*Karya: Nailah Khairunnisa

Kau memandang cerah
Masa depan yang dianggap indah
Kehidupan nan maha megah
Pendidikan tak susah payah
Kau memandang cerah

Musuhmu dekat namun tak jumpa
Karibmu jauh meski di sampingmu
Benar, walau jauh terasa dekat
Kendati dekat, tak rasa ada
Hiks!

Ini negeri porak poranda
Saat kau mulai ternoda
Saat hati semakin hampa
Negeri ini porak poranda
Hiks!

Berjumpa tak bertegur sapa
Hanya tergugu tanpa kata
Seolah engkau jantung pisang
Tak peduli hanya melenggang
Hiks!


Sungguh ini tak mesti benang basah
Teknologi melahirkan banyak kesuksesan
Keelokan semakin bermekaran
Namun penyalahgunaan lagi kelewatan
Sebab musuh Islam basah kerongkongan
Hiks!
Hiks!

Wahai anak bangsa
Engkau penerus bangsa
Penegak keadilan
Menebarkan kesejahteraan
Tinggalkan kemewahan
dunia…
Dunia takkan sepadan
dengan…
akhirat nan menjanjikan

Cairo, April 2017
*Puisi ini mendapatkan peringkat ke-3 di Lomba Menulis Milad PKS Ke-19, diumumkan pada acara Award, 29 April 2017

Hiks!

by on April 29, 2017
*Karya: Nailah Khairunnisa Kau memandang cerah Masa depan yang dianggap indah Kehidupan nan maha megah Pendidikan tak susah p...

*Karya: Zakia Rahmadani

Hidupkan hatimu dengan kalam Illahi
Pantiklah pelitanya dengan al Qur'an
Karena hati adalah
Ia yang bisa mati
Bisa berdebu
Bisa kotor
Bisa pecah
Bisa hancur
Sekiranya kau masih mampu
Sekiranya nikmat bicara masih Allah kekalkan di lisanmu
Sekiranya, amanahmu banyak sekali pun
Sekiranya, jadwalmu hancur sekali pun
Bukalah mushafmu
Ia menyalakan api kehidupan di dadamu
Ia membersihkan debu di pantaran qalbumu
Ia mengalirkan mata air keikhlasan dan kebahagiaan
Ia menguatkanmu, meski ragamu sudah sangat lemah
Ia mengatur jadwalmu
Ia kalam illahi yang suci

Madinat Nast, Kairo

Bacalah, Bacalah, Bacalah

by on April 29, 2017
*Karya: Zakia Rahmadani Hidupkan hatimu dengan kalam Illahi Pantiklah pelitanya dengan al Qur'an Karena hati adalah Ia yang bisa mat...

*Karya: Ridho Al Fajri Salahku… Menggenapi ganjil yang terbiasa tunggal Salahku… Menggenggam kepal yang mengatup erat Salahku… Merangkul peluk yang mustahil terbuka Salahku, meratap-ratap! Aku terlalu bodoh memaksakan hati untuknya yang berlalu Mengejarnya hingga jatuh tersungkur Menggenggam rindu yang membakar setengah asa Lalu terjembab pada kesalahanku sendiri Untuk memujanya dalam nestapa Yah, mungkin aku si berandal karet Mengeja satu huruf yang tak ada dalam deret alfabet Mengkobar-kobar, lalu kutelan sendiri apinya Hah, apakah ini gila? Sedang yang kau kata batu
yang kusangka cinta

Realita Hati

by on April 24, 2017
*Karya: Ridho Al Fajri Salahku… Menggenapi ganjil yang terbiasa tunggal Salahku… Menggenggam kepal yang mengatup erat Salahku… Merangku...

*Oleh: Zakia Rahmadani

"Saat penamu menulis, seketika itu lembaran kertas ingin terbang jauh melintasi angkasa. Sudahkah kau siap?"

Menulislah, karena menulis bukanlah perkara bisa atau tidak, bukan juga bakat yang terpendam, sesungguhnya ia adalah keinginan untuk menyuarakan kebenaran dan dakwah. Ada bayak motif yang memotivasi pena untuk menulis, namun senantiasalah memperbarui niat, bahwa ini semua karena ibadah kepada Nya.

Betapa banyak manusia yang memiliki gagasan dan ide, di dalam dadanya terjadi gejolak yang berkesinambungan, entah perkara siapa dia, apa jabatannya, atau pentingkah dirinya, hingga ide dan gagasan-gagasan tersebut hanyalah sampah yang membusuk. Ia tidak merubah keadaan, pun diketahui orang saja tidak. Hanya memenuhkan sesak di dada, tidak ada yang mendengarkan, atau tak dapat sama sekali ia menyampaikannya.

Menulislah, jika menulis adalah sebuah keinginan, maka tidak perlu jabatan apa-apa, tidak perlu kumpulan massa yang duduk manis untuk mendengarkannya, hanya pena dan kertas. Namun dewasa ini tak susahlah mencari kedua benda itu, jempolmu jadikanlah penanya, selapis layar LCD cukuplah disulap menjadi lembaran kertas yang diinginkan. Ketika sebait paragraf telah rampung, ia akan menjelajahi dunia maya dan realita kehidupan. Ia menyelinap ke dalam setiap hati pembacanya, membuat seseorang tersadar, membangkitkan semangat hidup dan mampu merubah persepsi.

Saat sebuah tulisan mampu menembus langit pikiran banyak orang, mereka sedang bersama kita, satu pikiran, satu langkah dan satu orientasi.

Dengan tulisan dakwah dapat tersampaikan, bahkan dunia ikut mendengarkan, walaupun anda bukan siapa-siapa, tapi dalam dakwah andalah prajurit Allah, dan dalam tulisan anda telah megukir peradaban. Hidup seribu tahun seperti yang disampaikan Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul "Aku" itu, benarlah sebuah kenyataan, dan ia sendiri telah lebih dulu menyontohkan.

Fungsikan Penamu

by on April 23, 2017
*Oleh: Zakia Rahmadani "Saat penamu menulis, seketika itu lembaran kertas ingin terbang jauh melintasi angkasa. Sudahkah kau s...

*Karya: Rakhmi Vegi Arizka

Sore hari itu, di selasar kafe tempat mata kita pertama kali saling beradu, terdengar suara langkah sepatumu yang semakin dekat menghampiriku. Suaranya tidak lebih besar dari degup jantung ini yang semakin membesar terdengar saat tatapan kita saling bertemu.

Bila bukan karena bayangmu yang selalu menggelayut di kantung mata, entah selama apa aku diam-diam mengemas rasa rindu di dada.  Dan dalam diri yang selalu menanti saat kau tersenyum lalu mulai duduk di hadapanku bercerita, aku berkali-kali mengutuk senyummu yang bagaikan riak ombak,  membuat gelombang perasaan ini semakin riuh gemuruh terasa.

Sore hari itu, kita meneguk segelas es kopi, menghilangkan rasa dahaga bersama. Waktu yang hampir sempurna untuk menikmati senja bersama senyumanmu, sampai ketika mata ini berusaha mengeja binar mata pria di hadapanku yang tak biasa saat mengeluarkan secarik surat. Seketika aku merasakan tegukan es kopi yang terasa lebih pahit dari biasanya. Mata ini berusaha membaca dengan seksama nama perempuan yang bersanding dengan namamu.

Kuhirup udara lebih dalam, bibirku terpaksa menyunggingkan senyum bahagia. Itulah detik-detik yang membuatku paham akan arti detak dada yang terasa semakin cepat. Detak yang tak lagi berdegup karena jatuh cinta. Melainkan rasa luka yang mendera, sakit yang tak dapat tenggelam hilang walau bersama senja.

Belum habis persetuan antara rasa bahagia yang semu dan rasa pilu yang nyata, dering telpon membuatmu terburu pamit beranjak. Aku hanya bergeming melihatmu lambat laun hilang dari bidik lensa. Hanya kata sampai jumpa, beserta sepasang kulacino yang kau tinggalkan di meja tempat kita sering bercerita.

Sore hari itu, aku menahan perih yang kau cipta, mencoba menerima perih siksa kenyataan saat raut mukamu bahagia menyebut namanya. Paripurna ketegaranku pecah sempurna, saat rintik hujan basah menerpa wajah. Butir-butirnya melebur bersamaan dengan air yang turun dari pelupuk mata. Kali ini tidak ada lagi yang tersisa, bahkan kulacino yang kau cipta saat kita disini, duduk berdua.

Kulacino dan Sebuah Nama

by on April 22, 2017
*Karya: Rakhmi Vegi Arizka Sore hari itu, di selasar kafe tempat mata kita pertama kali saling beradu, terdengar suara langkah sepa...

Karya: Yazid Arif

Di manakah dirimu?
'tika malam mencapai pertengahannya
berlanjut hingga terbit fajarnya

Di manakah dirimu?
'tika lembaran kalam ilahi mulai berdebu
membacanya lidah terasa kaku

Di manakah dirimu?
'tika keadilan mencapai titik nadir
hingga hidup terasa getir

Di manakah dirimu?
'tika kemanusiaan diperhewankan
hingga kebiadaban dipertontonkan

Seribu alasan 'kan kaulontarkan
Kalau hanya ingin pembenaran

Namun alasan tidak dibutuhkan
Sebab alasan bisa ditelan
Tapi tak mampu jawab persoalan

Kairo, 8 April 2017