Di Tepian Pantai - Seri III
Cerpen Purnama Hasido
[Waktu]
Pasir dan tanah… Laut dan sungai, seperti itulah kami…
Kami yang sama sekali identik…
Di seberang pandanganku kini, adalah sebuah pulau yang berbeda. Aku ingin berlayar ke pulau yang berbeda itu, lalu kulayari pulau selanjutnya, lalu pulau yang lain… pergi jauh, bertautan identitas ingin aku jelajahi, berbagai cerita yang ingin aku lalui bersama riak gelombang yang beraneka rupa, karena itulah label yang kuinginkan, berbeda dengan label yang dia inginkan, dia ingin… aku selalu bersamanya, berlabuh padanya, selamanya.
Demikianlah, dan sebelum segalanya terjadi seperti ini, dulu… telah lewat bertahun-tahun berlalu, aku dan dia telah menumbuhkan apa yang kami pahami sebagai ‘momentum pertemuan yang membentuk chemistry’. Dan kami kemudian larut dalam konsekuensi ‘aksi dan reaksi’, berbalas surat dan salam, lalu jadilah ‘label cinta’ melekat pada substansi hubungan kami. Kami melewati hari-hari bahagia dengan label ini.
Lalu, waktu mengharuskan kami dipisah jarak, label yang kami kenakan berawal terpecundangi, aku dan dia hanya bisa bertukar pesan dari jauh, sunyi… Aku merindunya, kadang-kadang, kadang-kadang dia terisak dalam cerita, aku pun membujuk dalam goresan kata, berbalas surat, kukirimi dia berita, berbagi cerita, kami telah berbagi duka, pun kadang-kadang, kami juga telah sama-sama membagi bahagia, lagi-lagi, kadang-kadang… pun demikian, kami masih memegang janji untuk setia, setia adalah label terakhirku dengannya… setidaknya dengan kesetiaan, kami masih menyimpan kebahagiaan yang melengkapi adanya aku dan dia.
Betulkah tentang kebahagiaan? Adakah? Kadang-kadang-kah?
Ternyata tidak, bagiku, hatiku ibarat bejana yang kian kosong, kemudian kususuri masa yang telah berlalu, kuingat awal pertemuan kami, ternyata sejak awal potensi yang eksis kutemukan pada hubungan kami memang hanya berawal dari kekosongan, kekosongan yang bahkan tidak bisa memenuhi nilai nol (0)… kekosongan yang membuatku menertawakan pertalian hubungan ini, menghinakannya.
Aku memimpikan keluarga dengan seorang ibu dan beberapa anak, inilah yang seharusnya mengisi kekosongan bejana itu, demikian rencanaku. Tapi semua rencanaku tak kutemukan pada dirinya, aku mulai mengkritisi wujudnya, dia semakin nampak bukan calon ibu yang tepat bagi anak-anakku… tapi, keputusasaanku dengannya memengaruhi keputus-asaanku pada seluruh rencanaku, aku ingin merubah rencanaku… rencana keluargaku nanti, rencana bagi anak-anakku…
Akupun sampai pada keputusan dari keputus-asaan, yang dapat diwakili dengan kalimat;
“Rencanaku berubah, tidak ada rencana... dan aku akan jauh menjauh… berlayar, sendirian…”
***
[Pertentangan]
Aku belum bisa memahami bagaimana hubungan yang dulunya larut dalam suasana komunal tiba-tiba menjadi sepi dan hening begini…? Mengapa tak bisa lagi kuungkapkan rayuku lagi…? Yang ada, selalu kata sendu yang membawaku harus pada beban berat dari kata-kata; “komitmen”, “janji”, “kesetiaan”, “rindu”, “jangan pergi jauh” dan… “aku cemburu…” Sedangkan kami tidak mendapat pengakuan masyarakat pada eksistensi aku dan dia dalam satu paket (dan kami memang tidak berhak atas pengakuan itu), justru pengakuan masyarakat yang membentuk moral adalah awal dari semua kehancuran recanaku, kehancuran hatiku. Aku memisahkan diri dari moral dan seremoni yang bingar dan memupus harapanku, lalu mengambil peran sebagai pendendam cinta. Dan Sejak awal kusadari, kekosongan ini tidak dapat didramatisir untuk terisi, kalaupun terisi mengisi hanya sebagai pengganti, semua dramatisasi… hanya sebuah drama.
Aku menjadi bosan pada semuanya…
Mengapa aku harus bosan? Mengapa aku harus bosan pada kehidupanku hanya karena dia? Mengapa harus demikian? Mengapa tidak terus menggemari hubungan ini?
Tanda tanya, semua menjadi tanda tanya…
Dan kulihat dia, orang yang kutunggu datang menyongsongku ke tepian pantai ini… aku sudah ungkapkan dalam surat yang kutitipkan dengan sahabatnya, bahwa janji pertemuan ini adalah janji terakhirku padanya.
Dia datang dengan kusut dan menggertakku… “Kau tak beritahu aku?! Kau sudah datang sejak seminggu lalu dan baru sekarang mengajakku bertemu, di tempat terasing ini…?” ia berkata dengan suara bergetar menahan marah. Aku tau, dia marah. Wajahku mungkin juga terlihat menyebalkan, dan dari ujung jidat hingga dagu, wajahku terbuka untuk ditampar siang ini. Dia pandai menampar… temanku, pernah ditampar hebat.
“Jawablah, mengapa kau tidak sudi bertemu denganku lagi, sudah seminggu berselang, baru hari ini kau ajak bertemu?” tangannya ditelekan ke pinggang,dia memarahiku.
“Lihatlah dirimu! Meredam marah saja tak mampu… padahal kita sudah berpisah empat tahun, kau bahkan tidak menanyakan kabarku…? Bagaimana kesehatanku?!”
“Sudah, ungkapkan saja apa ingin dikatakan… aku bersedia mendengar, tapi aku juga ingin kau dengar nantinya!”
“Aku memang mengajakmu bertemu, ini adalah permintaan terakhirku, aku senang kau memenuhinya”
Dia menunduk lesu, demi mendengar kata “akhir” yang kusebut;
“Semua… rasanya kini kita memang terasa jauh dari harapan, padahal selama ini, kita hanya dipisah jarak, entah apa memang sepantasnya aku menyalahkan diri sendiri…? Aku lama tidak menghubungimu, tapi, kaupun pasti percaya, aku tak pernah berhenti menantimu…”
“Selama ini aku tau, bahwa kau telah menungguku dan kau pun bisa memastikan bahwa aku telah menunggu waktu kita bertemu, akupun begitu, sepertimu menunggu, menunggu dalam waktu yang sama… duapuluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu, dengan porsi yang sama dalam penantian… tapi di tengah jeda itu, aku sadari bahwa yang kutunggu 'hanya' pertemuan kita ini, pertemuan yang ditunggu, namun tanpa kerinduan.”
“Kata-katamu sampai sekarang sulit kumengerti, boleh jadi karena memang jenjang sekolahmu jauh di atasku, tapi, tidakkah pernah kau pahami bagaimana perasaanku, tak sekolah pun, kita biasa saling menegrti perasaan kita masing-masing, tapi apa yang kau mengerti dari hatiku, rasa hatiku yang terdalam?!”
Aku mendengarnya kembali mengungkit perasaan dan menyindir ketidak-pekaan perasaanku. Dia memang sering menyebutku tak pernah memberi toleransi pada perasaannya. Tapi, sebagai timbal balik... apakah selama ini diapun pernah memahami kata-kataku dan menghormati keputusan-keputusanku, pertimbangan-pertimbanganku. Boleh jadi, aku bebal dengan perasaannya, tapi bukankah satu dua hal yang tidak kumengerti darinya selalu kupelajari belakangan, dan kini semua pelajaran itu berakhir di tempat terasing ini, dengan keputusan terakhir ini, yang telah kurencanakan, dan baginya, tentu sangat mengecewakan… dan kembali... aku adalah seorang "tak berperasaan".
“Tak taukah kau bagaimana sakitnya hati ini, bang Nabil…?” ia berlinang air mata... menunjukkan desktruksi rasa yang mendera. Diapun terlihat lelah, lelah oleh amarah dan kesedihannya sendiri. Lelah berdiri, lalu duduk di atas sebatang kayu mati, termangu, merundukkan kepala.
Dengan segala rasa bersalah, aku diam… rasa sakit tak perlu dipelajari, aku telah merasakan kesakitan di hati ini, jauh hari sebelum mengenalnya, dan kini ibarat efek domino, aku telah ‘menyebabkan sebuah akibat dari sebuah akibat karena sebab’, pada wanita di hadapanku, Rayhana. Sebab akibat ini dari wanita lain yang bernama Laila, dua nama tadi adalah orang yang pernah kucintai…
“Baiklah, kiranya, aku memang salah, karena tidak memberi tahu kedatanganku sejak seminggu…” aku pun tertekan dan terdesak untuk harus meminta maaf padanya, dan rasa kasihan yang sering melenyapkan rencanaku untuk meninggalkan ‘label’ ini seolah menuntunku untuk menggagalkan rencanaku untuk menyampaikan kata-kata perpisahan. Aku kembali luruh dalam tatakrama diplomasi dengannya lagi. Selalu begitu… dari dulu aku memang takluk pada segala kelembutan yang dia miliki, minor yang dia kuasai, dan aku tidak bisa berkata tidak, dan seperti dulu, saat ini, aku tak berani memandang wajahnya yang penuh keikhlasan mencintaiku. Kata-kata yang ingin kukatakan itu kian tertelan…
“Aku mengerti maksudmu mengajakku ke sini Bang Nabil, tapi… tidakkah kau lihat, aku kini hanya perawan tua…?” matanya tajam menudingku, pipi yang memerah… lalu menangis, tangisnya membuatku makin dikalut kebingungan…
Aku mengerti maksudnya, dalam ‘bargaining’ terkait usia, akupun mengalaminya, dia pun pasti tau itu, tapi apakah dia masih menyalahkan aku? Apakah baginya membiarkanya menjadi perawan tua adalah kesalahanku? Kesalahan terbesarku padanya? Apakah menurutnya aku telah menyia-nyiakan usianya?
“Aku tidak terima jika kau tuduh sudah menyia-nyiakankanmu sampai membuatmu merasa ditelantarkan sampai menyebut diri perawan tua! Bukankah sejak dulu sudah jujur kuungkapkan, tak ada satu kebohongan pun, aku telah memberimu peluang seluas-luas lautan, aku memberimu banyak pilihan! Kau bisa berlayar ke manapun kau suka, sejak dulu! Bagaimana bisa masih menyalahkanku?!” Amarahku meledak, tak kusangka, tiba-tiba, aku marah di tengah kesedihannya.
“Itulah masalahmu! itulah keanehanmu, kau merasa berbaik hati dengan memberiku harapan, lalu kau ingin memupusnya begitu saja, justru menganggapnya kebebasan bagiku?! Tapi, sama sekali tidak kau mengerti semua perasaanku! Bahkan tujuh tahun kita telah bersama, kau tidak hidup dalam kenyataan, hanya melaut bersama mimpi, kau merasuk dan merusak impian orang lain!”
“Baik… jika memang kau sudah sadar bahwa aku hanya buat kau bermimpi, kenapa kau tidak bangun?! Aku sudah memberimu ruang yang bahkan sudah melewati toleransi label ini!”
“Nah, kan …! Dengarkan lagi katamu sendiri! Sampai sekarang pun masih kau anggap cinta tak lebih dari label! Sudah sejak lama, aku mengingatkanmu! Apa yang kau maksud label itu? Ini realita, ini bukan tentang cerita di khayalmu dan label yang bisa kau kenakan lalu kau lepas! Beginilah aku, menanggung sakit diperdaya seorang pemimpi…”
Kuingin berteriak padanya… Cobalah ingat kembali! Coba saja kembali pada kenyataan terdahulu! Telah lama aku membangunkannya, aku ingin mengajaknya pada masa lalu, di mana hidup indah seindah impian di taman surga cinta bermula, lalu berbelit-belit seperti ini… aku tidak terlalu senang pada hal-hal yang tidak faktual, aku telah menuliskan banyak surat, semua penjelasan-penjelasan yang kususun, ribuan bait… tapi seolah tak dipahaminya! Semua inisiatifku untuk menyadarkannya dianggap angin lalu, semua angin lalu bersama pergantian siang dan malam, dan pasang surut air laut, dan berjalan seiring rotasi bulan, semuanya berlarut-larut. Selarut malam, dan fajar yang tak terbit-terbit…
Lalu, apakah benar, aku telah melakukan kesalahan besar terkait paradigma label ini…?!
Apakah aku memang telah menyia-nyiakan dengan kesalahan dalam memahami istilah ini, kesalahan yang membuatku lupa, betapa berharganya dirinya?
Dia bangkit dari duduknya, “Aku mencintaimu sepenuh hatiku Bang Nabil, tidak ada yang lain… tidakkah kau pernah memahami hati ini…?! Aku bahkan bersedia tidur tak perlu bangun lagi, tapi tidurku dengan mimpi indah untuk hidup bersamamu, selamanya… kau belum pernah mendengar orang mati bermimpi, tapi, aku bersedia untuk itu… tapi, mengapa harus begini jadinya? Mengapa bukan aku dermaga yang kau pilih?! Bahkan… setidaknya… mengapa aku bukan pihak yang terkait pada label yang kau pahami itu?!” tangisnya semakin tak terbendung, gerimis tadi, kian membadai.
Aku, hanya tercenung…
“Ini sudah terjadi… maafkan semua kesalahanku, Laili…”
Dia berpaling, menunjukkan bahwa ia membenci panggilan itu, hanya aku yang memanggilnya dengan nama itu, bagiku dia adalah malamku yang suci, indah nan dingin…
“Laili, terserah kau mau mendengarnya atau tidak… tapi, lihatlah, di mana kita berada sekarang… lihatlah pulau di sana, dan, lihatlah kita di sini, pantai ini, daratan ini… nanti, aku ibarat daratan di pulau itu, sedang kau di sini, daratan ini, di antara kita adalah gelombang yang serupa, laut yang sama, hanya saja, sejak kita telah berpisah, mulai saat ini, aku dengan pantaiku, kan terpisah denganmu dan pantaimu. Bukankah dengan perpisahan ini kita mengalami hal yang sama, melihat hal yang sama pula… lagipula, kita masih dapat saling memandang satu sama lain, bukan? Kau sebut aku adalah daratan di muka horizon, akupun begitu, bukankah kita masih identik? Kita masih menghadapi samudera kehidupan yang sama, dengan gelombang yang sama… dan masih bersama pasir yang serupa pula, kita masih dapat menikmati keindahan yang sama…”
Dia berpaling membelakangiku… berbisik, “Rasa sakit dan cinta bisa sama, tapi hati kita takkan pernah sama Bang Nabil…”
Lalu, tak ada jawaban dan kata-kata dariku, keputusanku sudah bulat, yang ada hanya tangis, dan keheningan yang retak. Rayhana berlalu dengan badai yang dibawanya, bergegas hilang bersama angin dan kekecewaannya, akupun pergi, berlalu bersama gelombang asin dan kembali ke keterasingan… Di pantai terasing itu, hati kami berpisah.
***
[Seluk Beluk dan Timbal Balik]
Jika ingin tau lebih dalam tentang sebuah akhir cerita, ketahuilah, bahwa akhir dari semua cerita tadi bukanlah sebuah klimaks, melainkan antiklimaks, lalu sering, pergantian ini memang satu hal yang tidak engkau kehendaki, tiba-tiba membuatmu terhanyut, terbawa, dan cerita mengalir, mengalir dalam hatimu, dan tak bisa tidak, kau telah menerimanya, meski tak sepenuh rela, seperti yang telah kuperbuat dengan perempuan yang menyesali jati dirinya sebagai perawan tua tadi…
Delapan tahun sebelum berjumpa Rayhana, aku mengenal Laila, seorang perempuan yang kukagumi. Namun nyatanya Laila dipersunting seorang saudagar muda, yang lebih muda... namun lebih kaya dariku.
Hatiku terburai, bukan hanya karena kasihku direbut, tapi karena cintaku didahului orang, seorang lebih mampu mendapatkan cinta Laila dibanding aku, sebelum aku mampu berbuat apa-apa. Aku memang tak pernah memiliki Laila sebagai bagian hatiku, di hatinya... bahkan secuil pun dari cinta Laila tak pernah tertaut padaku. Aku mengagumi Laila dengan segala diam, menyembunyikan kekaguman, tapi, keberanianku tak cukup untuk mengungkapkan rasa hatiku padanya. Hingga kuhabiskan waktuku untuk proses akademis. Kukira, kedewasaan dan kematangan dapat membuat nyaliku semakin kukuh hingga dapat melamarnya kemudian, dan itu harapku… namun aku salah, jeda waktu yang kubuat, membuat aku terlambat.
Lalu, Rayhana adalah rembulan yang muncul kemudian, tapi apalah artinya rembulan tanpa malam? Sedangkan sejak nihilnya sosok Laila bagi hidupku, aku bukan lagi apa-apa, aku adalah gulita dan kesunyian itu sendiri. Kulewati hari-hariku dengan aktifitas mencari makan, namun dalam keadaan makan maupun kelaparan pun, aku menyimpan dendam, dendam pada ketidakberdayaan. Lalu berbuat nista pada Rayhana, pura-pura mencintainya, mengintervensi eksistensinya, menyebutnya sebagai Malamku, memanggilnya Laili yang kusayangi, Rayhana kujadikan malam yang kupaksakan untuk kumiliki, kumiliki pura-pura.
Seagung apapun Rayhana menyanjungku dan sebesar apapun cintanya padaku, tak dapat kubalas sebanding dengan apa yang pernah kucurahkan pada Laila. Kembali aku menyusun jeda waktu dengan berpisah dengannya beberapa tahun, kususun jeda itu agar aku bisa belajar mencintai orang yang tak kucintai, belajar merinduinya, dan belajar untuk cemburu jika kudengar ada yang mendekatinya. Namun, yang terjadi, justru hatiku semakin berpaling dari Rayhana, aku menjadi bosan dengan perasaan yang dibuat-buat ini. Hingga berakhir di pantai terasing tadi, tempat yang mewakili keterasinganku dan pandanganku pada Rayhana, memberikan padanya penjelasan untuk membujuknya, meyakinkannya bagaimana berbedanya keadaan dimensi persepsi, jarak, ruang dan waktu kan dapat kami atasi setelah terjadinya keputusan perpisahan ini.
***
Sejarah menautkan hidupku yang berubah dari sebuah titik menjadi sebuah lingkaran, di mana hatiku mengitari gravitasi Laila, lalu menjadi seperti segitiga saat aku bertemu Rayhana, tanpa hilangnya kehadiran bayangan Laila. Kemudian, tiba-tiba, aku kembali ke satu titik, dengan keputusanku, keputusan karena kebingungan dan tekadku untuk mengakhiri semua kepura-puraan ini. Di titik inilah aku memutuskan untuk berlayar di samudera hidup ini, cintaku… membebaskan diri dari segala kepura-puraan, meski harus kubayar dengan kesendirian. Perjalanan ini mengajariku tentang kepastian bagi ketidakpastian, sekaligus keterbatasan bagi ketidakterbatasan.
Sore ini, dari jendela mushola, kuintip langit, hujan baru reda, kuedarkan pandanganku pada lanskap lembah bukit ini, dekat dengan pantai yang terasing, kulihat garis-garis pantai yang dideru ombak dengan pelanginya yang menggoda untuk diabadian dalam ingatan, nun di sana, seorang lelaki termenung dinaungi sebuah pohon bersama punai-punai yang bernyanyi, dan di kejauhan di sisi lain pantai, kulihat dua anak manusia hanyut dalam cinta, mereka bercanda. Seorang anak muda memotret teman wanitanya, dilatari pelangi.
Bukankah seorang di bawah pohon itu dulu juga memotret karibnya, dulu? Mengapa sejarah menjadi demikian terlihat berulang? Seorang mengalami terjadinya kesuksesan dan kegagalan yang sama pada dirinya, berkali-kali, dan di lain pihak, satu kesuksesan serta kegagalan yang sama juga dialami oleh orang yang berbeda-beda, berkali-kali pula…? Apakah demikian siklus hidup terbiasa berjalan? Atau manusia memang harus menyerah pada siklus natural waktu dan ruang mengabaikan (teori) evolusi? Di mataku, mata seorang awam nan tua ini, dunia ini memang seakan berbentuk spiral, gurat lingkar-lingkarnya terlihat bergerak maju dan mundur di pandangan mata membentuk ilusi, namun spiral itu tak lain hanya berputar di tempatnya, membentuk siklus… saja…
Tak ada jawaban maupun tanggapan bagi pertanyaan-pertanyaanku, sepi bagi telinga, kosong bagi mata… keheningan ini mengingatkanku saat mengalami kebahagiaan dan kesedihan bersamaan dalam sekali waktu saat meninggalkan Rayhana dulu, semuanya telah berlalu limapuluh tahun lalu. Kini aku hanya seorang renta yang tak pernah menikah, aku telah hanyut di samudera cinta dan tersesat di tengahnya, namun aku sudi bersama pemahamanku dan kritisku pada label yang kupahami, toleransiku utuh pada keadaan bagaimana menyampaikan satu cinta namun tidak menerima satupun cinta dari seorangpun, cinta yang kualami dalam kesendirian mengisi sebagian besar usiaku.
Tak satupun pulau yang membuatku tertarik menautkan sauh di dermaganya, di sisi lain, di tengah keterasingan ombak dan jauh dari pulau-pulau itu, aku makin betah bersama bintang-bintang yang selalu kukagumi… jumlahnya bersaing dengan buih-buih di lautan, di pelayaranku… Aha! Aku layaknya dua benda itu, bintang dan buih, mengapung di tengah ruang yang seakan tak berbatas, Meskipun sebenarnya itu ada dalam keterbatasan dalam ketidak terbatasan.
Hingga kini aku ada bersama kerinduan yang masih tersimpan, terlebih pada almarhumah Rayhana, satu-satunya orang yang pernah kucintai dan dia mencintaiku. Seperti inikah perasaan dua lelaki yang ada di pantai itu pada wanita yang mereka potret di hari lalu dan hari ini? Kurasa lebih, atau tak sama, karena mereka amat dicintai oleh orang yang amat mereka cintai, sedangkan aku… benarlah kata Rayhana; Rasa cinta dan sakit bisa sama, tapi hati tidak…
Kini, aku bersama sebuah mimpi yang tua dan panjang, dan aku berada di senja mimpi ini, aku tak berniat untuk membangunkan diri karena kesadaranku penuh akan mimpi ini, dan aku tak begitu peduli… jika pun aku bangun, ku kan tetap bersama kenyataan yang tak sempurna… aku kan tetap ‘berlayar’ daripada memilih ‘hidup’.
“Navigare necesse est, vivere non necesse”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar