Eks


Cerpen Insanul Ma’ruf


“Aku tak pernah punya ibu, Ye.”

“Apa maksudmu tak pernah punya ibu?”

Lelaki itu menanggapai dengan pandangan lurus menelusuri lautan.

“Ayah? Kau punya?”

“Sudahlah, Ye. Sebaiknya kamu pulang, tak baik wanita rumahan sepertimu keluyuran selarut ini.”

“Hey, aku bukan wanita rumahan.”

Pemuda bermata tajam itu tak lagi menanggapi. Disandangnya tas ranselnya dan berlalu tanpa pamit. Gadis itu mengiringi.

“Hey, apa kau punya rumah?”

Dijawabnya dalam hati, ‘pertanyaan konyol.’

“Boleh aku main ke rumahmu?”

Pemuda itu tak menanggapi. Mata dan perasaannya menerawang jauh menerobos deretan rumah susun dan gang-gang sempit.

“Malam ini aku nginap di rumahmu ya?” Dia memancing.

“Jangan main-main, Ye.”

“Aku serius.”

Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu tajam-tajam. Seakan mengisyaratkan bahwa -- aku bukan lelaki yang seenaknya mengizinkan wanita masuk ke rumahku, baru kenal pula.

Mahasiswi berrambut lurus dan berponi itu paham, tapi tetap tak mau mundur. Rasa penasarannya lebih kuat dari tatapan pemuda itu.

“Aku antar kamu pulang.”

“Kamu mau antar pake apa? Jalan kaki? Kalau aku mau pulang, aku bisa sendiri, tak perlu repot-repot.”

“Mau kamu apa?” Lelaki itu mulai jengkel lagi dengan gadis ini.

“Aku cuma mau main ke rumahmu, itu saja.”

“Sudah hampir tengah malam, orangtuamu pasti cemas, pulanglah!”

“Ok, aku pulang. Tapi besok aku ke rumahmu, pagi-pagi.”

“Terserah.”

Gadis belia itu tersenyum puas.

“Hey, aku tak tahu alamatmu.” Setengah berteriak gadis itu menuntut.

Lelaki itu berlalu dan meninggalkannya di simpang jalan.



...


Bukan matahari terbenam yang dia tatapi, tapi lautan luas. Masa depannya yang tak temu ujung, seperti lautan lepas itu yang tak berpulau. Matahari terbenam di belakang punggungnya. Dia duduk disaat matahari tak terbenam di laut, tapi di bukit.

Menatapi lautan luas itu sampai benar-benar kelam, sampai sinar matahari benar-benar mati, baginya adalah sebuah ritual yang sedikit menentramkan jantung jiwanya. Memperhatikan rombongan bangau yang mondar-mandir dan sesekali menukik menyambar ikan laut sampai mereka pulang, seperti sebuah opera di tengah semrawut  hari-harinya.

Bagaimanapun masa depan akan menghampiri nanti, baginya tak ada gunanya lagi dipikirkan, percuma. Dulu memang benar dia punya cita-cita, cita-cita besar malahan. Cita-cita besar itu sirna gara-gara orang yang akan dipersembahkan cita-cita itu telah lebih dahulu hilang dalam ingatan pikiran dan hatinya.

Masalah cita-cita, biarlah jadi tugas anak sekolahan untuk meraihnya. Bukan cita-cita lagi sekarang yang akan ia kejar, namun dirinya sendiri. Diri yang baru untuk jiwanya tinggal dan bersemayam, diri baru yang bisa membuatnya lupa akan segala yang telah ia alami. Amnesia baginya mungkin lebih baik. Namun bukan menjadi seorang amnesia pula yang ia akan lakukan.

Langit sudah redup. Tujuh batang rokok habis dihisapnya dari tadi hanya untuk memandangi langit dan lautan. Dia iri melihat burung-burung pantai berebut makanan. Dibanding manusia, mereka tak terlalu berperan mengacaukan sistem alam. Terbersit di hatinya, mengapa Tuhan harus menciptakan khalifah bernama manusia; sebaiknya bumi memang tak harus punya khalifah. Ada keraguan dalam hatinya untuk mempercayai manusia, bahkan mungkin dirinya sendiri.


...


Satu lukisan lagi selesai dibikinnya. Lukisan perempuan berkerudung lebar, tanpa wajah, tanpa warna, hanya hitam dan putih. Itulah kerjanya tiap hari sepulang dari menatap langit dan laut.

Ditutupi dinding kamarnya yang masih kosong dengan lukisan itu. Ditempel dengan lem, tanpa bingkai, penuh sudah dinding kamarnya dengan lukisan berbagai ukuran, berbagai bentuk. Lukisan tentang apapun yang pernah ia lihat dan alami di masa silam. Semuanya hanya hitam dan putih. Beberapa lukisan sulit dipahami dan diartikan, sebagian hanya berupa tumpahan tinta di atas kertas, dan yang lain benar-benar indah. Lukisan yang baru dibuatnya barusan  adalah yang paling besar dibanding yang lain.


...


“Aku boleh tau namamu?”

“Belum ada.” Pemuda itu menjawab seadanya.

“Apa maksudmu belum ada? Semua manusia di bumi ini telah diberi nama, bahkan sebelum dilahirkanpun sudah dipersiapkan nama oleh orangtuanya. Semua  benda juga sudah punya nama. ”

Lelaki itu diam. Pandangannya jauh ke arah dimana laut dan langait dipisahkan oleh garis horizontal, kala itu laut dan langit hampir sama-sama biru.

“Baik, kalau kau tak mau menyebutkan nama. Aku hanya penasaran, mengapa laki-laki semuda dirimu betah bermenung berlama-berlama di tepi dermaga ini sendirian? Apa yang kau lihat? Tak ada yang indah di tepian ini, hanya onggokan-onggokan sampah dan bangkai-bangkai kapal yang telah lama ditinggal pemiliknya. Matahari pun tak mau terbenam disini. Atau kau menunggu seseorang?”

“Kau tak perlu sok perhatian, Ye.”

“Oke. Ma’af kalau aku mengganggu. Sebaiknya aku pergi.” Gadis itu bejalan meninggalkannya.

“Oh ya, kalau kamu sudah punya nama ...” Perkataannya terputus. “Ah, sebaiknya aku pergi.” Perasaan campur aduk berputar-putar dalam batok kepala gadis itu. ‘Lelaki macam apa dia, tak sadar apa dia, aku ini perempuan.’  Batinnya bergumam.


...


Kamar sempit yang dihuninya benar-benar tak terurus. Buku, kertas, alat tulis dan pakaian dibiarkan berserakan di lantai. Tak peduli dengan dirinya dan apa yang akan terjadi pada dirinya. Semuanya ia serahkan pada alam yang bergerak otomatis di bawah arahan Tuhan. Kalaulah tak ada secuil iman dalam nuraninya, tak akan ada lagi dirinya di permukaan bumi ini. Hanya Tuhan yang ia percayai, selain itu ia tak peduli, atau belum mau peduli.


...


“Abe!”

Lelaki itu terkejut mendengar nama itu disebutkan. Seorang wanita berkerudung lebar hampir menutupi separuh badan berjalan ke arahnya dari belakang.

“Aku pikir kamu di Madinah.”

Hilang tatapan tajam lelaki itu. Hatinya bergetar kuat diikuti gelagatnya. Dibuangnya puntung rokok yang dari tadi terjepit di sela-sela jarinya. Tak berani ia menatap wanita berkerudung itu. Ingin rasanya melarikan diri secepat kilat, namun terhambat oleh senyum menawan gadis itu.

“Aku tak pernah kembali ke Madinah, Sa.” Matanya menatap ke lantai papan dermaga. Dia menyembunyikan muka.

Setengah tak percaya gadis itu bertanya, “Kenapa?” wanita itu melanjutkan. “Apa karena peristiwa itu?”

Otot rahang lelaki itu mengencang. Peristiwa itu masih jelas terekam dalam benaknya, bahkan telah menjalar ke seluruh urat sarafnya.

“Itu bukan salahmu, Be. Manusia menanggung dosa mereka masing-masing. Kau telah lakukan sesuai aturan. Tak ada alasan bagimu menanggung akibat perbuatan mereka.”

“Tapi aku kehilangan semuanya, Sa.”

“Kamu lebih paham tentang agama. Kamu pasti tahu untuk apa semua itu kau lakukan. Mereka cuma pendorong, Be. Kalaupun semuanya pergi, kamu masih punya Tuhan, kamu masih punya Allah sebagai alasan mengapa kamu harus kejar apa yang harus kamu capai.”

Lelaki itu benar-benar salah tingkah, belum pernah ia dapati wanita itu berbicara sebelumnya. Empat tahun lebih berlalu ketika ia dapati senyum menawan gadis itu sebelum keberangkatannya, tak pernah lagi mereka bertemu. Tiba-tiba sekarang dia duduk dekat sekali dengannya.


___


Setelah tamat aliyah, lelaki bernama Abe itu melanjutkan pendidikannya ke Madinah. Ia mendapatkan beasiswa penuh dari Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia selama lima tahun masa pendidikan. Tiga tahun di Madinah ia pulang ke kampung halaman, hanya untuk beberapa bulan selama liburan musim panas, untuk sekedar melepas rindu dengan keluarga. Keluarga dimana cita-cita besarnya ia gantung. Namun, menebak arah hidup memang tak semudah menebak arah anak panah. Dua minggu di rumah, ia dapati abang dan ibunya melakukan perbuatan iblis, perbuatab yang mengarahkan rel hidup Abe ke sisi yang lain; mengarahkannya ke jurang.

Sepulang dari mengurus berkas-berkas di kantor departemen agama bersama ayahnya, ia dapati ibu dan abangnya bermesraan di kamar tanpa secarik satirpun menutupi tubuh mereka. Seketika itu juga bulu remang ayah beranak itu berdiri sejadi-jadinya melihat istri dan ibu mereka berbuat macam binatang bersama putranya sendiri. Abe yang tak tahan melihat itu, langsung naik pitam dan menghantam abangnya sekuat-kuat tulang dengan tungkainya. Tanpa busana abangnya membela diri. Perkelahian hebat terjadi. Dengan cepat, ibu Abe menutupi tubuhnya dengan selimut seadanya. Ayahnya hanya diam mematung di depan pintu, sungguh tak percaya dengan yang ia lihat. Badannya menggigil, gerahamnya menggeretak.

Perkelahian Abe dan abangnya sampai ke ruang tamu. Ayahnya yang sedari tadi berdiri di depan pintu ditabrak begitu saja oleh abangnya sampai tersungkur. Ayahnya bangkit dan mencoba melerai kedua putranya itu. Tiba-tiba sebilah pisau dapur telah tersarung di perutnya. Pisau itu ditanamkan sekuat tenaga oleh anaknya sendiri, abang Abe. Bukan hanya satu tikaman, tapi tiga, dua di perut satu di dada. Abe memangku ayahnya, abangnya kabur disusul ibunya yang berlari dari kamar menuju pintu depan. Semenjak itu, dua bajingan itu tak lagi menampakkan tubuh najisnya di depan Abe. Entah kemana perginya, sampai polisipun tak tahu keberadaan mereka. Hari itu juga nyawa ayahnya tak tertolong, beliau meninggal di rumah sakit.

Tak butuh seminggu, kabar itu tersebar di seluruh pelosok kampung dari mulut-mulut warga. Tak satupun menyangka musibah itu menimpa keluarga Abe. Ayahnya yang seorang khatib Jum’at dan disegani warga dikhianati oleh anak dan istrinya sendiri.

Rumah Abe telah dililit garis polisi. Setelah pemakaman ayahnya, Abe tak lagi menginjakkan kaki di rumah itu. Tak satupun tahu pasti keberadaannya. Besar anggapan warga ia kembali ke Madinah.


___


“Kamu telah sia-siakan jalan yang disediakan Allah, Be. Tak semua orang seberuntung dirimu.”

“Kamu tahu dari siapa aku disini?” Abe memotong pembicaraan.

“Adik kelasku bercerita, katanya ada lelaki misterius tanpa nama di dermaga. Karena penasaran aku sempatkan melihat lelaki tanpa nama itu. Dan ternyata kau.”

Abe teringat perempuan berponi tempo hari.

“Namanya Yenata. Aku satu kos dengannya. Dia itu gadis periang, apapun diceritakannya padaku, sampai ke keluarga-keluarganya. Satu-satunya orang yang ia percayai menampung semua keluh-kesahnya itu hanya aku.”

“Kenapa ia tak kau suruh menutup kepala.”

“Selalu ada alasan logis darinya setiap aku suruh memakai kerudung. Aku tak mau memaksa, suatu saat nanti dia akan tahu sendiri. Jauh dalam hatinya aku lihat ada kebaikan.”


...


Namanya Eresa. Dia adalah teman satu sekolah beda kelas Abe dulu. Wanita itu cerdas, senyumnya memang menawan. Namun bukan senyuman sebenarnya yang menonjol dari gadis itu, tapi kepribadian dan kerendah-hatiannyalah yang membuat Abe menaruh hati.

Dulu Eresa adalah gadis remaja yang pendiam. Terhadap teman pria mungkin ia bisa dibilang tertutup. Hanya untuk hal-hal yang betul-betul penting ia berkomunikasi dengan teman laki-laki.

Sehari sebelum keberangkatan Abe ke Madinah, ia beranikan diri menemui gadis itu untuk berpamitan, namun yang ia dapati hanya senyum merekah, dan ah.. menawan. Tak sepatah katapun terlontar dari gadis pendiam itu. Tapi, kejadian di dermaga tadi membuat hatinya merona. Itulah pertama kali ia dapati kata-kata keluar dari bibir merekah gadis itu. Yang keluar langsung petuah, bukan percakapan basa-basi atau perkenalan.


...


Di ruangan penuh lukisan hitam-putih, sedikit senyum terangkat dari sudut bibir pemuda penyendiri itu. Baru saja ia berniat lupa ingatan, satu masa lalu kembali mendatanginya, masa lalu yang peduli pada masa depannya, masa lalu yang bernama Eresa. Namun disaat yang sama, masa lalu yang lain juga mengunjungi pikiranya, mengencang lagi otot rahang pemuda itu.

Eresa baginya mungkin cukup sebagai alasan mengapa ia tak ingin lagi jadi bangkai hidup. Melanjutkan hidup, mungkin bukan itu istilah yang tepat baginya. Dia putuskan malam itu juga di ruangan penuh lukisan hitam-putih itu bahwa ia baru saja menemukan diri yang baru untuk jiwanya menetap. Diri yang baru dengan nama baru pula.


...


“Aku sudah tahu identitasmu dari kak Eresa.”

“Eresa cerita apa padamu?”

“Katanya kamu orang baik, ustadz lagi.”

Dia tatapi gadis itu lekat-lekat, tatapan fokus dan tajam, tatapan yang membuat gadis itu serba salah.

“Kenapa kau tak menutup kepala?”

Pertanyaan itu benar-benar menghakimi Ye. Sambil tersenyum dia menjawab, “Buat apa aku harus tutupi apa yang sudah diketahui banyak orang? Semua orang tahu isi kerudung itu cuma rambut.”

“Kerudung itu bukan untuk menyembunyikan rambutmu, tapi menjaga hatimu.”

“Ya, aku paham maksudmu. Tapi, apa semua wanita yang berkerudung itu hatinya bebas dari noda?”

Hati lelaki itu tersentak. Dia  teringat ibunya, wanita yang selalu menutup rapat seluruh tubuhnya di hadapan orang lain, tapi berlaku sedemikian hina di belakang. Apakah selama ini ibunya menutup tubuh hanya karena ia adalah istri seorang khatib Jum’at.

“Ya, kau benar, Ye.”

“Aku hanya belum ketemu alasan yang kuat mengapa harus berkerudung.” Ye melanjutkan, “Kak Eresa itu temanmu kan? Dia adalah wanita berjilbab yang pantas dijadikan model untuk wanita-wanita lain yang juga berjilbab. Aku akan temukan alasan yang tepat dari dia, mengapa wanita muslim harus menutupi kepala mereka.”

“Apa dia tak pernah mengatakan bahwa itu perintah Tuhan?”

“Sering.” Ye menanggapi.

“Apa kau sholat lima waktu?”

Gadis itu tersenyum, “Kamu pikir aku wanita apa, aku juga tahu agama.”

“Lalu?”

“Kata kak Eresa, jilbab bagi perempuan itu adalah identitas seorang muslimah. Aku tidak akan berjilbab sebelum bisa menjaga jilbab itu tetap anggun di atas kepalaku. Aku tidak ingin menjatuhkan martabat muslimah yang lain karena jilbabku.”

“Justru jilbablah yang akan membuatmu malu melakukan perbuatan yang tak seharusnya seorang muslimah lakukan. Di hadapan Tuhanmu, maupun manusia.”

“Hey, sejak kapan kau peduli padaku ?” Ye memotong.

Abe tersenyum.

“Hah, kamu bisa tersenyum juga rupanya.” Ye menggoda, “Apakah senyum itu berarti kau sudah punya nama?”

Dengan mantap lelaki itu menjawab, “Namaku Eks.”




1 komentar:

  1. subhanallah mengena banget, terima kasih Eks maju terus sukseskan Forum Lingkar Pena ! terima kasih ^^

    BalasHapus