tubuh ringkih tak berdaya yang sedang terbaring itu. Tubuh yang menyimpan bara kesumat laksana magma mendidih di liang kawah siap dimuntahkan.
"Ginanjar… Ternyata kau rapuh dan terlibas juga oleh kejamnya sayatan nurani. Hu.. hu.. aku tak berani menyebutmu pengecut, setelah semua yang kau buktikan padaku. Aku terlanjur menganggapmu dewa angkara melawan berhala suci tak bernoda. Aku mengagumi pembangkanganmu, sepak-terjang kegundahanmu, tetesan darah pemberontakanmu, nafas kecemasan dan denyut kegelisahanmu. Aku benar-benar tergila-gila dengan segala yang ada padamu." Nafasnya tersengal. Namun ia tak peduli. Nafasnya yang satu-satu baginya malah membuatnya bertenaga.
"Tak sudi! Bukankah kau terbahak menipuku. Kau bungkam keluguanku dengan raut penyesalanmu. Dengan begitu kau pikir aku akan mengekormu. Membuntutimu agar membebek pada tipu dayamu. Aku tertipu…. Aku tak mau lagi memujamu. Tak ada yang tersisa darimu kecuali semu dan pilu. Adalah kesalahan terbesar mecintaimu seutuhnya. Tak peduli dengan masa silammu, sekarangmu dan mendatangmu. Memuakkan."
Ginanjar tertunduk dalam. Tak mampu menatap mata jalang itu. Menjawab jujur cuma merobek luka Sembada yang menganga. Terdiam juga hanya memperhebat gejolak penasarannya. Serba salah. Benar-benar simalakama. Tak ada titik singgung yang mempertemukannya kini. Semua tinggal curamnya jurang menghadang. Bersebrangan. Bak dua magnet berlainan kutub bercinta. Bertolak-belakang. Padahal, belasan tahun dulu, tak pernah ada kata berbeda.
Ketika darah mereka menyatu dalam luka yang mengucur deras dari pangkal paha. Ketika mereka saling bergantian membopong tubuh luka dari berondongan timah panas si penegak hukum. Oo, alangkah mesranya. Dua pejantan bahu-membahu menantang maut menyelamatkan dua lembar nyawa. Operasi tembak di tempat manusia-manusia bercepak itu nyatanya malah mengisahkan lembaran baru. Laksana pinang terbelah dua, mereka saling menemukan belahannya. Dalam upacara bisu, semburan darah yang membasahi tubuh bagian bawah. Dalam ikatan darah, mereka bersumpah mengangkat saudara selamanya, sekekal mentari tenggelam di ufuk barat.
Selanjutnya, mereka lakoni segala derita, mereka cicipi berbagai lara, mereka selalu mengidam sengsara. Tawa tangis tak ada maknanya. Mereka telah tergila-gila pada adzab. Pernahkah kau memohon adzab dan menolak nikmat?
Setiap senja tenggelam dan menjelma gulita, mereka selalu memuja Tuhan. Sembada dan Ginanjar terisak berdo'a.
"Turunkanlah Tuhan… ribuan pasukan kutukan dan ratusan armada adzabmu. Kami mohon padamu... perintahkan seluruh ciptaanmu menguji kami. Kami bersyukur atas segala nikmat bala yang kau limpahkan."
Tak ada yang pernah tahu dan berhasrat tahu. Mengapa Sembada dan Ginanjar memiliki satu nikmat yang berlebihan. Nikmat yang sama dan telah berjalan sekian lama. Selama mereka menghirup udara kelam di alam fana. Mereka selalu bernasib buruk. Ya, nasib buruk. Itulah hak asasi mereka. Kemanapun mereka beranjak, bencana petaka dan aroma musibah selalu menguntit. Ketika seluruh fitnah dan dosa dialamatkan pada mereka. Tak peduli kapan dan dimana. Seakan selalu membawa kutukan karma. Niat baiknya tak pernah menghasilkan hasil yang baik. Niat buruk selalu menggoda dengan godaan setingkat iblis.
Kepasrahan dan keputus-asaan sudah tak berharga. Perjuangan dan harapan selalu pupus sia-sia. Semua telah bergeser berputar sebaliknya. Cinta dan dendam, kasih dan pengorbanan, gulita dan benderang berjalan seiring dan seirama. Sembada dan Ginanjar bak dua sisi mata uang. Bertahun-tahun, tragedi demi tragedi, menyisakan derita berkepanjangan menjelma gurita bahagia.
Sampai akhirnya.... Ginanjar disapa lembut nurani. Dikecup hangat sanubari. Ada kisi waktu dan ruang yang tak bisa ditembus dengan berbagai prediksi. Menghadapi segalanya dengan rasa syukur. Pasrah dan berserah. Ginanjar bertemu dan bercinta dengan Tuhan. Cinta yang disisipi rasa malu, rasa takut, dan rasa rindu padaNya. Bukankah Tuhan dekat dan mendekati kita. Kita merangkak, Ia berjalan menghampiri. Kita berjalan, Ia berlari menyambut. Nikmat manakah yang patut kita ingkari?
Namun sembada tak mau mengerti. Ia tetaplah gunung berapi dan karang terjal di lautan lepas. Begitu kukuh dan keras kepala. Ia bertekad menarik Ginanjar kembali pada masa silam. Pada lembaran hitam yang baginya masa kejayaan. Bahwa Ginanjar telah tersesat dan menyesatkan.
Ginanjar bukannya letih atau tak berhasrat. Kesadaran telah menguasainya sepenuhnya. Malang melintang di dunia hitam, hingar bingar kebejatan dan kerasnya pertarungan. Melonjak kesana kemari menjemput maut. Semuanya serba terlanjur dan sudah kepalang. Keluh kesah, inkar dan tak percaya adalah amal sia-sia. Ia bukannya tak bernyali lagi. Hidup penuh kesumat dan ambisi. Kesumat yang ia alamatkan pada semua dan apa saja. Bukankah hakekatnya selama ini mereka menantang Sang Pencipta?
Kini Sembada berada pada ambang perpisahan. Ia sedang sekarat. Ia tetap teguh pada kesumat dan masih menebar berlaksa murka. Ginanjar terenyuh. Haru biru tak mampu dibendungnya lagi. Sakit parahnya tak mungkin lagi disembuhkan. Fisik dan batinnya telah membusuk. Batinnya dicengkram berjuta penasaran. Kecewa dikhianati oleh satu-satunya yang ia anggap berharga. Yakni dirinya selaku sahabat sepenanggungan.
Ooh... Ginanjar tak sudi lagi menyembunyikan dukanya. Air matanya telah meleleh sekenanya. Telah beribu kali, pada tiap sujud panjangnya, ia mengharap Tuhan berkenan memberi cahaya pada Sembada. Namun, nyatanya semua memang hak prerogratifNya. Tak ada yang bisa memprotes administrasi Tuhan. Sembada tetaplah Sembada. Sembada tetaplah angkara. Ia tetaplah jelmaan derita. Ia tetap menganut asas pembangkangan. Hingga menjelang saat-saat terakhir. Ia masih terus menyala dan membara.
“Kan kutantang engkau. Aku terpaksa bertarung melawanmu. Kupertaruhkan segala daya dan apa saja. Suatu masa kau akan bertekuk-lutut kembali pada sumpah-serapah kita dulu. Bahwa bahagia adalah derita. Dan sesungguhnya derita adalah bahagia. Mengejar kebahagiaan hakekatnya adalah awal derita panjang tak berkesudahan. Bukankah selama ini kita tak sanggup menikmati bahagia yang kita derita…?” Terbata-bata ia melenguh panjang. Itulah ancaman terakhir yang ia persembahkan. Selamanya dan tak bangkit kembali.
Ginanjar mematung lama. Meresapi tanah basah yang diinjaknya. Tanah yang menyimpan belulang saudaranya. Tak ada yang sakti di semesta ini. “Aku menunggu kabarmu di alam sana, Sembada...!” bisiknya tak bersemangat.
*Judul cerpen ini berganti menjadi 'Apa Kabarmu di Alam Sana' dan diterbitkan di kumcer Apa Kabarmu di Alam Sana, LTNU Mesir, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar