Mengenangmu Selamanya (Di Tepian Pantai Seri. II)


Cerpen Purnama Hasido
 
Kukenang saat pertama bertemu denganmu… di pantai ini.

Aku berjalan dalam kesepian di sore itu, menapaki tanah yang basah oleh sisa gerimis... gerimis pun membasahi rumput dan perdu membuatnya berkilauan seperti taburan zamrud. Dan di langit, gerimis menyisakan pelangi.. Bagiku, sore itu adalah waktu yang sangat baik untuk menikmati keindahan alam, terutama lingkar pelangi yang menghias horizon, lingkarnya terlihat jelas di seberang lautan sana, anggun, mandiri… Pelangi yang memayungi langit itu seolah menyilahkan siapapun yang kagum pada pesonanya ‘tuk lewati besar diameternya, seolah pintu gerbang yang mampu bicara;
“Selamat Mengagumiku hai pencemburu keindahan! Silahkan seberangi lautan dan lewati aku! Jika kau tak gentar!”. Pelangi itu nampak sangat percaya diri dengan lingkar besarnya…

Tapi bagaimanapun, di luar lamunan, aku sadar bahwa pelangi hanya bias cahaya yang ditangkap retina, pendar dari milyaran partikel yang membiaskan foton yang jumlahnya tak terhitung. Tak ada gerbang kokoh yang berwujud setengah lingkaran berwarna-warni itu dan tak ada kata-kata tantangan… yang ada hanya harapku yang membumbung dan berdiameter besar… layaknya pelangi yang tegar menjulang ke langit, sedang kedua ujung lengkungnya laiknya mencengkeram kuat ke laut.

Dan saat itulah engkau hadir, gadis kecil... sapaanmu mengusik logikaku yang sedang hanyut oleh sepi, lalu kau tertawakan kegugupanku... sambil menyerahkan kamera kantong, kau minta kufoto. Aku menyanggupi permintaanmu itu meski kita sempat mendebatkan pelangi sore itu. Aku bersikeras bahwa pelangi takkan bisa difoto, dan kaupun bersikeras sebaliknya.

Ah andai saat itu aku tak di pantai, tentu kita takkan bertemu, dan seandainya kita tak memperdebatkan pelangi, mungkin kau takkan lebih jauh menanyakan namaku dan merangkai keakraban, bisa jadi jika aku tak mengabadikan fotomu dengan segala segala penasaran ku takkan sempat mengabadikan kenangku tentangmu, dengan segala kemelut di hati... dan jika semua itu tak terjadi, mungkin aku takkan merindukanmu saat ini, dengan sepenuh kesedihan. Namun... nyatanya segalanya, terjadi begitu saja, perjumpaan kita, perdebatan kita, dan fotomu yang kuabadikan…

***

Beberapa bulan setelah kita bertemu, bukan kebetulan jika ternyata kau adalah pesaing terberatku dalam sebuah lomba puisi antar sekolah. Kau dan sekolahmu mengalahkan aku dan sekolah kami, aku pun juara kedua. Dengan tersenyum senang kau menghampiriku,
“Ihsan! Ini adalah kekalahan kedua-mu!” ujarmu.

Kau anggap kesalahan prediksiku tentang pelangi yang tidak dapat difoto sebagai kesalahan pertamaku, kaupun mengejekku. Namun, pada kenyataannya, kau tak henti-henti memuji-muji hasil fotoku itu. Kau pun lalu mengundangku ke rumahmu untuk pertama kalinya, yang kusanggupi meski dengan berat hati. Di rumahmu, aku kian mengerti siapa dirimu sebenarnya, makin ku tau dirimu, makin kusadari bahwa kita ternyata berbeda...

Dua tahun berteman akrab, kita pun kemudian terpisah  dua tahun lamanya.Hingga kita kembali bertemu kembali di sini. Kau tak banyak berubah, gadis yang selalu ceria... akupun demikian, laki-laki muda yang senantiasa didera rasa malu jika bertemu denganmu.

Pesonamu yang makin memikatku adalah karena saat kedewasaan memberikan banyak perubahan pada kita, ternyata kau tak pernah menganggapku kurang dari seorang sahabat, tak kurang sedikitpun, meski dengan segala perbedaan sosial di antara kita.

“Bagus, bajumu bagus sekali, hari ini, kau cantik memakainya…” aku memberi pendapat pada bajumu malam itu, kukagumi bahwa pakaian dengan tradisi leluhur yang kau kenakan ternyata begitu tertutup, sopan dan… memang cantik serta terlihat sangat mewah.

“Dan kau Ihsan, masih jelek seperti dulu dengan baju yang kebesaran... dan ini baju kebesaranmu yang paling sering kaupakai…” ujarmu, tersenyum.

Aku tak tersinggung, kata-katamu tak bermaksud menghinaku sama sekali, semua itu benar, aku memang nyaris tak punya baju yang sesuai dengan ukuran badanku, karena kebanyakan adalah baju bekas abang-abangku, sejak kecil kau selalu tau bahwa… aku hanya punya baju yang semuanya kebesaran.

Dan di Malam yang indah itu aku pun menungguimu di luar pagar kuil. Kau merayakan Imlek, dari balik pintu kuil kita berbalas tatap dan berbagi senyuman, malam itu bagiku adalah satu dari malam-malam terindahku. Saat itulah, aku benar-benar menyadari, bahwa aku telah mencintaimu, setulusnya.

***

Setahun berlalu sejak itu, kita pun melepas kangen untuk kesekian kalinya, meski tiga tahun dipisah jarak, pada tahun ketiga aku jauh denganmu, kita pun hanya dipertemukan secara virtual. Dan ternyata, tak lama berselang, internet berkembang dengan perkembangan yang menakjubkan, senyummu dan senyumku dapat terbagi oleh perangkat komunikasi termutakhir saat itu; webcam. Dan satu hal yang spesial… bukankah itu...? Kau berjilab?! Terkejut aku saat pertama melihatmu berjilbab… Dan aku hanya bisa terdiam demi mendengarkan satu kalimat darimu yang tak pernah kulupakan, hingga saat ini…

“Alhamdulillah, aku berjilbab al akh Ihsan, mudah-mudahan istiqamah…” aku terkagum demi melihatmu dari webcam, wajah dihias senyum, senyuman seorang gadis muslimah yang terhormat karena auratnya tertutup!

Aku nyaris menyimpan semua tentangmu di kenanganku, tapi kata-katamu hari itu memang berbeda, terasa sangat berharga, aku bahkan menyimpannya dengan tulisan print-out-nya lengkap dengan tanggalnya dengan harapan bahwa aku kan selalu tersenyum bahagia saat mengingat hidayah yang engkau sambut. Bagi hidupmu, selamanya… bagi sisa hidupku, selamanya…

Andai saja, sebelum itu aku tak mengajarimu bagaimana memanfaatkan internet dan komunikasi jarak jauh kita menjadi lancar, mungkin proses hidayah Allah yang kau terima tak dapat kuketahui secara bertahap, karena akulah yang mengenalkan padamu dan keluargamu, Hidayah itu.

Dan mungkin, jika masa-masa indah itu tak pernah kulewati, aku takkan menangisi undukan pusaramu… saat ini…

***

Dan pada saat yang telah kita lewati bersama, kita pun disatukan ikrar pada hari yang selalu menjadi sejarah hingga akhir hayatku. Kuingat selalu bahwa pada hari pertama kita mendiami rumah cahaya keluarga kita, di mana aku merasa sangat bersemangat menatap mentari pagi, pada hari pertama aku menjadi suami sepenanggungan denganmu. Tak kau sadari, betapa aku terkesima oleh lambaian udara pagi Desember pagi itu, sepoi-sepoi angin gerimis di musim penghujan meniup pelan tabir jendela rumah kita, membelai lembut rambutmu yang lurus. Sungguh pagi yang penuh pesona di awal hari keluarga sakinah kita, bahkan saat itu aku terpaut pada harapan konyol... agar jendela kecil itu selalu mengajak masuk angin yang demikian… angin yang senantiasa membelai helai-helai rambutmu di hadapanku, setiap pagi, hingga masa tua kita…

Namun jendela kecil itu, rumah kita… kini, hanya akan kutunggui bersama dinding dan perabot yang kelu, bersama hari-hari yang melelahkan dan suram tanpa hadirmu. Kau takkan lagi mengingatku dan mengingat rumah dan bunga kita, akulah yang mengingatnya dengan segala cobaan gejolak yang tak henti-hentinya kurawat dengan rindu yang sangat dan beban kesepian. Sendiri di rumah ini, bersama pekarangan yang lesu… dan bunga-bunga yang tertunduk itu, luruh layu kelopak dan daunnya iringi kerinduanku hingga ke dasar lembah keharuan, curam dan dingin.

Ingatkah engkau…?
Tidak, hanya aku yang selalu aku yang mengingat ini… kukenang saat hampir setahun yang lalu kau menanyakan bunga kesukaanku, akupun menjawab bahwa aku tak begitu suka dengan bunga… namun kau memaksaku untuk menyebutkan bunga pilihanku. Akupun memilih melati, karena aku tak banyak tau tentang bunga, hanya melati lah bunga yang paling aku kenal namanya. Dan kau pun lalu bercerita bahwa kau ingin merawat bunga di halaman rumah kontrakan kita. Tapi, aku tak menyetujui rencana itu, kitapun berdebat… berdebat lagi.
Kau marah, akupun diam...

Tapi tanpa izinku, tiba-tiba temanmu datang membawa empat pot bunga, dua pot yang berukuran agak besar dengan tanaman bunga matahari dan dua pot yang lain yang ditanami melati. Sejujurnya aku semakin marah karena kau tak menuruti laranganku. Aku sudah meyakinkanmu bahwa halaman rumah kita terlalu sempit untuk ditanami bunga, dan aku akan merasa repot bila kita harus merawat bunga-bunga itu!

Namun, justru sejak itulah kemarahanku menjadi pangkal penyesalan dan awal hari-hari panjang kesedihanku, seandainya saja temanmu yang mengantar pot itu tidak membujukku, mungkin dia takkan salah bicara, yang tak sengaja berpesan padaku agar aku setidaknya dapat memenuhi beberapa ‘kebahagiaan terakhir’ bagimu, kalimat itu adalah awal dari sebuah kenangan yang getir bagiku.

Engkau, Isabel Kui Hua yang kupanggil Xiaohui, kaulah yang selalu mengingatkanku bahwa menjalani hidup adalah sumpah setia untuk mensyukuri anugerah, dan anugerah itu tidak sepanjang berapa lama kita menghitung waktu yang berlalu, namun seberapa berharga anugerah itu menerangi jejak-jejak hari kehidupan kita. Sehat dan sakit adalah bagian dari anugerah itu, dan penyakit yang menderamu tak lain adalah cobaan yang selalu menemanimu dalam sabar dan memberikan pelajaran bagi orang lain, termasuk aku. Pelajaran pada betapa amat lemah hidup manusia dan amat naif kekuatan serta kuasa yang kita banggakan selama ini. Kita yang lemah ini, senantiasa diliput kecemasan, kecemasanku menghitung hari-hari bersamamu, bersama leukemia yang harus kau tanggung.

Sebagai manusia, banyak kudengar bahwa mereka yang dibayangi kematian justru membuatnya semakin tegar dan makin menghargai anugerah hidup dan lebih mensyukurinya, namun siapapun itu, bagi setiap orang yang menyayangi mereka, tentu kkan rapuh batinnya dan pasti digelayut kecemasan, apalagi jika vonis batas usia terlanjur terucap oleh dokter-dokter yang tak berdaya itu! Kami yang menyayangimu takut kehilanganmu, bahkan kadang diliput kemarahan, kemarahan yang sebenarnya keterlaluan dan melawan; mempertanyakan keadilan Sang Pencipta. Seperti itulah aku…

Dan aku berada dalam kekhilafan besar di titik ini, kau selalu dengan sabar mendidikku hari demi hari, ajari aku dan menemaniku hingga batas terakhir hayatmu bersama kesetiaan dan pengabdianmu.

Bertahun-tahun kuhabiskan waktuku dalam ikhtiar menempuh pendidikan untuk menjadi seorang guru yang baik, dan tak terhitung berapa besar pengorbanan yang  menyita pikiranku untuk menjadi pengajar murid-muridku kini… ternyata tak lain, aku masih seperti seorang murid yang keras kepala. Aku keras mengajarkan moral pada muridku, namun moralku rentan ditempa kenyataan yang seolah takkan sanggup ku hadapi dan terlampau menakutkan untuk dibayangkan, karena aku sangat mencintaimu, sangat takut kehilanganmu!

Kau tak lelah berhenti memberiku nasehat, mengajariku tentang berharganya sikap pasrah dengan bersabar, dan beruntungnya aku jika menjadi orang yang bersyukur. Xiaohui, bunga matahariku, mentari pagiku, seandainya kau tak berpesan dan selalu mengingatkanku pada bunga-bunga yang kau tanam dulu, mungkin bungamu, bungaku, bunga kita bersama tak akan semekar sekarang, sayang kau tak melihatnya, tadi pagi, mekarnya kelopak bunga-bunga itu indah sekali. Xiaohui… apalah arti sebuah bunga, jika ia tak mekar, namun apalah arti sebuah bunga yang mekar jika tak disaksikan oleh orang yang menyayangi dan merawatnya…?

Xiaohui, rintik hujan siang ini mungkin telah menyapu sebagian dari kelopaknya yang layu gugur ke tanah. Dan tahukan kau… bunga melati-ku pun begitu, semerbak harumnya mengisi rumah kita yang hening, kemarin malam, bersama kepergian dirimu, harumnya memenuhi nafasku yang sesak, sesak yang nyaris tak kunjung dapat kureda. Jika tanpa iman, sudah sejak pagi tadi, nafas ini ingin ku tiada.

Sayang sekali, bunga matahari adalah bunga semusim, tak lama mahkota, daun bersama batangnya kan luruh, layunya kan tinggalkan kenangan bersamamu…

 “Ihsan suamiku… takkan gelap hati mereka yang tak berhenti menghargai masa lalu mereka, masa lalu adalah sorot cahaya yang kan menerangi hari depan, dan bahagialah mereka yang menghimpun pendar-pendar cahaya itu bagi hari depan mereka, tetaplah berpelangi! Tetaplah harum! Meski aku nanti tiada, jikapun sedih tak dapat kau tahan, ingatlah betapa aku bahagia... bahagia rasanya sudah mencintaimu yang mencintaiku, semoga Allah menyayangi kita atas rasa cinta ini.”

Ku terngiang kata-katamu sebelum ucapkan syahadat...

Aminn Allahumma Amin… lirih rasanya menghapus air mata ini, aku melangkahkan tapak kakiku yang kedelapan… dengan amat berat…

Xiaohui…
Beristirahatlah di peristirahatan terakhirmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar