Selama Bersamamu (Di Tepian Pantai Seri. I)


Cerpen Purnama Hasido

Selama Bersamamu

Di Tepian Pantai Seri. I

“Punai kecil
Berkicau ramai, usik aku
Riang nyanyianmu bercanda, ajak aku bercanda
Padaku senyummu tersirat dalam bisik
Seakan hendak hibur laraku
Sayang nian dukaku melanda
Kusimak kicau-mu, betapa tangis tak mampu kureda
Dengarkah cerita cintaku pada Moli Khua?
Demikianlah…
Tanpanya, sempurna kesendirianku
Karena cintanya
Selalu menjadi cintaku”

-----

Di pantai ini, di tepiannya, lima tahun yang telah berlalu…
Semilir angin pagi bertiup pelan bersama mentari di awal hari, di musim kemarau, masih dingin… tanganku serasa harus dihangatkan di kantong jaket.

Sendirian… aku di bawah naungan awan mendung kelabu yang melayang beriringan… awan-awan melayang lamban... amat lamban, seolah tak sepenuh rela beranjak dari jejak hujannya. Rumput dan ilalang, dedaunan, ranting-ranting dan tunas kerdil masih dibasahi embun yang bersiap melayang mengambang ikuti perjalanan awan-awan… sedang di sisi kanan dan kiriku, dahan dan ranting-ranting cemara melambai pelan seolah tak bertenaga.

Dan… mentari pun meninggi, makin menerbitkan gairah… gairah yang memastikan perantauannya menuju tenggelam, sepenuh hari matahari kan menyisir langit biru… ataukah… malah bumi ini yang justru merantau...? Merantau menyisiri langit yang sehitam malam… di tengah bintang-gemintang…? Aku bertanya… aku hanya bertanya, sendiri…

Tak ada suara yang melebihi kerasnya riak ombak Selat Gaspar. Bagiku, suasana pagi adalah suasana terelok, dan pantai ini adalah tempat termurah yang dapat kurasakan sesering mungkin, berulang kali tanpa bosan… aku tak bosan karena bagiku ombak suatu hari tentu berbeda dengan ombak pada hari yang telah mendahuluinya maupun menyusulnya… itulah dinamika… aku suka dinamika, dan aku adalah satu dari sekian banyak penikmat harmonisasi alam, dinamika kehidupan ini.

Pantai indah ini dapat kunikmati tiap waktu tanpa biaya. Tak seperti pendatang dan turis lainnya… karena rumahku di wilayah pantai ini dan kami menjadi bagian dari penjaga pantai. Telah sebulan berlalu sejak keluargaku menempati rumah baru. Tinggal di sini bukan kebutuhan, ayahku pun bukan nelayan dan tak pernah berpengalaman menjaga pantai. Tapi kata ayah, rumah kami diberi percuma oleh seorang dermawan. Rumah kami agak kumuh bagi rumah yang dijual, namun amat berarti sebagai rumah hadiah.

Sebagai laki-laki, aku memahami betul bahwa ayah bahagia dapat membahagiakan keluarganya. Lebih dari itu, dengan berdiam di sini pun, aku dan adik-adikku bahagia karena dapat sesering mungkin menikmati segala keindahan ini.

Bahagia dan keindahan, selalu bergandengan tangan dalam hal apapun, bagi siapapun… Dan bagaimana menurutmu tentang keindahan pada leburnya dua substansi yang berbeda? Ayah kami selalu pandai membuat kami tertegun saat menyaksikan eloknya pasir dan gelombang itu saling bertemu, saat kedua substansi ini berbentur melebur menyatu di gurat panjang bentukan alam, membentuk teluk dan tanjung… substansi pertama adalah recahan-recahan kecil yang menyusut atau terombang-ambing mengambang ke bagian lain, sekali waktu meluber kemana-mana disongsong substansi lain yang digerakkan suatu energi, yang menjadikannya surut, lalu berbalik kembali, lalu bersembunyi mengendap, pasir dan ombak-ombak… seolah-olah memiliki hasrat seperti kita.

Hari ini, sekolahku libur, aku mengantuk menunggui pagi, lalu menyenderkan badan di salah satu pohon cemara dan dilamun khayal. Hingga saat matahari mulai meninggi ke waktu Dhuha, keasikanku pada sunyi diramaikan seruan seorang gadis yang membuatku tergugah, menoleh.

Oh?! Ternyata seorang amoy, gadis muda warga keturunan menyapaku... dialah dirimu… Moli Khua.

***

Kukenang pertemuan kita waktu itu. Moli…
Bukankah kemudian kita mendebatkan pelangi? Pelangi musim kemarau pagi itu, yang sama-sama kita kagumi… di pagi itu pula, kau minta aku memotretmu dengan latar belakang pelangi dengan senyum malu-malu, lalu setengah memaksaku memanjat pohon Cemara agar kau dapatkan pose sesuai permintaamu. Kau membantah perkiraanku bahwa pelangi takkan nampak difoto karena langit pagi yang mendung serta kualitas tustelmu yang masih kuragukan. Ya… kau merajuk saat kubilang tustelmu tak dapat diandalkan…. wajahmu merona, entak malu, entah tersinggung, entah salah tingkah, tapi… tak terbantahkan, kau seorang gadis yang cepat menarik perhatianku, aku bahagia telah bertemu denganmu… hari itu.

Perkenalan pertama dengan perdebatan… namun perdebatan itu adalah awal keindahan rasa yang melengkapi keindahan cipta bagi sebuah kenangan. Kau bukan warga keturunan asli di sekitar desa ini. Jika kau bagian dari mereka, kau takkan menegurku… Aku memahami dan tau bagaimana warga keturunan ‘kan memandang orang-orang sepertiku, yang jelas tak sepertimu dan keluargamu, kelurgamu tak pernah membedakan ‘Panyin’ dan ‘Tongnyin’ seperti mereka. Keluargamu bahkan tak tau dua istilah umum itu. Moli Khua Ling Cuan, kau dan keluargamu, adalah pendatang baru di desaku.

***

“Surprise! Ketemu lagi!” kau menepuk pundakku penuh kegembiraan, saat kita bertemu pada lomba cerdas-cermat beberapa bulan setelah perpisahan kita di pantai itu. Senyummu yang terkembang hari itu pun tak luput dari ingatku. Ternyata grup sekolahmu saingan terberat grup sekolah kami, namun mujur, grup kami menjawab lebih cepat saat itu dan menang tipis dari kelompok yang kau pimpin. Kau lalu mengajakku bertamu ke rumahmu, ingin kau tunjukkan fotomu yang berlatar pelangi itu, kau puji hasil foto-ku, membuatku bangga...
Sejak saat itu. Kau… aku… lalu seolah menjadi egois pada orang lain. Adik-adikku sempat merajuk saat kusuruh menyingkir agar tak usik kita yang asik menatap tenggelamnya fajar jelang maghrib, di tepi pantai. Aku jadi jarang bermain dengan kawan-kawanku lagi, dan kehilangan hobi renangku, aku asik bersamamu… berdua saja.
Cinta? Entahlah Moli… bukankah waktu itu kita baru di jenjang kelas tiga SMP? Jujur kuungkapkan… saat itu, aku memang sangat membutuhkanmu, karena aku perlu buku diktat yang tak mampu dibelikan ayah. Agar dapat maksimal belajar, aku selalu meminjam bukumu. Aku sangat mengharapkan beasiswa sekolah di Jogja yang ditawarkan kepala sekolah.
Moli Khua, kau pun sangat membantuku...

***

Jogja, dua tahun lalu…
Ada-ada saja kau Moli Khua. Benarkah, aku akan kau beri ongkos pulang kampung? Aku tahu kau berkecukupan dan tak masalah bila kau menyisihkan uang ‘recehmu’ untukku, tapi untuk berbuat sampai sejauh itu, tentu tak sesederhana canda-candamu selama ini. Maaf bila kutolak tawaranmu, sahabatku. Biarlah, aku tak berlebaran di rumah untuk tahun ini. Tak apa kukorbankan waktu istimewa itu agar dapat manambah hafalan Al-Qur’an. Tersisa tujuh juz lagi Moli, rasanya berat bila tanpa keinsyafan dan konsentrasi.
Kau lalu menyapaku bersama kabar yang nyaris tak kupercaya, keluargamu semua menjadi muslim?! Benarkah itu? Itu semua adalah keajaiban besar Moli! Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, untukmu dan keluargamu, Moli Khua!

Namun kau juga ungkapkan cerita tentang papa-mu yang mendapat kucilan dari rekan-rekan bisnisnya. Semua kejadian tak menyenangkan, ujian iman… memang akan terjadi Moli… kuharap… keluargamu dapat bersabar menghadapi semuanya, segala rizki dari Allah … bahkan rizki mereka pun tak luput dari Rahmat-Nya, apa yang kau khawatirkan? Usaha ayahmu terancam bangkrut? Duh, sahabatku Moli Khua…! Andai aku bisa bantu ringankan masalah yang menderamu dan keluargamu, tentu akan kulakukan. Tapi apa daya, untuk pulang kampung pun, ayah ibuku menanggung rasa rindu untuk tak berlebaran kali keduanya, di tahun ini, bersahutan tangisku dan ibuku mendengarkan takbir, seperti tahun kemarin.

***

Setahun lalu, di Jogja…
Lama kita tak berhubungan, sudah hampir setahun, atau bahkan mungkin lebih, mengapa aku tak lagi mendapat email darimu?

Mungkin kau punya alasan, atau alasanmu adalah rahasiamu? Moli Khua… bukankah selama ini emailku hanya sebagai jawaban atas pertanyaanmu tentang akidah kita? Wajar pula bila aku pun tak mengirimimu surat maupun email. Masih serasa aneh bagiku untuk mengirim email tanpa suatu alasan yang jelas, maka saat kau seakan menjaga jarak antara kita… mungkin… ada baiknya. Mungkin juga di sana, telah hadir teman mengobrol yang mengasikkan seperti harapanmu padaku, yang selalu kau keluhkan… menurutmu aku sudah tak nyaman lagi diajak berdebat dan bercerita, dan aku memang sering marah saat kau beri kejutan bohong yang menurutku tak lucu, kau terlalu banyak mempermainkanku...
Tapi, mengapa aku menjadi berburuk sangka padamu, sahabatku… Bagaimana kabarmu di sana…? Aku merindukan semua canda-candamu, merindukan semua cerita bohong itu, merindukan semua kejutan-kejutanmu Moli…

Enam Bulan lalu,

Menikah?! Sulit kupercaya kau nyatakan tawaran seperti itu, Moli... Kau mempermainkanku lagi? Berbohong lagi? ‘Surprise’ macam apa lagi yang kau rencanakan, Moli…? Namun, demikianlah tulisanmu di surat yang kau kirim untuk yang pertama kalinya sejak beberapa bulan ini, lalu mengirimkan offline message berkali-kali dan meneleponku, menguatkan tawaran pernikahan itu. Oh, bukankah…? Lama tak menegurku dan bertukar kabar, kaupun lalu hadir kembali menyapa hari-hariku dengan sebuah kenyataan besar. Tapi, sekali lagi… ini bukan bercanda ‘kan, sahabatku? Namun, tak bisa kupungkiri, ini adalah kejutan terbesar darimu padaku.

Allah… Kau beri aku suatu karunia, tawaran Moli Khua tak mampu kuelakkan, tak kuat kutolak…

Entahlah, beginikah perasaan umum bagi setiap manusia yang dekat dengan pernikahan, setiap manusia yang mengukuhkan kedewasaannya…? Aku tak dapat menyikapi situasi seperti ini dengan sedikit lebih wajar, bahkan tawaranmu tak dapat kujawab serta-merta, mungkin baru kujawab esok harinya, atau lusa, atau mungkin sehari setelahnya, atau aku harus menunggu seminggu berpikir dan merenungi, dua minggu lagi… tiga… aih! Dadaku bergemuruh Moli Khua! Bagaimana bisa kau tahu rahasia hatiku yang selama ini kusembunyikan darimu!? Bagaimana kau bisa memilihku? Banyak pertanyaan yang ingin kuungkapkan, tapi aku tak sanggup... Tunggulah jawabanku...!

***

Moli Khua, ternyata kau memang jodohku. Surat undangan telah disebar di kampung halaman sana, dan aku tinggal pulang menunggu jemputanmu. Alangkah cepatnya roda kehidupan ini, Moli? Takdir sangat aneh… seaneh dimensi kita, dimensi ruang dan waktu.

Tapi takdir kita… perjodohan kita… terlampau aneh, Moli... Ada bahagia yang sangat, namun juga rasa kecewa yang amat beralasan! Sejujurnya kuragukan ketulusanmu, sahabatku… kekasih hatiku...
Bagaimana tidak?! Apakah aku hanya menjadi alternatif hidupmu?! Atau bahkan seperti persimpangan yang ‘terpaksa’ kau pilih ketika jalan telah buntu? Ternyata selama putusnya komunikasi antara kita, kau sempat memberi seorang pemuda warga keturunan… cinta berbalas cinta… Ketulusannya membantu usaha ayahmu, menarik hatimu… kaupun tak mempermasalahkan akidah pemuda itu saat ia berjanji akan menikahimu. Bahkan, kau tak mempersoalkan… saat kau harus merelakan ia merebut kehormatanmu sebelum pernikahan yang ia janjikan?
Iapun ternyata meninggal dalam kecelakaan. Tragis sekali Moli Khua, tapi apakah cerita dan ketulusanmu dapat kupercaya? Lalu dengan tak mempercayaimu, apakah suamimu ini kelak akan menjadi seorang yang akan mencemooh rahasia hidup istrinya yang kelam, Moli Khua? Tidak… aku kan jadi pakaianmu, kau pakaianku, aibmu, aib kita bersama…

***

Tiga bulan lalu, di dekat sini. Tak jauh dari pantai ini, di ruang tamu rumah kecil kami.
Aku menjadi seorang suami bagi satu dari milyaran wanita yang menjadi seorang istri bagi satu dari milyaran pria! Kukira ledakan perasaan seperti ini tak dapat dibandingkan dengan teori-teori tentang peradaban manusia dan sejarah makhluk hidup. Rayakan walimah ini dengan senyummu Moli Khua!

Tapi… apa maksudmu dengan penyesalan pada pernikahan ini? Mengapa kau berpikir bahwa aku masih menyesalinya? Janganlah resepsi ini rusak karena terselip kata-kata ‘penyesalan’ dari bibirmu dan di telingaku, Moli. Mengapa kau masih menangis di pangkuanku?!

Akhirnya, kau ungkapkan kata-kata pelan itu… tentang ketidakmampuanmu… ketidakmampuanmu untuk menjamin kebahagiaan kita dan… untuk mampu menemaniku hingga hari tua…
Ya, tentu saja kau takkan mampu menjamin hal itu, Moli Khua… aku tahu itu, tapi apa yang akan kau maksudkan dengan bicara demikian? Kau ingin menyampaikan satu hal yang menakuti aku? Apa maksudmu Moli…? Jangan kau bercanda tentang kematian… jangan Moli… jangan sekarang! Tunggu sebentar, sebentar… hingga cucu kita lahir nanti dan… atau kita saling menertawakan diri sambil mencabuti uban masing-masing, tapi jangan sekarang Moli Khua… Jangan sekarang….

***

Moli Khua Ling Cuan, meninggal di hari ke tiga di bulan November, ketika rintik hujan mulai tekun merangkai pelangi. Belum kering air mata kami, yang selalu menyayanginya. Karena kami baru mengantarnya ke peristirahatan terakhir tiga hari yang lalu.
Punai kecil, kau pun juga telah dengarkan ceritaku dengannya bukan?


1 komentar: