Persembahan Untuk Tanah Kelahiran
Matahari begitu terik. Bumi seakan-akan terpanggang dengan radiasinya. Namun Salman seakan tak memperdulikan hal itu. Dia membiarkan tubuh kurusnya terpanggang di bawah sinar mentari. Kedua tangannya yang kekar terus mengayunkan cangul di setiap jengkal sawahnya. Berkali-kali keringat menetes dari wajahnya yang terlindung di balik caping anyaman bambu yang lusuh. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya. Namun sia-sia saja. Keringatnya terus merembes dari setiap pori-pori kulitnya yang tidak kuasa menahan panas. Salman menghentikan ayunan cangkulnya. Sayup-sayup suara adzan terdengar di telinganya. Dia mengucap Hamdalah dengan lirih sambil menyeka kembali keringat di dahinya. dijinjingnya cangkul dengan tangan kanannya. Kemudian dia berjalan menuju sebuah gubuk yang terletak diantara dua petak sawah miliknya.
Dia menyambar sebuah botol berisi air yang dibawanya dari rumah. Dan langsung menenggak sebagian isinya. “Alhamdulillah” lirihnya setelah air memenuhi tenggorokannya. Dia melepas capingnya kemudian mengipas-ngipaskan pada tubuhnya yang bermandi keringat. Hawa sejuk yang walau tidak seberapa menerpanya. Membuat tubuhnya yang penuh keringat sedikit nyaman. Hari ini memang dirasa Salman cukup panas. Kaos tipis bergambar salah satu lambang parpol yang dipakainya setiap hari itu basah oleh keringatnya sendiri. Dia menyandarkan punggungnya pada salah satu tepi gubuk. Kakinya yang berbalut celana komprang hitam diselonjorkan. Tangan kanannya terus mengibas- ngibaskan caping lusuh itu ke tubuhnya.
Salman memang seorang petani. Sudah dua tahun ini dia menjalani aktivitasnya itu. Namun semua orang mungkin tak akan menyangka, kalau petani yang selalu berpakaian lusuh ketika ke sawah itu adalah lulusan S2 Al Azhar Kairo. Dua tahun lalu Salman kembali ke Indonesia setelah selama sepuluh tahun menimba ilmu di Mesir. Prestasinya cukup gemilang. Dia mampu jayyid jiddan setiap tahun di kuliahnya, syari’ah islamiah. Dia melanjutkan S2 nya di fakultas yang sama dengan jurusan usul fiqh yang mana merupakan jurusan tersulit. Dengan ketekunan dan keuletannya dia berhasil menyelesaikan S2 nya dalam waktu kurang dari enam tahun. Dia menyabet S2 nya dengan predikat mumtaz.
Berkat prestasinya tersebut, ketika pulang dia langsung ditawari untuk menjadi dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta dengan gaji lumayan besar. Dia menerimanya, karena menjadi dosen adalah cita-citanya sejak kecil. Namun, beberapa hari sebelum berangkat ke Jakarta dia baru menyadari kalau keadaan desanya telah berubah. Dia tak menemukan suasana sebagaimana sepuluh tahun lalu. Masjid yang berdiri cukup megah di desa itu seakan hanya simbol dan pajangan belaka. Hanya segelintir orang yang telah berusia lanjut saja yang mau mengunjunginya untuk berjamaah. Sementara yang masih muda, tidak pernah kelihatan batang hidungnya disana selain hari Jum’at. Itupun kalau memang mau datang. Padahal sepuluh tahun lalu masjid cukup semarak dengan kegiatan para remaja masjid.
Ketika sore hari tiba, dia tidak mendapati anak- anak menuju madrasah. Padahal, sepuluh tahun lalu masih banyak dijumpai anak- anak semangat melangkahkan kakinya menuju ke madrasah. Walaupun memakai peci hitam yang berubah kemerahan dan memakai kerudung sekenanya, mereka tetap semangat. Namun saat ini, dia tidak mendapati itu. Anak-anak lebih senang bermain sepak bola atau gobag sodor daripada menenteng kitab ke madrasah. Dari seorang teman dia baru tahu kalau madrasah diniyah di desanya telah tutup. Tidak ada kegiatan lagi di madrasah tersebut.
“Yah, gak tahu lah guru dan muridnya sudah sama-sama males” begitu kata temannya ketika dia bertanya padanya.
Malam haripun dia mendapati hal yang sama. Tidak ada suara anak- anak yang belajar mengaji Al Qur’an. Yang ada hanyalah suara ramai anak- anak bermain. Saat larut malam, para pemuda menghabiskan waktunya dengan begadang. Mereka berkumpul dipos-pos kamling. Bukan untuk menjaga keamanan, namun hanya untuk berkumpul. Mereka bermain kartu, karambol sambil menenggak minuman keras. Mereka melakukannya dengan terang-terangan tanpa rasa malu sedikitpun. Keadaan yang tidak pernah ada sepuluh tahun lalu. Kalaupun dulu ada tidak terang- terangan seperti ini.
“Sejak Kyai Ali meninggal lima tahun lalu semuanya telah berubah.” Kata ibunya ketika Salman membicarakan kegalauan hatinya pada ibunya.
“Bukankah masih ada Gus Ilham?”
“Iya, tapi sekarang Gus Ilham sibuk terus.”
“Sibuk?” Salman mengerutkan dahinya
“Dia sekarang jadi anggota DPR” potong ibunya saat melihat keterkejutan Salman “dia sibuk berpolitik terus jadi jarang pulang ke rumahnya” lanjutnya.
Kyai Ali memang sosok yang sangat berpengaruh di desanya. Dulu ketika masih ada beliau, kegiatan pendidikan di desa tersebut sangat terurus. Beliau rela mengunjungi rumah- rumah warga dan mengajak mereka untuk menyekolahkan anak mereka ke madrasah. Madrasah diniyah di desa Salman itu adalah hasil perjuangan Kyai Ali. Beliau sangat dihormati dan disegani oleh warga. Tidak ada yang berani melakukan maksiat secara terang-terangan karena beliau tidak segan-segan untuk mendatangi dan menegurnya. Menurut sebagian warga beliau mempunyai semacam indra keenam. Walaupun tidak ada yang memberi tahu, beliau bisa tahu jika ada yang melakukan kemaksiatan di desa itu.
Namun, ketika beliau meninggal keadaan desa mulai berubah. Gus Ilham digadang-gadang akan bisa menggantikan ayahnya, apalagi dia baru saja pulang dari Madinah setelah selama lima tahun belajar disana. Namun anggapan tersebut meleset. Beberapa bulan setelah ayahnya meninggal dia mulai aktif berpolitik. Dia menjadi kader salah satu partai besar. Sebenarnya Kyai Ali mempunyai lima orang anak. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Gus Ilham adalah anak pertama. Tiga adik perempuannya telah menikah semua dan ikut suaminya masing-masing. Sedangkan adiknya yang paling kecil Gus Ridwan masih berada di Madinah untuk menyelesaikan studinya. Otomatis setelah Kyai Ali meninggal tidak ada yang melanjutkan.
Salman pernah satu kali berkunjung ke rumah Gus Ilham yang berada di samping Ponpes Al-Fatah, ponpes yang didirikan oleh Kyai Ali. Namun Gus Ilham tidak ada di Rumah. Dia hanya bertemu dengan Kang Sholeh. Salman tahu siapa Kang Sholeh dia adalah teman lamanya ketika mengaji pada Kyai Ali.
“Kok sepi? Santri- santri pada kemana kang?” kata Salman sambil pandangannya mengitari bangunan pesantren tersebut. Kang Sholeh hanya tersenyum. “Loh kok malah senyum?”
“Yah beginilah Kang, sekarang gak ada santri lagi disini yang tersisa Cuma tinggal saya dan Kang Munir.”
“Loh! Kenapa?”
“Lha buat apa mondok kalau gak pernah ngaji”
“Gus Ilham gak pernah mulang?”
“Dulu pernah sekali dua kali tapi kemudian gak lagi”
“Kenapa?”
“Beliau jarang pulang sibuk terus” Salman mengangguk- anggukkan kepalanya dia kelihatan tidak terlalu terkejut, dia sudah tahu lebih dulu dari ibunya.
“Kang Sholeh gak ikut pulang kayak santri yang lain?”
“Wah berat Kang” Kang Sholeh menggeleng- gelengkan kepalanya “Saya sudah lama disini, saya sudah berniat mengabdi disini” lanjutnya mantap.
Salman memang mengenal Kang Sholeh sebagai santri yang taat. Dia adalah salah satu tangan kanan Kyai Ali. Salman sangat menyayangkan keadaan Ponpes tersebut. Ponpes yang didirikan dengan susah payah oleh Kyai Ali itu, kini hanya menjadi bangunan kosong tak berpenghuni. Jika tidak ada Kang Sholeh yang rela membersihkannya tiap hari, mungkin bangunan itu akan penuh dengan sarang laba-laba. Sepuluh tahun yang lalu masih ada sekitar tujuh puluhan santri yang tinggal di pesantren itu. Kini keadaanya berbalik tidak ada lagi kegiatan santri disitu.
Perubahan di desanya yang drastis itu mulai mengganggu pikiran Salman. Diapun mulai memikirkan tawaran dari universitas Jakarta tersebut. Menjadi dosen adalah cita- citanya, namun dia tidak bisa meninggalkan desanya begitu saja. Desanya adalah tanah kelahirannya. Dia ingin bias mempersembahkan sesuatu untuk desanya. Dulu ketika dia berangkat ke Mesir, orang- orang desanya melepasnya dengan alunan do’a. Mereka tentu mempunyai harapan yang besar pada dirinya. Harapan agar bisa berguna bagi desanya.
Salman semakin sering melakukan Shalat Istikharah. Meminta petunjuk kepada Robbnya. Sudah dua hari Salman melakukannya, namun belum mendapatkan jawaban. Hingga pada hari ketiga, setelah melakukan ritual malamnya tersebut Salman tertidur. Dalam tidurnya itu Salman bermimpi. Dalam mimpinya, Salman sedang naik sampan menyebrangi sungai yang cukup luas menuju sebuah istana yang sangat indah yang ada di seberang sungai. Dia mendayung sampan tersebut sambil tertawa terbahak- bahak. Tiba- tiba dia mendengar ada orang yang memanggi- manggil namanya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati orang- orang desanya terbakar api. Mereka menjerit- jerit memanggil namanya. Namun Salman seakan tak peduli, dia terus mendayung sampannya sambil terus tertawa.
Salman tersentak. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya. Nafasnya tersengal- sengal. Berkali-kali dia mengucap istighfar. Mimpi yang baru saja dialaminya tersebut seakan- akan nyata. Semuanya membekas dengan jelas di otaknya. Salman kemudian bertekad ingin tinggal di desanya. Dia ingin mengembalikan keadaan desanya seperti ketika Kyai Ali masih hidup. Dia akan menangguhkan tawaran jadi dosen tersebut. Biarpun dia telah menerimanya, namun dia bisa membatalkannya sewaktu- waktu karena dia juga belum resmi menerimanya.
“Kamu yakin dengan pilihan kamu?” Salman Hanya mengangguk “Jadi dosen kan cita- cita kamu, ini ada tawaran kok malah ditolak” lanjut ibunya.
“Iya sih Bu, tapi aku mau di sini saja. Kak Saiful, Kak Arif dan Mbak Dini kan udah pada ke kota semua, nanti kalau aku juga pergi ibu sama siapa?” Kata Salman menyebut ketiga kakaknya yang telah menikah dan kerja di kota semua.
“ibu sih sebenarnya gak apa- apa, sejak ayahmu meninggal ibu sudah biasa sendirian. Ibu juga rela kok kamu pergi ngejar kesuksesan. Tapi kalau kamu maunya begitu ibu juga seneng.” Salman tersenyum. Dia berniat ingin menjaga ibunya. Hanya ibu satu- satunya orang tua yang dimilikinya. Ayahnya telah meninggal ketika dia masih di Mesir, dia tidak sempat melihat wajah ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Maka dari itu dia ingin menjaga ibunya. Bahkan dia telah berniat jika dirinya jadi ke Jakarta dia akan mengajak serta ibunya untuk tinggal bersamanya.
“Tapi kalau kamu tinggal disini kamu mau kerja apa?”
“Sawah peninggalan bapak masih ada kan?” ibunya mengangguk “Biar Salman garap saja Bu’” lanjutnya.
“Kamu yakin? Kamu nanti nggak malu? Masak udah jauh- jauh ke Mesir pulang- pulang megang cangkul di sawah”
“Kenapa harus malu Bu’? Salman ke Mesir untuk menuntut ilmu agar bisa diamalkan bukan untuk cari ijasah untuk mencari pekerjaan” ibunya tersenyum mendengarnya. “Lagipula, apapun pekerjaannya, selama itu halal dan tidak dilarang oleh agama mengapa harus malu mengerjakannya?” lanjutnya.
“Ya sudah, ibu percaya kok sama kamu”
Salmanpun kemudian mulai mengajak orang- orang yang dianggap bisa untuk mengajar untuk menghidupkan kembali madrasah yang telah mati. Dia juga mengajak Kang Sholeh. Orang- orang yang dulu pernah menjadi guru di madrasah itu juga diajaknya. Walaupun ada beberapa yang merasa keberatan, sebagian besar dari mereka menyambut ajakan Salman dengan baik. Salmanpun kemudian melakukan apa yang dilakukan Kyai Ali. Dia mendatangi rumah- rumah setiap penduduk dan menyarankan agar menyekolahkan anak mereka di madrasah. Warga menyambutnya dengan antusias. Bahkan mereka bersedia memberikan sumbangan untuk menghidupi madrasah tersebut. Salmanpun juga mendatangi orang- orang yang bisa membaca Al- Qur’an dengan baik dan meminta kesediaan mereka untuk mengajari anak- anak membaca Al- Qur’an.
Madrasahpun akhirnya kembali dibuka. Pembukaan itu diresmikan dengan acara syukuran kecil- kecilan. Mula-mula muridnya masih sangat sedikit. Kebanyakan masih suka bermain sepak bola. Namun Salman tidakmau menyerah. Dia mendatangi anak- anak itu satu- satu kemudian mengajak mereka agar mau ke madrasah. Ada yang mau, banyak juga yang masih tidak mau. Tapi lama kelamaan mereka akhirnya mau juga karena mereka menyadari teman mereka bermain bola lama- lama berkurang karena mereka pergi ke Madrasah.
Setelah Maghrib tiba tidak ada lagi suara ramai anak- anak bermain. Berganti menjadi suara anak- anak membaca Al- Qur’an. Di rumahnya, Salman mengajar kitab Fathul Qorib untuk para remaja. Biarpun hanya sedikit yang mau mengaji, namun Salman tidak pernah putus asa. Dia tetap mengajar murid yang ada dengan ikhlas. Lambat laun keadaan desanya sudah hampir sama dengan sepuluh tahun lalu sebelum Salman berangkat ke Mesir. Saat larut malam sudah tidak ada lagi pemuda yang begadang. Sedikit demi sedikit Salman mendekati mereka. Sebagian dari mereka adalah teman kecil Salman sehingga tidak susah untuk mendekati mereka. Salman berhasil mengambil hati mereka. Sehingga Salmanpun bisa menghentikan kegiatan mereka.
Tanpa disadari, Salman telah menggantikan peran Kyai Ali. Dia telah mendapatkan tempat di hati masyarakat. Masyarakat membutuhkannya dalam segala hal. Setiap ada acara tahlilan, tasyakuran pernikahan, khitanan, kelahiran bayi pasti warga meminta Salman untuk memimpin acara tersebut. Bahkan dia juga diminta untuk menentukan hari dan tanggal yang baik untuk menikah atau membuka usaha. Salman dianggap bisa untuk melakukan itu semua sebagaimana Kyai Ali dulu. Salman tidak kuasa untuk menolak permintaan mereka, yang penting, selama tidak menyalahi aturan agama Salman akan menyanggupinya. Dia kini juga dipercaya menjadi imam masjid. Dia menyanggupinya, namun dia tidak bisa mengimami Shalat Dhuhur dan Ashar karena dia harus bekerja di sawah.
Walaupun dia harus memupuskan cita-citanya, dia tidak pernah menyesal. Hidup adalah sebuah pilihan dan dia telah memilih jalan hidupnya sendiri. Jika dia memaksakan diri mengejar cita-citanya, maka dia akan membiarkan orang-orang disekitarnya dalam kegelapan. Dia tidak peduli lagi dengan cita-citanya sekarang dia hanya ingin hidup sebaik-baiknya dan bermanfaat untuk orang lain karena dia berkeyakinan bahwa sebaik- baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi orang lain.
************
Salman menghentikan cangkulannya. Matahari telah condong ke barat. Cahayanya mulai ramah. Sebentar lagi Ashar akan tiba. Salman mengemasi barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pulang. Sebentar lagi murid-muridnya akan menunggunya. Menunggu untaian ilmu yang akan disampaikannya. Cangkul dan barang bawaannya diikat di boncengan sepedanya. Dia segera menaiki sepedanya kemudian segera berlalu meninggalkan tempat perjuangan dunianya menuju ke tempat perjuangan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar