Karena Mata Itu...

 Cerpen Ahmad Harir

            Siang ini matahari memancarkan penuh seluruh kekuatannya. Menyepuh sebagian permukaan bumi dengan teriknya yang menyengat. Kupandangi bundaran yang melingkar di tanganku. Jarum pendek telah tepat berada di angka dua. Berarti sudah setengah jam lebih aku menunggu sendirian disini. Aku mulai mengeluh. Kembali kulap keringat yang merembes di dahiku dengan tisu. Sebenarnya menunggu bis sampai sejam lebih sudah biasa disini, namun panas yang begitu menyengat membuatku seperti kehilangan kesabaran. Apalagi aku hanya sendirian menungu di Mahattah bawabah I ini.
            Aku harus sampai di Bu’uts hari ini. Sudah dua hari aku tidak pulang ke Bu’uts. Jika hari ini aku tidak pulang untuk absen, maka aku akan kembali takhalluf. Dan akupun harus kembali berurusan dengan orang Mantiqah. Sebenarnya sanksinya tidak berat. Hanya dicatet saja namanya. Namun jika terlalu sering takhallluf urusannya akan lain lagi. Bisa-bisa dikeluarkan dari Bu’uts. Apalagi aku sudah pernah dua kali takhalluf. Jika hari ini aku tidak jadi pulang, maka aku akan takhalluf untuk ketiga kalinya.
            Dua hari ini aku menginap di sekretariat PCINU. Aku termasuk salah satu panitia Orientasi Penerimaan Anggota Baru PCINU yang akan dilaksanakan minggu depan. Semakin dekat acara, maka panitiapun akan semakin sibuk. Apalagi aku di bagian kesekretariatan. Aku harus membuat pamphlet, piagam, cocard dan keperluan lainnya. Otomatis aku harus berada di sana terus untuk menyelesaikan itu semua.  Aku pulang inipun hanya untuk absen. Nanti sore aku harus kembali lagi ke sekretariat, karena masih banyak pekerjaan yang belum terselesaikan.
            Aku berenjak dari tempat dudukku. Dari kejauhan terlihat sebuah bis melaju ke arahku. Kupicingkan mataku untuk melihat dengan jelas nomor yang terpampang. Namun masih belum terlihat jelas. Bis itupun semakin mendekat dan nomornyapun semakin jelas. kuayunkan tanganku yang mengepal. Ternyata nomor yang terpampang adalah 178. Aku bisa saja naik bis ini. Namun biayanya tiga kali lipat lebih mahal, karena aku harus lewat Ramsis. Waktunyapun juga relatif lebih lama. Akupun duduk kembali dan mencoba bersabar menunggu.
            Jam telah menunjukkan pukul 2 lebih 15 menit. Aku uring-uringan sendiri sambil mengucapkan kata-kata serapah yang tak jelas artinya. Kucoba menenangkan hatiku. Kukeluarkan Mushaf kecil yang selalu kubawa dalam tasku. Kucoba mengingat-ingat kembali hafalanku yang sudah mulai luntur. Entah kenapa setelah ujian selesai aku jarang sekali mengingat-ingat hafalanku. Padahal sudah kuhafalkan dengan susah payah, namun kusia-siakan begitu saja. Baru beberapa ayat yang kulafalkan, namun aku harus bekali-kali membuka Mushafku. Ternyata hafalanku telah banyak yang meguap. Rasa sesal mulai muncul di hatiku. Andai saja setelah ujian aku tidak menyianyiakannya, tentu hafalanku tidak akan hilang. Bahkan aku bisa menambahnya.
            Aku sebenarnya malu pada diriku sendiri. Liburan musim panas yang sudah berjalan sebulan ini kusia-siakan begitu saja. Bukannya menambah ilmu tapi justru malah mengurangi ilmu. Hafalan Al Qur’an bukannya bertambah tapi malah berkurang. Ketika aku menelfon ke rumah ibu pasti selalu bertanya “sudah berapa juz hafalan Al Qur’annya?” Pasti akan kujawab sambil senyum-senyum sendiri “Masih dua Juz Bu” padahal aku tidak yakin hafalan dua juzku masih sempurna. Ketika ibuku menegurku aku pasti punya seribu satu alasan untuk menjawabnya. Aku sibuk organisasi lah atau apalah. Maafkanlah anakmu ini Bu.
            Aku beranjak dari dudukku. Terlihat sebuah bis hijau melaju. Bis itu sudah cukup dekat sehingga aku bisa melihat nomornya. Angka 80 bercetak merah dan dicoret terpampang pada bis itu. Aku segera berjalan ke sisi jalan raya. Tanpa ku stop bis itu telah berhenti dengan sendirinya. Karena rata-rata bis memang akan berhenti di mahattah. Setelah dua penumpang turun aku segera naik dari pintu belakang. Aku sedikit kecewa, ternyata bis telah penuh. Semua kursi telah terisi dan beberapa penumpang berdiri berdesak-desakkan. Padahal biasanya, waktu siang bis banyak yang kosong. Tapi apa boleh buat dari pada menunggu sejam lagi.
            Bis kembali melaju. Segera kubayar ongkos bis pada kumsari yang duduk di samping pintu belakang. Aku tidak bisa maju  ke depan lagi karena bis memang telah penuh. Akupun bersandar pada kursi di bagian kiri Bis. Kembali aku menekuni hafalanku. Kupikir-pikir mumpung aku sedng mood karena mood mengingat-ingat hafalan seperti ini sangat sulit ku dapat selain waktu ujian. Tidak berapa lama bis telah sampai di Manhal. Bis berhenti sejenak untuk menaikkan penumpang lagi.
            Dua orang perempuanpun kemudian naik. Mengetahui ada dua perempuan yang naik Kumsaripun kemudian berdiri dan memberikan kursi khususnya pada dua perempuan tersebut. Di sini perempuan memang cukup dihormati. Sudah menjadi adat orang-orang sini. Jika ada perempuan yang tidak mendapatkan tempat duduk pasti seorang lelaki akan berdiri memberikan tempat duduknya. Tak peduli perempuan tersebut tua atau masih muda. Bispun melaju kembali. Aku masih asyik menekuni hafalanku.
            Sambil mengingat-ingat hafalan, kuarahkan pandanganku ke arah kanan. Akupun terpaku. Mulutku yang tadi melafalkan ayat-ayat sucipun kini terdiam. “subhanallah” pekikku dalam hati. Secara tak sengaja mataku menatap mata perempuan yang baru naik tadi. Benar-benar mata yang indah. Tak pernah aku melihat mata seindah ini. Akupun tak tahu apa yang membuatnya terlihat begitu indah. Lebih indah daripada mata-mata yang pernah kulihat. Sekitar lima detik aku terpaku menatapnya. Buru-buru kupalingkan wajahku. Aku khawatir jika dia menyadari bahwa aku menatapnya.
            Kucoba kembali menekuni hafalanku. Tapi entah apa yang terjadi. Tiba-tiba pikiranku kosong. Aku sama sekali lupa, sampai mana hafalanku tadi. Kucoba asal-asalan mulai dari tengah. Namun konsentrasiku buyar. Bayangan mata tadi masih terngiang-ngiang di otakku. Kembali kupalingkan wajahku ke kanan. Mencuri-curi pandang ke arahnya. Bukan hanya matanya yang indah. Wajahnyapun juga. Wajahnya yang putih terpancar indah dalam balutan kerudung hitamnya. Namun aku lebih suka menatap matanya.
            Berkali kali aku mencuri-curi pandang ke arahnya. Sekitar satu dua detik lalu kupalingkan kembali wajahku. Aku masih takut kalau dia tahu aku menatapnya. Namun, karena aku terlalu sering mencuri pandang ke arahnya  sepertinya dia sudah tahu. Kulihat dia bisik-bisik dengan temannya sambil melirik ke arahku. Tapi sepertinya dia tidak marah. Karena kulihat dia berbisik-bisik sambil tersenyum. Aku mencoba lebih memberanikan diri untuk menatapnya lebih lama. Menatap matanya tidak akan menimbulkan rasa bosan. Kuarahkan pandanganku tepat ke arah matanya. Dadaku berdesir saat dia juga menatap ke arahku. Cukup lama pandangan kami beradu. Sampai kemudian dia merunduk sambil tersenyum tersipu. Kupalingkan wajahku. Aku tersenyum sendiri. Senang rasanya bisa menatap mata itu.
            Walaupun sudah berkali-kali kupandangi, aku masih saja mengaguminya. Semakin kupandang sepertinya terlihat semakin indah. Panas dan pengap dalam bis tersebut seakan tidak kurasakan. Mata itu bening seperti air telaga yang dapat memancarkan kesejukan tersendiri bagi yang menatapnya. Karena mata itu juga, perasaan dongkol dan kesal saat menunggu bis tadi reda seketika. Perasaanku jadi nyaman dan tenang. Ya.. karena mata itu.
            karena keasyikan menatap mata itu, tanpa kusadari bis telah sampai di Duwaiya. perjalanan yang sebenarnya lama dan cukup melelahkan tak kurasakan. Karena mata itu pula. Bispun kemudian berhenti. Biasanya di Duwaiya akan banyak penumpang yang turun. Ternyata benar. Hampir tiga perempat penumpang berbondong-bondong turun. Termasuk gadis pemilik mata indah tersebut. sebelum turun dia sempat menatap ke arahku. Aku cuek saja pura-pura tidak tahu. Ya.. itung-itung jaga image lah.
            Bispun seketika menjadi longgar. Banyak kursi yang kosong. Aku segera maju ke depan dan duduk di salah satu kursi di sisi kanan. Bispun kembali melaju. Aku masih belum bisa melupakan mata itu. Benar-benar mata terindah yang pernah kulihat dalam hidupku. Aku juga sebenarnya bingung. Apa sih sebenarnya yang membuatnya begitu indah. Padahal menurutku bentuk mata hampir semuanya sama. Setiap hari aku juga melihat mata dan aku sendiripun juga mempunyai mata. Tapi kenapa mata tadi bisa terlihat sangat indah dari pada yang lainnya.
            Inilah salah satu bukti kekuasaan Sang Maha Pencipta. Walaupun mata bentuknya hampir sama, namun mata mempunyai pancarannya yang berbeda. Hanya Maha suci Allah yang dapat menciptakannya. Tidak ada satu hal pun yang dapat menandinginya.
            Bis telah berbelok hendak menuju ke Darosah. Aku segera beranjak dari dudukku bersiap-siap untuk turun. Aku berdiri di samping pintu keluar depan bersama tiga orang Afrika yang juga hendak turun. Bis berhenti tepat di depan gerbang Bu’uts. Setelah pintu terbuka, aku dan tiga orang Afrika tadi segera turun. Kurogoh saku celana kiriku untuk melihat jam. Biarpun ada jam tangan yang melingkar di pergelangan kiriku, kadang kau lebih suka melihat jam dari hpku..
            Tiba-tiba jantungku berdetak kencang, seperti ada bom yang meledak di dadaku. Wajahku seketika pucat. Aku tak mendapati apa-apa di saku celana kiriku. Kucoba mencarinya di saku kanan. Namun hasilnya nihil juga. Mungkinkah ketinggalan di sekretariat? Tapi tak mungkin soalnya aku ingat, hpku masih ku pakai saat menunggu bis tadi. Kakiku lemas seketika. Seakan tidak mampu lagi menopang berat tubuhku.
            Berarti hpku hilang saat di Bis tadi. Kenapa aku sampai lalai menjaga barang penting tersebut. Padahal biasanya aku selalu memastikan barang tersebut masih berada di sakuku saat naik bis. Tapi kali ini aku lalai. Karena keasyikan menatap mata indah tadi N 70 yang baru ku beli seminggu raib. Ternyata mata indah itu tidak hanya memberikan kesejukan padaku, tapi juga kesengsaraan. Oh.. karena mata itu..


                                                                                                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar