Kulacino dan Sebuah Nama


*Karya: Rakhmi Vegi Arizka

Sore hari itu, di selasar kafe tempat mata kita pertama kali saling beradu, terdengar suara langkah sepatumu yang semakin dekat menghampiriku. Suaranya tidak lebih besar dari degup jantung ini yang semakin membesar terdengar saat tatapan kita saling bertemu.

Bila bukan karena bayangmu yang selalu menggelayut di kantung mata, entah selama apa aku diam-diam mengemas rasa rindu di dada.  Dan dalam diri yang selalu menanti saat kau tersenyum lalu mulai duduk di hadapanku bercerita, aku berkali-kali mengutuk senyummu yang bagaikan riak ombak,  membuat gelombang perasaan ini semakin riuh gemuruh terasa.

Sore hari itu, kita meneguk segelas es kopi, menghilangkan rasa dahaga bersama. Waktu yang hampir sempurna untuk menikmati senja bersama senyumanmu, sampai ketika mata ini berusaha mengeja binar mata pria di hadapanku yang tak biasa saat mengeluarkan secarik surat. Seketika aku merasakan tegukan es kopi yang terasa lebih pahit dari biasanya. Mata ini berusaha membaca dengan seksama nama perempuan yang bersanding dengan namamu.

Kuhirup udara lebih dalam, bibirku terpaksa menyunggingkan senyum bahagia. Itulah detik-detik yang membuatku paham akan arti detak dada yang terasa semakin cepat. Detak yang tak lagi berdegup karena jatuh cinta. Melainkan rasa luka yang mendera, sakit yang tak dapat tenggelam hilang walau bersama senja.

Belum habis persetuan antara rasa bahagia yang semu dan rasa pilu yang nyata, dering telpon membuatmu terburu pamit beranjak. Aku hanya bergeming melihatmu lambat laun hilang dari bidik lensa. Hanya kata sampai jumpa, beserta sepasang kulacino yang kau tinggalkan di meja tempat kita sering bercerita.

Sore hari itu, aku menahan perih yang kau cipta, mencoba menerima perih siksa kenyataan saat raut mukamu bahagia menyebut namanya. Paripurna ketegaranku pecah sempurna, saat rintik hujan basah menerpa wajah. Butir-butirnya melebur bersamaan dengan air yang turun dari pelupuk mata. Kali ini tidak ada lagi yang tersisa, bahkan kulacino yang kau cipta saat kita disini, duduk berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar