Inilah Yang Terbaik

Cerpen  Irja Nasrulloh

Malam meraba dunia ketika aku baru saja menidurkan anakku yang masih bayi. Kidung malam mengkili telinga, desir ular meraba kulit ari, dan cicak yang menghitung detik menanti hari, menyelusup dalam kesunyian malam. Kuletakkan guling di kanan-kiri anakku, kemudian kucium keningnya hingga akhirnya aku keluar. Kututup pelan dan rapat pintu kamar buah hatiku.
Aku melangkah menuju ruang tengah. Ku-on televisi, tapi “ Ah, acaranya kurang menarik.” Sesaat kemudian ku-off televisi. Jari tanganku menggapai tombol Mp3 dan tak berapa lama alunan merdu Syeikh Misyari Rasyid terdengar. Ayat-ayat Ilahi dibaca begitu merdu, memesona dan merapuhkan tubuhku. Aku terbaring di atas sofa krem, kubeli setahun yang lalu. Entahlah, aku sedikit lelah hari ini setelah seharian shoting di main studio NileTV, 6th October City. Yups, cukup membuatku pengalaman walaupun sekadar jadi audience dalam acara yang mengangkat tema “mengungkap kebohongan kristen”. pokoke keren men..! Walaupun jadi audience, tapi kan atas nama duta wafidin  plus mentereng di StudioTV Internasional. Aku masih ingat salah satu ayat yang dibawa oleh nara sumber waktu itu, dalam injil matius bab 16 ayat 27 : “anak manusia (Adam) akan datang dalam kemuliaan bapaknya, diiringi malaikatnya, pada waktu itu ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya.” Nah, dari sinilah kita tahu kepalsuan agama kristen. Anda pun tahu, bahwa orang Kristen menganggap dosa mereka telah ditebus oleh sang penyelamat yesus kristus. Bukankah sangat bertentangan dengan ayat itu? Semua orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing di akhirat kelak bukan tergantung pada penebusan dosa.
Kuusap mataku yang sebenarnya belum mengantuk, sedikit kemudian mendesah mengeluarkan penat yang menggandul di benak. Lama pikiranku melayang di kegelapan malam. Aku jadi teringat memori beberapa tahun yang lalu sebelum kepergianku ke Mesir.
Dinginnya kota asri Wonosobo mulai terasa. Kebanyakan orang pun tahu kalau Wonosobo merupakan kota dingin, bahkan lembah pegunungan Dieng akan sedingin di Eropa pada puncak musim dingin bekisar bulan Juli-Agustus.Satu kota di Jawa tengah ini benar-benar memberi kesan tersendiri bagiku.
Tiga bulan usai aku kenal dengan ning Layla dan hari Senin kemarin memasuki bulan VI. Ning Layla merupakan gadis terhormat, dari keturunan terhormat pula. Kecantikan wajahnya dan keanggunan perawakannya digambarkan oleh pemuda-pemuda yang mengenalinya sebagai jelmaan bidadari dari surga. Masih kurang bila belum kusebutkan bahwa dia berakhlak begitu mulia. Pemuda yang melihatnya pasti akan bertambah melek dan bergetar kelelakiannya, tidak terkecuali aku. Aku tahu banyak tentang belakang layarnya. Ini adalah kali pertama aku mendapati kaum hawa seperti ning Layla. Sering aku kehilangan konsentrasi dan sunyi merapuhkan tubuhku. Kupertanyakan akan keberadaanku. Normalkah aku? atau…inikah hembusan syaitan dan dorongan hormon testosteronku belaka? atau ada yang lain dari itu?
Aku masih menggaruk-garuk kepalaku, padahal tak ada koreng di kepalaku. Rambutku  pun bukan sarang kutu, namun rasa gatal itu mencabik-cabik dalam otak dan kalbu,  terus mempertanyakan diriku.
Sikapku saat ini minimal menghormati ning Layla seperti aku menghormati guruku, Ustadz Umar yang tidak lain dan tidak salah adalah abahnya.
"Le…tole, agi-agi to…mandi dulu, bukannya kamu punya janji dengan ning Layla sore ini?” kata ibu mengingatkanku.
Inggih Ibu,untuk masalah janji Insyaallah Ziad selalu ingat kok, Bu. Lagian ini kan janji sama ning Layla. Pokoknya akan selalu cemantil di pikiran.” Kataku kepada ibu sedikit becanda.
Ibu memandangi aku sambil tersenyum manis rasa madu, sesaat kemudian berlalu. Begitulah kedekatanku dengan ibu sedekat jarak jari-jariku. Beliau pun tahu akan kedekatanku dengan ning Layla. Hampir semua orang tahu bahwa mendekati ning Layla ibarat mendekati minyak wangi yang selalu mewangikan sekitarnya.***

Matahari sudah mulai menyemburatkan cahayanya sejak tadi di atas gunung Sindoro. Riang burung-burung kecil di balik rerumpunan pohon menjadi atraksi sekaligus Min fadzli robbi. Sebentar-sebentar terdengar gemertak patahan ranting-ranting yang kering. Bumi mulai dipanggang panas matahari. Terlihatlah beberapa badan berkilat-kilat di lembah pegunungan Dieng. Peluh mulai mengucur dari tempat-tempat tersembunyi dan agak sensitif. Hari ini crew majalah lentera berkumpul di Resto Garden, samping hotel kresna. Agenda yang sedang berlangsung kali ini adalah Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, treatment) yaitu bentuk analisis suatu organisasi dari sudut pandang kelebihan, kelemahan, peluang, dan rintangan yang semuanya itu datang dari faktor intern maupun  ekstern. Semuanya itu berhubungan dengan peningkatan mutu suatu organisasi. Beberapa saat kemudian,
“mohon perhatian! acara diistirahatkan. Ayo semuanya break! Break..!” komando pimred lentera.
Keindahan Resto garden yang dihiasi oleh bunga-bungaan, gemerciknya air mancur, panggung-panggung lesehan klasik dan antik manambah Suasana break menjadi lebih romantis. Aku duduk bersampingan dengan ning Layla, sedikit agak menjauh. Saat itulah kami ngiras-ngirus ngobrol, curhat, bercengkerama, tetapi jangan disangka bahwa kami senggol-senggolan. Tidak, bukan itu. Kami tak pernah melakukan hal itu . Ya...kalau mau jujur sebenarnya sih mau-mau saja, tapi bukankah kita di atur oleh qanun-qanun yang mengikat dan kami pun tak mau disamakan dengan binatang . Lagian kita sebagai umat Islam harus tahu itu. Pada hakikatnya tak ada kebebasan tak terbatas di dunia ini, apalagi masalah nafsu, syahwat, birahi, seks dan kolega-koleganya.
Semerbak aroma jasmine dan rose semakin membuat pertemuanku dengan ning  Layla begitu berkesan. Kadang-kadang kami saling meledek hingga akhirnya tertawa bersama. Sifatnya yang familiar dan simpel membuat dia dikagumi banyak orang. Kadang orang tidak tahu bahwa sebenarnya dia gadis terhormat dan mahir dalam ilmu-ilmu agama. Memang dia tidak terlalu menunjukkan gelar ning-nya. Bagi dia semua orang itu sama.Yang membedakan hanyalah ketakwaan di hadapan Allah SWT.Inna akromakum ‘indallaahi atqaakum.***

Siang mulai memudarkan pagi. Seperti biasa atraksi para petani menjadi agenda penting di lembah pegunungan Dieng. Aku berjalan di atas jalan yang berliku dan bercecabang, kemudian menyusuri perkebunan kentang yang subur. Setelah itu mendaki sedikit jalan yang bercadas dan sampai pada anak sungai yang airnya mengalir jernih dengan pohon-pohon pakis menambah aura tersendiri. Setelah itu sampai pada perkebunan jagung dan aku harus berjalan lagi di setapak yang membelah perkebunan jagung itu. Aroma belalang sangit menusuk-nusuk hidungku. Kadang juga aroma bunga jagung yang mulai merambut mengalahkan aroma busuk belalang sangit. Setelah berjalan beberapa kaki sampailah aku di perkebunan sawi. Itulah kebun milik bapakku. Kebetulan hari ini aku tidak mempunyai agenda yang cukup penting selain mengirim makan siang bapak di Siwuluh, lembah pegunungan Dieng.
Le…bapak begitu ngidam jika suatu saat nanti bapak punya menantu solihah.” Kata bapak tiba-tiba  disela-sela istirahatnya.
"Maksud bapak?” tanyaku pura-pura walaupun sebenarnya kubisa menangkap maksud bapak.
 “Le..le…kamu kan sudah gede,sudah dewasa. Pastinya kesemsem  pada perawan juga, kan? Bapak juga pernah muda kok.” Kata bapak.
Aku pun semakin mendekat kepada bapak .
 “Pak, kalau masalah itu…” Aku tidak meneruskan kata-kataku.
“sudahlah Le…bapak tahu yang kumau. Bukan, bukan itu. Maksud bapak, bapak tahu yang kau mau.He…” Bapak tertawa dan memegang bahuku. Aku pun ikut tertawa.
 “Ah, Bapak bisa-bisa saja.”
            Orang tuaku begitu perhatian dan sangat sayang kepadaku. Bagaimana tidak, karena aku anak laki-laki tunggal. Bahkan mereka pun tahu bagaimana reaksiku kepada ning Layla akhir-akhir ini.***  

Renovasi masjid Baitul muttaqien, tempat aku mengaji kapada Ustadz Umar sudah berjalan beberapa minggu. Sayang, pembangunan masjid itu kini dihentikan. Lagi-lagi masalah klasikal yang lazim terjadi hampir di setiap even, yaitu masalah pendanaan. semua cor-coran sudah jadi, termasuk pendirian soko guru sudah dilaksanakan. Begitu juga dengan semua kusen-kusen sudah siap. Yang belum terpenuhi adalah genting, keramik, pasir, dan beberapa sak semen. Ini diseabkan minimnya pendanaan. Anda pun tahu bagaimana pendanaan di daerah pedesaan. Ya seperti itulah.
             Bapakku tampil pada saat-saat kritis seperti itu. Beliau tampil bukan sebagai sang hero,  sang penyelamat, atau yang lain. Beliau bertindak insyaAllah semata karena-Nya. kebetulan bapak mempunyai relasi sangat baik dengan beberapa bos toko bahan bangunan di beberapa tempat seperti Kretek-Wonosobo, Loano-Purworejo, dan Secang-Magelang. Saat itulah tanpa sepengetahuan panitia bapak meminjam sejumlah  genting dan keramik yang kalau dicairkan akan menjadi rupiah berlimpah.
            Kekurangan bahan-bahan bangunan kini telah terpenuhi. Sayang, muncul hal yang sebelumnya tak pernah terguris sedikitpun di benakku. Akibat fatal muncul setelah terpenuhinya bahan-bahan bangunan itu. Bukan ucapan terima kasih kepada bapak dan bersyukur kapada Allah, begitulah sikap panitia; justru bapak didamprat habis-habisan oleh mereka;  terutama oknum-oknum yang jijik melihat bapak. Mereka risih melihat bapak mentereng di mata Ustadz Umar, yaitu setelah pertunanganku dengan ning Layla.
“Apa-apaan ini, bukan begini caranya, paling tidak harus ada izin dari panitia. Selain itu, panitia lebih berkuasa menentukan jenis genting, keramik, semen, dan lainnya.” Salah satu dari mereka mengaction.
“Sebelumnya saya minta maaf  kepada Bapak-bapak semua. Maksud saya membawa bahan-bahan bangunan ini adalah karena saya ingin beramal dan tidak meminta ganti rugi dari panitia.”  Kata bapakku kepada panitia.
“Ah, paling cuma ngomong di bibir. Lihat saja nanti, pasti akan meminta ganti rugi kepada panitia. Dia bisa ngomong begitu karena cari muka saja di hadapan Ustadz Umar." Salah seorang selain  panitia menyampuk dengan tersenyum sinis.  
  “Astaghfirullah…”bapak berbisik dan mengelus dada.
 "selain itu, kita juga tahu bahwa dia orang yang sangat miskin, tetapi mengapa dia bisa beramal begini banyaknya? paling-paling juga cari pesugihan[1].” Sampuk orang itu lagi sebelum bapak sempat menyatakan hujahnya.
“Begini, sekali lagi saya mohon maaf kepada panitia. Mengapa saya tidak meminta izin kepada anda-anda semua, karena niat saya memang ingin beramal, dan tidak pernah terbesit di pikiran bahwa ingin meminta ganti rugi terhadap semua barang-barang tersebut. Selain itu tidak pernah terpikirkan pula bahwa saya harus meminta izin dulu kepada panitia sebelum saya mengambil barang-barang itu untuk saya amalkan kepada Masjid. Yang saya pikirkan adalah bagaimana pembanguna Masjid ini cepat selesai dan cepat bisa kita gunakan untuk sarana ibadah”. Bapak masih berusaha menyatakan hujahnya.
“Halah!malah makin banyak alasan! Dasar muka-muka gombal..! Paling-paling dia Cuma acting di depan Ustadz Umar.” sampuk salah satu panitia yang gagal meminang ning Laylar.
“Astaghfirullah…” Bapak kembali mengelus dada
“sekarang begini saja, jika memang anda semua mau menerima bahan bangunan itu maka terimalah dan jika tidak juga tidak masalah.” kata bapak kemudian hingga akhirnya berbalik 180 derajat meninggalkan orang-orang tengik itu.
            Mungkin benar bahwa cinta itu buta.Satu catatan mengapa mereka memperpanjang masalah ini karena berawal dari rasa cemburu, iri, dengki, benci, menyesal, dan kecewa, Karena banyak dari mereka yang ingin memiliki ning Layla tetapi kini sudah dalam pinanganku. Bagaimanapun mereka berusaha mencomberkan nama bapak dan keluargaku di hadapan Ustadz Umar. Peran orang-orang tengik itu semakin hari semakin liar. Berbagai usaha mereka lakukan demi mencapai kepuasan di atas deritaku sekeluarga, termasuk melakukan macam tipu muslihat kepada Ustadz Umar. Setinggi-tingginya iman seseorang (baca selain para nabi dan rasul yang ma’sum) bisa saja goyah dan akhirnya nista di hadapan Allah. Begitu juga dengan seseorang yang selama ini aku jadikan panutan, aku idolakan, aku turuti nasihat-nasihatnya, serta aku selami keilmuannya yaitu Ustadz Umar ternyata  jatuh pada iman Barsesa[2]. Syetan manakah yang telah menikam hatinya, demit macam apakah yang telah menyusupi tubuhnya, hingga dia terhasut oleh orang-orang tengik itu, hal yang tak pernah terbesit di akal salimku selama ini.
            Malam kamis ,  bulan Rabi’ul awal adalah malam kelabu dan begitu pekat. Ketika hati merasakan pedihnya difitnah, dicaci dan dibenci. Ketika hati  semakin hari semakin luka kini luka itu dibubuhi garam. Tanpa seizin dan sepengetahuan bapak sekeluarga, semua genting, keramik, pasir, dan beberapa sak semen itu dibuang ke sungai serayu, sebuah sungai yang mengalir di sepanjang Wonosobo dan Banjarnegara. Air serayu berubah menjadi abu-abu dan bersaksi pada malam itu.
Kesabaran bapakku bukan kesabaran ulul azmi tetapi kini telah mencapai puncaknya dan kini mandatangi mereka.
“Taik,bajingan tengik!otak iblis!sial!dasar kewan kalian semua..! dan kau Umar,tak pantas lagi aku memanggil kau Ustadz, mana statusmu sebagai seorang Ustadz? atau kau memang sekadar membawa kelamin menggelantung dalam hidupmu? mulai saat ini juga, akad antara anakku Ziad dan anakmu Layla batal!” Damprat bapak dengan wajah menyala-nyala.
Aku dan ibu yang berada di dekat ayah bergudik takut, begitu juga mereka bajingan-bajingan tengik itu diam dengan mulut terkatub. Aku berbisik kepada ibu,  "Nasrun minallaahi wa fathun qariib.”***

Kepedihan hati datang bertubi-tubi dan kini aku harus  merelakan kepergian belaian hati, belahan jiwa, harapan  cinta, dan harapan masa depanku. Semua itu  akan berlalu,terhempas begitu saja membuat tubuhku yang kurus kering akan semakin kerontang, meggerogoti tulang belulangku, dan mencampakkan aku ke dalam jurang fatamorgana. Punah sudah harapan-harapan indah untuk bisa hidup bersama ning Layla. Aku sempat menerima surat terakhir dari ning Layla.

 Kepada yang tersayang,
 kakanda Ziad Auladi

Assalamu’alaikum Warahmatullah..

Teriring doa semoga Mas tetap dalam lindungan dan Rahmat-Nya.
Teriring pula salam sayang dan cintaku untuk Mas seorang.
Mas…sebelumnya dinda maaf  karena dinda hanya bisa bercakap lewat kertas ini, tak lain pula karena Ridzo-Nya.
Mas…sungguh musibah besar telah menimpa kita, duri-duri telah menusuk hati dan tubuh kita. Badai telah menghancurkan masa depan kita. Mas tahu sendiri apa penyebab semua itu, bukan? Dinda tak perlu menceritakan semuanya di sini.
Mas…dinda tahu, pasti Mas berat menerima semua ini. Mas terluka dengan semua ini. Mas merana dengan semua ini. Begitu juga dengan dinda, mas? Begitu perih hati dinda…begitu tersiksanya dinda…begitu malang nasib dinda…begitu malang nasib kita, Mas.
Mas…di mana sekarang harapan untuk membesarkan anak-anak kita? Di mana sekarang harapan-harapan untuk membangun nirwana cinta kita, berpeluk dalam keluarga, dan menjalin kasih sayang? Mas…harapan-harapan itu kini…
Mas, jangan pernah menyesal dengan semua ini. Jangan pernah putus asa…Karena semua ini dalam misteri-Nya. Bersabarlah, Mas. Memang inilah jalan terbaik kita, inilah Jalan terindah kita sebenarnya. Takdir tidak pernah kejam. Takdirlah keputusan terbaik kita.
Terakhir Mas, maafkan segala kesalahan dinda…maafkan kesalahan keluarga dinda. Begitu juga dengan Mas…Kalau pun ada kesalahan Mas sekeluarga, semuanya telah dinda maafkan.
 Semoga jalan terindah selalu menyertaimu.
 Ini saja dari dinda. Salam sayang…salam cinta…salam hangat dari dinda.

Wassalamu’alaikum Warahmatullah..

Dindamu,
Mufiddatullayla

* * *
Malam semakin merapuhkan kesunyian. Sisi kasarku terkalahkan oleh sisi halusku.Tak terasa pipiku telah terbasahi oleh air mata. Kuusap dengan kasar. Suara tangis anakku telah membuyarkan nostalgiaku. Aku pun bangkit dari sova, menuju kamar. Kuangkat anakku.
 “cup..cup, sayang…cepat besar yo, le…” kataku.
Kemudian kudengungkan shalawat untuk meninabobokan dia lagi. Sungguh kasihan anakku yang tak pernah dan tak akan mengenali wajah ibunya. Fatimah, istriku, meninggal beberapa bulan yang lalu.
 “Aku harus tegar. Yang terpenting sekarang adalah aku harus memikirkan kelanjutan dan masa depan Najwa mukarromah, anakku.” Bisikku dalam hati.
 Anakku pun tertidur. Kubaringkan dia di atas kasur. Masih kutatapi wajah mungilnya. Masih kutatapi wajah yang merindukan belaian dan kasih sayang seorang ibu.Aku tetap berada di sampingnya, menjaganya hingga malam enggan hadir, berganti fajar. Memang keputusan terbaik bagiku adalah takdir. Inilah yang terbaik***

Zahro, Agustus 2008




[1] Mencari harta kekayaan dengan bantuan makhluk halus seperti syetan dan tuyul dengan  syarat-syarat tertentu (memberi sesaji dll).
[2] Nama seorang yang sangat patuh melaksanakan syariat islam, tetapi di akhir hayatnya su’ul khatimah (Naudzubillah…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar