Zaitun

Cerpen Purnama Hasido

"Zaitun" Itulah namaku. Mungkin kau kan menganggapku aneh dari satu sisi, karena aku adalah gadis yang merasa bermasalah serius... hanya karena inisial; namaku sendiri. Meski aku memahami juga, bahwa namaku adalah do’a yang mengiringi hari lahirku dan manifestasi dari kesyukuran kedua orang tuaku, kakek, nenek, serta doa mereka semua, maka akupun tak bersikeras mengganti nama yang kurang kusukai ini...

Sebenarnya apa masalahku dengan nama Zaitun?

Pada dasarnya, keberatanku muncul karena buah zaitun ternyata tidak se-sempurna atau setidaknya… tidak sebaik yang kukira. Lewat bertahun-tahun lamanya... aku telah salah mendefinisikan warna, rasa, bahkan bentuk buah Zaitun. Kukira namaku "seenak" rasa buah zaitun, sebagus bentuknya pula… tentu saja, karena kupikir zaitun tak jauh beda dengan buah Arbei atau strawberi, manis rasanya, indah bentuknya, merah merekah warnanya, banyak gizinya dan berlimpah vitaminnya, seperti seloroh ayah dan mamah waktu kutanyakan bagaimana ciri-ciri buah zaitun, dulu. 

Beberapa ciri-ciri yang disebut ayah dan mamah tentang gizi buah zaitun memang tak meleset, namun ciri-ciri fisik yang diceritakan mereka ternyata hanya hasil kesimpulan dari ketidaktahuan ayah dan mamah. Di sebuah kota kecil di Pulau Bangka, jutru semua keluargaku tak pernah benar-benar yakin pada bagaimana bentuk buah zaitun dan bagaimana pula rasanya, dan… namaku diambil dari nama buah berciri-ciri; pahit dan berwarna hitam legam itu, buah muda-nya berwarna hijau pucat... tak kalah pahit! Aku tak suka warna hijau pucat seperti itu, dan aku tak suka rasa pahit! Realita yang kudapatkan di Cairo sangat menyakitkan, namaku interpretasi dari buah hitam nan pahit itu, yang sering dilalap dengan campuran cuka...?!

Akupun menyampaikan protes... mamah membela diri, ayah-pun tak mau disalahkan, menurut mereka, namaku justru tak berhubungan dengan buah Zaitun sendiri, Zaitun namaku berasal dari gabungan nama ayahku; Zainuri, dan nama mamah; QariaTun… jadilah Zai + Tun = Zaitun. Tapi... kakek punya versi berbeda, justru bagi kakek, Zaitun adalah nama yang sempurna, namaku telah melengkapi nama nenekku di hati kakek... nama nenek adalah Tini… kata kakek, Al Qur’an telah menyatukan dua nama buah ini dalam satu ayat di Al Qur'an;
“Wat.. tiini waz… zaituuun!”

Duuh… aku kangen kakek… terkenang aku dengan suara kakek yang mendayu membaca ayat itu lalu tertawa, tentunya dengan barisan gigi ompongnya... kakek kini jauh dari tempatku merantau, kakek juga pasti kesepian karena kepergian nenek dua tahun lalu.

Bagaimanapun juga, kusadari akhirnya... bahwa namaku telah menyempurnakan kebahagiaan keluarga kami.

***

“Mbak Zaitun!”
Seorang akhwat terburu-buru menyusul dari kejauhan. Halimah, adik kelas yang telah menganggap dirinya seakan-akan sekretaris pribadiku.
“Yah, ada apa ukhti Halimah?”
“Coba deh mbak baca… baca!”
Halimah menyodorkan TEMBUSAN, media massa bulanan mahasiswa Indonesia di Cairo padaku. Diperlihatkannya tulisan di ‘Rubrik Kolom’, lembar terakhir... tulisan dengan judul sarkastis dan tendensius;
“TULANG RUSUK YANG MEMAKSA TEGAK; AMBISI SEORANG AKHWAT AKTIFIS ‘DEMI’ MINORITAS.”
Tandas kubaca tulisan artikel tersebut, dan…
Grrr! Astaghfirullah, nama "Zaitun"-ku memang tidak diungkit, tapi aku percaya bahwa si penulis artikel ini memang menodongkan tulisannya padaku pribadi, layaknya menodongkan revolver kaliber 50… lalu… pelatuknya ditarik sekuat tenaga, dan…
DOR!!!
“Jangan menyerah Mbak! Pokoknya kami tetap bersama Mbak Zaitun! Kalau perlu, kami yang hadapi!” Halimah memberiku semangat.
Halimah paham betul maksud artikel ini dan sudah menebak bagaimana meresponku saat membacanya. Artikel kritikan seperti ini tidak remeh bagiku, aku biasa dikritik bahkan kadang lengkap dengan tudingan jari… tapi aku memang tak bisa dikritik! Saat dituding, aku punya cara tersendiri dalam menghadapinya; bertindak frontal... sumber kritik kulebur dengan cara yang bahkan menurutku sendiri memang tak elegan bagi seorang wanita; (yang berjilbab), terutama karena semprotan kata-kataku yang mirip orasi, menurut rekan-rekanku, kata-kataku meluncur deras seperti mesin jet. Dan, kini saatnya, jet itu akan meluncur…!
“Astaghfirullahal adzim… aku harus konfirmasi ke dia secara pribadi! Ini harus kuhadapi!”
“Ya! Omelin aja mbak!” Halimah heboh.
“Maksudmu…?!”
“Ups…! Iya, maksudku, hadapi saja dia, mbak… jadi...? Gimana?”
“Aku perlu nomor hp-nya si Nanas ini!”
“Ha ha ha! Kok Nanas? ‘Nana. S’ namanya, mbak!” Halimah tertawa. Tapi tawanya tak lama, mungkin karena melihat mataku melotot tak karuan.

***

Satu masalah terbesarku yang belum selesai, bahkan masalah ini lebih serius dibanding masalah dengan namaku…

Dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun, aku seolah ditakdirkan untuk menanggung bebanm clash dengan manusia dengan jenis ini.
Merekalah LAKI-LAKI!

Dari sulitnya mengatur empat adik-adikku dan ayahku; adalah laki-laki terdekatku, merekalah laki-laki yang membuat kaum perempuan; aku dan ibuku, terimbas migrain. Ayah sering ceroboh, lupa menaruh dan menyimpan barang, hampir tiap hari kena tegur mamah karena akibat lupa tadi, sering kehilangan perkakas. Berbagai macam kunci; kunci mobil, kunci rumah, kunci lemari, kunci inggris dan berbagai kunci lainnya pun kemudian harus diberi gantungan dan mainan yang besar dan banyak… bahkan agar mudah terlihat diberi gemerincing agar seberisik mungkin, itupun… berbagai macam kunci tadi masih saja sering hilang. Maka, terkadang satu kunci digandakan hingga lima kunci, kecuali satu kunci yang memang tidak digandakan dan tidak diberi gantungan… ya… kunci inggris tadi. JIa hilang, harus membeli yang baru.

Aku pun trauma pada ulah rekan-rekanku yang laki-laki…! Sejak kecil, aku belajar bahwa secara alami, laki-laki memang cenderung terlalu reaktif, iseng, vandal dan berisik. Apalagi mereka yang suaranya treble… ooh! Aku benci laki-laki bersuara cempreng!

Tapi, meskipun begitu, dengan bangga aku akui, rata-rata dari laki-laki yang kukenal sudah kubuat takluk kalau sudah berhadapan denganku. Sebutlah adik-adikku yang katanya gagah-gagah dan ganteng-ganteng itu, adikku yang tertua cenderung mendominasi adik-adikku yang lain, selalu berlagak paling berwibawa dibanding si tengah dan si bungsu, tapi di hadapanku, jangankan untuk tak menurut, nasehatku untuk melupakan pujaan hatinya yang tak cocok dengan hatiku pun terpaksa diturutinya. Begitu juga dengan si bujang tengah dan si bujang bungsu, semua harus menurut padaku.

Tapi itu dulu… sekarang semua telah agak ‘mendingan’, semua karena kesabaran dan kasih sayang mamah... pada hari terakhir aku mengamuk dan bertengkar... sampai-sampai si bungsu benar-benar nyaris aku lempar setrika… mamah, beruraian air mata memelukku erat… dan musnahlah amarahku saat itu, berganti menjadi keharuan dan rasa bersalah yang sangat… untuk saat yang sangat jarang sekali, akupun menangis penuh penyesalan. Aku ingat sekali kata-kata mamah  saat itu; “Putriku yang manis… anakku yang lembut… bila marah, istighfarlah…!”  kalimat sakti mamah selalu terngiang, selalu menjadi rem cakram saat aku emosi, hingga saat ini… aku selalu beristighfar…

***

Hari ini, aku kembali naik pitam, “artikel provokatif” ini menambah panjang minggu-minggu terberat di mana tensiku diuji. Seorang laki-laki membuat emosiku meranum. Menurutku, laki-laki bernama “Nana. S” ini mungkin kurang, atau tidak mengenal siapa Zaitun dan bagaimana psikologinya, jarang dari teman-teman ikhwan berani berurusan serius denganku. Karena aku memang berpengaruh dan cukup disegani, aku juga sukses membuat mereka minder. Menurut teman-temanku, aku cukup cantik, pintar, aktif dan bermental kuat, pandai bicara dan punya aura wibawa, cukup bahan untuk menciutkan nyali laki-laki manapun. Mungkin dari sisi ini, pas juga namaku Zaitun, buah yang… meskipun hitam, agak keras dan pahit, tapi tetap banyak yang menerimanya, menggemarinya, rasa pahit buah Zaitun dianggap enak dan eksotis, bahkan kudengar bahwa orang Yunani kuno sangat menghormati zaitun sampai tak segan membuat peraturan yang… WOW! Menghukum mati bagi yang menebang pohonnya!

Akupun menghubungi pemuda yang bernama “Nana. S” ini dan mendesaknya untuk bicara empat mata denganku di Taman Al Azhar. Halimah kuajak dalam dialog ‘bilateral’ ini. Aku mengajak Halimah yang berperan sebagai “obat nyamuk” atau “pihak ketiga”. Mashlahatnya sederhanya; agar tak terjadi fitnah. Ini adalah sebuah tata krama yang tak tertulis bagi kami, mahasiswa dan mahasiswi Al Azhar di Mesir, aku harus meminimalisir isu bahwa aku sedang berduaan. tentu saja, ada konsekuensinya, mengingat wajah Halimah yang terus cemberut karena merasa kesal dianggap sebagai “obat nyamuk”, membuatku geli.

Dan saat kami bertiga bertemu di kafe taman Al Azhar Park, Halimah menjauh ke meja samping, ia memilih menyendiri dengan teh dan novelnya. Entahlah, apakah karena dia memang kurang tertarik dengan obrolan kami, atau merasa lebih nyaman menonton pertengkaranku nanti dengan “Nana. S” dari angle yang agak jauh…

***

Hemm… ternyata… laki-laki bernama “Nana. S” ini kontras sekali dengan tulisannya yang berapi-api. Tingkah lakunya tenang, lamban, hatinya mungkin "pink", bahkan ia nampak agak kemayu.

“Aku ingin konfirmasi…” ujarku setelah sedikit berbasa-basi.
“Konfirmasi? Ini konfirmasi tulisan, atau, konfirmasi bahwa… ukhti marah…?” Wajah Nana terlihat cukup percaya diri.
“Bukan begitu, entahlah, apakah aku marah atau bagaimana… aku hanya ingin inta tahu, bahwa aku keberatan dengan tulisan artikel di ‘kolom opini’ itu... aku tersinggung...!”
“Jadi keberatan, ketersinggungan ukhti inilah inti obrolan kita? Tak ada yang lain?”
Nada bicaranya naik satu oktaf tapi tetap mendayu, nampaknya dia lumayan berbakat jadi presenter sebuah kuis. Namun kata-katanya tadi seperti meremehkan perjumpaan ini, seolah aku sedang mengajaknya melakukan kegiatan yang tak penting, dilakukan di tempat tak penting dan dalam tenggang waktu yang mubadzir.
“Yang lain? Yang lebih penting meksudnya? Kukira, aku sampai mau buang pulsa nelpon situ, nyita waktu ketemu di sini justru karena memang menganggap verifikasi ini sangat penting, entahlah, kalau akhi Nana berpendapat lain…” aku membuat nada bicaraku sesinis mungkin, ini salah satu trik untuk menunjukkan bahwa kita punya ekstra power.
“Wah, jadi nga’ enak juga, di luar asumsiku, bahwa tulisan kemaren sampai menyinggung ukhti sebegitunya…”
“Lho, tidak menyangka?” emosiku sekarang terasa bertambah satu kilobyte.
Asumsi Nana adalah bahwa orang yang disindirnya dalam tulisan yang provokatif seperti itu, tak akan seemosi aku? Duh, mengapa laki-laki sulit mengerti...?
Inilah masalah utama laki laki bagiku. Konon karena terlalu percaya diri dengan logika yang ada di kepala mereka, laki-laki cenderung minim berperasaan (dhomir), atau kalaupun mereka punya perasaan, mereka memang cenderung mengalami masalah pendengaran! Mereka lebih suka banyak bicara daripada mendengar, tapi… tidak sepenuhnya benar juga sih… bukankah perempuan sepertiku yang justru lebih banyak bicara daripada laki-laki?
Hmm, pelik, membingungkan, manusia memang aneh, dan egoisme mengeraskan isi dan batang tulang belakang jaringan otak di kepala, aku pun menyadari bahwa aku merasa benar sendiri… aku sekarang sedang mencari alasan absolut untuk mendominasi dialog ini.
“Baiklah ukhti Zaitun…” Ujar Nana kemudian, “ …Kebetulan, kita sudah ketemu empat mata, sedang ukhti sudah menyampaikan keberatan… mungkin ini  kesempatan yang sangat baik bagiku untuk meminta maaf. Permintaan maaf inilah yang terbaik yang bisa aku lakukan, dan mungkin yang ukhi inginkan….”
Haa! Satu langkah besar, dia mulai ‘menurunkan lututnya’... mengapa tidak sejak tadi dia meminta maaf padaku?! Jauh-jauh ke sini memang ingin menunjukkan bahwa dia salah, dan aku, secara absolut ataupun relatif, aku memang benar!
“Oh, aku bisa saja maafkan begitu saja… tapi jangan salah sangka ya, aku tidak gila hormat dan senang kalau orang lain minta maaf padaku, karena sering terjadi, memaafkan lebih sulit dari meminta maaf…” ujarku membuat “Nana S” terdiam…
Lalu hening, semilir angin di Taman Al Azhar membelai... ujung jilbabku pun bergoyang... akupun break sambil meminum minuman sahlab yang mulai dingin… 
 “Tapi ada satu hal...” Nana mengajukan satu interupsi di tengah keheningan kami…
“Apa itu?”
“Aku ragu, apa ukhti memang membaca tulisanku?”
“Ya tentu saja, ngak mungkin kalau ngak baca aku minta verifikasi seperti ini.”
“Hanya membaca? Tidak belajar dari tulisanku?”
“Belajar? belajar apa? Aku belajar dari kuliah, dari duktur (dosen), aku mencari ilmu dari sumber-sumber yang dipercaya, tapi kelihatannya tidak dari inta...!”
“Semua orang yang membaca dapat belajar dari bacaan yang dibacanya...”
Hmm, ‘PeDe’ sekali dia bicara begitu padaku.
“Mas ‘Nana Titik Es’, memangnya bisa ya? Aku belajar dari dari tulisan kerdil dan naif begitu?! Baru nulis artikel yang mengkritik wanita saja sudah percaya diri. Menurutku, tulisan antum tentang pemikiran baru feminisme sama saja dengan tulisan mereka, para pemimpi yang ingin merubah tatanan masyarakat. Sayang sekali, banyak dari penulis itu berubah pikiran dan berhenti menulis, ketika suatu saat cintanya ditolak…”
Kulihat Nana sedikit tersinggung. Tapi aku tahu, laki-laki memang makhluk kuat, mereka lebih mampu menahan emosi mereka bila berhadapan dengan perempuan, tapi bila berhadapan sesama mereka, mungkin Nana sudah mengepalkan tangan atau menggebrak meja.
Nana hanya meraih teh di gelas dan meneguknya agak tergesa-gesa. Lalu meminum habis satu botol kecil air mineral. Setelah dia minum dan kembung, wajahnya berseri dan bersemangat kembali.
"Ekhm… ukhti yang baik, bersedia kalau dengar nasehatku untuk ukhti?”
“Nasehat? Untukku?”
Ukhti yang baik…?
Amarahku agak menurun karena merasa bersalah pada Nana, aku sadar sudah menghinanya tadi. Lagipula, entahlah, Nana menyebutku dengan kata “ukhti yang baik…”
Baik hatikah? Ehm… ha ha! Jangan-jangan Nana paham bahwa kata pujian bagi gadis ‘semilabil’ sepertiku, adalah seperti gula bagi semut!
“Iya, nasehtku begini... menurutku, kalau memang keberatan dengan tulisanku, sudah mengkonfirmasi seperti ini sebenarnya sudah baik untuk kita, namun ada yang lebih baik lagi…"
“Lebih ideal? Apa itu? Kirim-kiriman surat, email… balas-balasan sms saja, begitu?”
“Bukan…" dia tersenyum... “Mengapa tidak menghadapi kritik dengan sesuatu yang seimbang? Dalam pertukaran komunikasi, jika seorang bicara maka seorang yang lainpun harus mendengarkan hingga informasi itu sampai seluruhnya tanpa kekurangan dan "noise", begitu juga jika seorang mengajukan pendapat, pihak kedua pun menanggapinya dengan pendapat yang seimbang, dengan demikian, komunikasi dapat berjalan dengan baik… keseimbangan dalam komunikasi juga baik diterapkan dalam komunikasi tekstual, misalnya... menanggapi tulisan dengan tulisan… Justru dengan begitu, kita sudah membuat opini kita mengalir ke publik, wacana kita pun berkembang… masyarakat kita akan terdidik untuk menghadapi bacaan sebagai media pembelajaran.”
Dia menasehatiku atau menantangku...? Kata-atanya bercabang, tapi aku tau, dia menyindirku, meskipun aku belum paham apa maksudnya.
Tapi… satu poin aku dapatkan... harus kuakui dengan jujur, tulisan Nana memang bagus, logis, tak hanya ilmiah, tapi disajikan dengan gaya bahasa yang menarik. Tapi tempo hari, aku memang sudah keburu emosi, apalagi dikipas-kipasi oleh Halimah dan rekan-rekan pendukungku yang lain, makanya aku berorasi di salah satu acara, menunjukkan kemarahanku di depan puluhan akhwat.
Memang, akhir-akhir ini, lingkungan mahasiswa heboh, tidak sedikit dari mereka yang menudingku, memojokkanku dan teman-temanku di WIHDAH, karena keputusanku untuk memberi isyarat akan mencalonkan diri menjadi presiden PPMI. Keputusan yang kubuat memang agak tendesius, karena mahasiswi Indonesia di Mesir sudah punya organisasi khusus akhwat, yaitu WIHDAH. Pertanyaan besar yang beredar; MENGAPA SEORANG BANAT (PUTRI) INGIN JADI PRESIDEN PPMI, MEMIMPIN LAKI-LAKI?!

Bagaimapun kontroversialnya keputusan kami, tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini, gerak langkah WIHDAH terbebani PPMI, kinerja para ikhwan di PPMI sering berdampak negatif pada WIHDAH dari tahun ke tahun. Organisasi induk pelajar dan mahasiswa di Mesir selama ini kuanggap masih sarat kepentingan rijaly (laki-laki) yang tidak mashlahat, rawan konflik, selalu didahului dengan su’udzon, "menang yang kiri, kanan yang dihantam, menang yang kanan, kiri yang dimarginalkan." demikian realitanya. Diperparah lagi karena sistem SGS sering dipahami keliru dan kadang memang ditangani serampangan sehingga tak jarang mengganggu kinerja organisasi di bawahnya, seperti WIHDAH, maka aku berniat mendobrak ke-jumud-an itu dengan mencalonkan diri di jabatan presiden PPMI. Lagipula, aku merasa pantas sebagai calon presiden dengan kemampuanku yang di atas rata-rata ikhwan itu, dan aku berani menjamin bahwa aku bebas kepentingan politis, populis, oportunis bahkan aku tidak terjebak pragmatisme yang muncul dari program TEMUS.

Tapi, aku pun sadar diri, menjawab tulisan Nana bukan mudah, bukan karena ‘pendukung natural’-nya yang banyak dan ‘opposite’ dengan pihakku, tapi karena aku memang kurang bisa menulis artikel. Halimah yang paling berani jujur padaku, pernah mengomentari tulisanku seperti hasil notulansi omelan seorang ibu tua—monopouse dan stress. Tulisanku, kata Halimah, mirip-mirip teks Buku Manifesto Komunis Karl Marx. Entah buku apa itu… mendengar judulnya saja, sudah menyeramkan.

Nana tiba-tiba membuyarkan lamuananku,
“Kalau ukhti baca lebih teliti, tulisanku sarat kekurangan, maklumlah, aku harus memotong banyak bagian karena terbatas limit halaman. Tempo hari aku sedang euforia sesaat dengan studi kritis feminisme. Kukira, seorang yang aku sindir akan mengeluarkan kritikan dengan menyerang tulisanku yang setengah-setengah itu, tak disangka, aku dipanggil untuk disidang dalam masalah perdata begini…” Ujar Nana sambil tersenyum pias.
Kata-kata terakhirnya mengundang tawa-ku.

“Bukan begitu niatku, yah, kita sebagai sama-sama pelajar di sini ‘kan setidaknya kalau ada masalah, kita lakukan ishlah dan tabayun, nah, islah-nya begini, ketemu begini, kita tabayun.” Aku menjadi merasa kurang enak sudah dianggap menghakiminya.
“Tak apa-apa, lagipula, anggap saja aku yang memulai cari gara-gara.” Nana tersenyum, memandang hamparan taman Al Azhar yang indah.
“Oh ya, tadi inta bilang, tulisannya banyak kekurangan. Aku kok tidak tahu kekurangan yang dimaksud, menurutku tulisannya bagus, isinya saja yang kurang enak bagiku pribadi, momentumnya terlalu tepat sih, terutama judul besarnya yang kelewat ‘wah’, inta tahu sendiri ‘kan, semenjak aku dirancanakan untuk dicalonkan sebagai Presiden PPMI, aku mendapat negatif dan isu-isu miring, dan aku selalu reaktif melawan isu dan kritik-kritik itu, akhir-akhir ini, aku dan rekan-rekanku mungkin terlalu sensitif. Aku sampai menduga, akhi Nana ini jangan-jangan agen lawan politikku.” mendengar kataku, Nana tertawa.

“Jujur saja, aku memang kurang setuju dengan pencalonan ukhti. Karena itulah aku menulis, ini hanya usaha warga PPMI biasa untuk menyampaikan aspirasinya.”
“O… yah. Menurut akhi Nana sendiri, bagaimana? Apa alasan kuat untukku agar mundur dari pencalonan?”
“Kan alasannya sudah ada di tulisan artikel itu, Tapi, kalau sudah ditanya langsung, tak apa ‘kan kalau agak lancang bicara apa adanya?”
“Silahkan…” ujarku.
"Karena... sejak jaman batu... konon wanita berjaga di gua, dan lak-laki yang berburu." Ujar Nana, dengan mantapnya.

***

Waktu pun berlalu terisi obrolan kami, aku dan Nana terlibat beberapa tanya jawab yang bagiku mengasikkan, banyak sekali hal-hal baru yang dapat kuambil dari Nana. Ah, benar kata Nana, dibanding mengajak bertemu dengan alasan konfirmasi, verifikasi atau tabayun serta bahasa-bahasa yang justru sekarang digunakan untuk unjuk superioritas, ada baiknya pertemuan kami lebih proporsional untuk disebut sebagai usaha untuk saling memberi nasihat. Dan aku senang telah dapat berbagi nasihat dari saudara Nana. S, yang awalnya kukira bernama Nanas itu.
Tak hanya menghiburku dengan memuji namaku yang katanya bagus dan enak didengar, Nana juga meyakinkanku bahwa aku dapat belajar dari apa saja yang kubaca, membuatku menjadi lebih bersedia bertukar pikiran dengannya daripada berdebat, seperti kebiasaanku.

Sindiran Nana benar, selama ini aku lebih banyak belajar dari buku pelajaran saja dan aku memang keras kepala, yang sering mengindahkan pendapat orang lain, sehingga kurang terbiasa menjadi pedengar yang baik. Tak kusangka bahwa artikel yang dibuat oleh rekan yang baru kenal pun bisa merubah cara pandang. Sambil mengobrol dengan Nana, aku dan Halimah pun bergantian membaca artikel Nana, berulang kali.

Akupun maklum, sebuah artikel memang kadang lebih berpengaruh daripada setumpuk tebal skripsi, sebagaimana artikel Samuel P Huntington yang sangat berpengaruh itu, Clash of Civilization.

Hal menarik dari artikel Nana, adalah karena tinjauan psikologis-nya dalam kajian ilmiah artikelnya cukup mengagumkan, entah kecenderungan apa yang digelutinya sehingga dapat menyeimbangkan pemikiran Syaikh Yusuf Qardhawi dengan Sigmund Freud dengan apik. 

Beberapa hari berlalu sejak diskusi dengan Nana, tak sengaja aku bertemu Halimah di depan Masjid Assalam, gadis mungil itu terlihat lelah sekali, pasti dia repot mencariku ke mana-mana.
“Ya Allah, Mbak Zaitun! Kemana saja?! Hape mughlaq (mati), di rumah ngak ada, panitia suksesi belum terbentuk, gimana sih? Nih, aku baru saja dari WIHDAH untuk kumpul-kumpul kecil bareng ketua WIHDAH” Halimah terlihat cemas.
“Maaf deh ukhti, aku baru dari kampus, nah, sekarang baru mau berangkat lagi ke maktabah Qahirah Kubro.”
“Hah?! Ngapain ke sana mbak?”
“Yee… kalau ke perpus, pasti baca buku khan…”
“Tumben?” ujar Halimah sambil mengaduk-ngaduk isi tasnya.
Aku hanya bergeming sambil menunggu Halimah mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya.
“Oke deh mbak… ini berkas syarat-syarat pendaftaran presiden PPMI-nya, silahkan dipelajari. Mbak tenang aja! Untuk masalah taktis plus strategis, kita-kita yang pikirkan, mbak selesaikan yang teknis aja, dan kami pun akan membantu masalah teknis itu, pendukung mbak dari ikhwan sudah kita perkuat kok, tanggapan negatif dan antipati ternyata membuat lebih banyak yang simpati dengan kita, apalagi artikelnya Nana yang terbaru itu, kelihatan malah menguntungkan!” ujar halimah bersemangat.

“Hmm, bagaimana yah, gini ukhti… sepertinya aku ngak jadi nyalon deh…”
“Lho kok…? Kenapa?!”
“Karena… …sebenarnya banyak alasannya, tapi aku pikir mungkin karena sejak jaman dulu, konon laki-laki yang berburu, sedangkan para wanita cukup berjaga di gua…”
Halimah terkejut mendengar kata-kata filosofis terakhirku yang ganjil dan, aku tak peduli dia mengerti kata-kata itu atau tidak, sebelum dia menyelesaikan kebingungannya, mobil yang kutunggu untuk mengantarku ke Kota Ramsis sudah tiba. Kuacuhkan saja Halimah yang masih mematung.
Keputusanku untuk mundur dari pencalonan memang keputusan yang pahit, tak hanya bagiku, tapi bagi pendukungku seperti Halimah, tapi aku mulai menyukai keputusan pahit ini, layaknya wafidin yang baru menyukai lalapan asinan buah zaitun, yang disebut tursi.

Sambil menaiki bis, aku masih sempat berpesan ke Halimah yang masih melongo’,
“Okedeh Imah! Ma’assalamah ukhti yah…! Kalo’ ada yang mau gantikan posisiku, silahkan, tapi yang jelas, bukan aku… bukan Zaitun! Kalo anti mau, juga boleh! Sampaikan saja salam dan ma’afku untuk rekan-rekan yang lain yah!
“Tapi mbak…?!”
“… Imah… aku menunggu saja di gua dan biarlah mereka yang berburu!!!”
Aku merasa geli sendiri dengan kata-kata yang membuat halimah terdiam, kalimat itu adalah kalimat terakhir Nana padaku, sebelum kami berpisah di taman Al Azhar.
Mobil membawaku menjauhi Halimah, dari kejauhan, kulihat Halimah sepertinya berteriak memanggilku;
“Mbak Zaituuuun! Aku ikutan ke guaaa!”



Translasilasi;     
Tursi; asinan
wafidin: pelajar asing
ma’assalamah:  Assalamu’alaikum


Tidak ada komentar:

Posting Komentar