Tapak Kecil Yang Beranjak
Cerpen Purnama Hasido
“Dasar! Itu ide yang musykil.” kataku pada Rafiq,
“Musykil!” Itulah kata yang tepat untuk sahabatku ini.
“Ya, memang begitu sekenarionya.” pendek jawabnya, dan aku hanya bisa terpana memperhatikan langkah kakinya yang sibuk mondar-mandir, mencoba pakaian-pakaian terbaiknya, yang sebenarnya... semua kusam dan sudah lusuh.
Rafiq adalah orang yang bagiku cukup nyentrik, aku ingat betul waktu pertama akrab dengannya, saat itu Rafiq bermasalah di bandara Internasional Cairo. Tak tanggung-tanggung! Rafiq dicurigai sebagai teroris. Aku yang satu pesawat dengannya dan kebetulan dibawa oleh satu agen perjalanan yang sama… pun panik karena saat di Indonesia , sebagian barangku yang overweigh ada di tasnya, jadilah aku harus ikut dikarantina, dan Rafiq ditahan di kamar tertutup, enam jam lamanya.
Baru setelah pihak KBRI mengkorfirmasi bahwa Rafiq bukan teroris Filipina yang bernama Rifqi Mohammed—buronan dalam list merah di bandara Internasional seluruh dunia—Rafiq pun bebas kemudian. Kejadian itu membuatnya langsung terkenal, dan aku sebagai karibnya, sedikit banyak pun menumpang tenar.
Satu hal yang membuat Rafiq unik adalah karena rekor ‘kejadian dramatis’ yang menimpanya cenderung lebih intens dibanding orang lain, macam-macam dan aneh-aneh pula, penahanan di bandara itu adalah kejadian yang paling dramatis baginya, belum lagi fenomena langka, saat ia berhasil “menghadang” jalan seorang penjamret yang melarikan diri dengan skuter. Entah disebut sebagai jodoh, atau lebih tepatnya sebagai takdir, korban yang dijambret pengemudi skuter itu, tak lain adalah aku... secara tak sengaja, Rafiq telah menyelamatkan aku dari musibah kehilangan handphone.
Momentum patriotis dalam "kejadian skuter" membuat Rafiq makin naik daun dan terkenal, meski harus dibayarnya dengan masuk rumah sakit karena dihantam moncong skuter. Rafiq pun menggenapkan tiga julukan yang melekat padanya; Julukan pertama, Rafiq Skuter, kedua, Rafiq Teroris, dan julukan ketiga-nya tak lain dan tak bukan; ‘Teroris Skuter’.
Namun, di luar cerita-cerita luar biasa tadi, ada satu rahasia antara Rafiq dan aku, bahwa... pikiranku sering terbebani oleh penuturan Rafiq--yang tahun ini insya Allah akan lulus ini… Rafiq, pemuda relatif yang ‘kurang jelas pendiriannya’ ini hatinya gundah oleh satu sebab... yang sudah bosan kudengar, yakni; ingin menikahi seorang putri dari Lembah Nil lalu menggandeng sang putri, pulang ke tanah air.
Dia bersikeras untuk menikahi gadis Arab…
“Diterima maupun ditolak, gagal dan berhasil itu… semua relatif… hanya terpaut perbedaan pada persepsi saja... jika aku ditolak, bisa disebut sebagai tragedi dan ujian, namun juga bisa dikatakan sebagai pembelajaran dan pengalaman…” ujarnya, seolah sangat bijak.
Dia menggabungkan empat pasang kata yang kontradiktif tadi sebagai pembenaran atas rencananya, padahal sudah jama’ di sini, menikahi gadis setempat bukan perkara gampang, di belakang hingar-bingar pesta pengantin dan romantisasi tukar cincin, ada segepok modal besar yang konon kudengar nominalnya sekitar 80 - 90 juta (itupun minimal) harus tersedia sebagai ‘jaminan bagi pihak istri’. Uang sebanyak puluhan juta Itu pun bukan “tarif” standar gadis yang tinggal di kota Cairo dan sekitarnya, itu adalah mahar bagi gadis luar kota , puluhan juta itu cukup jika kau ingin meminang gadis pedesaan, pegunungan, atau mungkin gadis-gadis badui.
Uang hibah itu adalah mashlahat yang diutamakan bagi pihak istri, yang akan dibelikan properti permanen, rumah (flat apartemen) untuk berteduh dan beberapa sandang yang cukup memadai demi kelangsungan masa depan keluarga. Ketentuan ini dibuat pemerintah sejak beberapa dasawarsa lalu atas restu ulama-ulama Al Azhar yang membuat Undang-undang tak tertulis (fatwa) demikian. Ini hasil pembelajaran dari pengalaman buruk akibat bablasnya budaya patriakis di Gurun Sahara ini.
Tapi bagiku pribadi, masalah yang lebih besar dari apa yang dikalkulasikan dan diantisipasi Rafiq dengan rencananya, adalah masalah dari perbedaan adat dan kebiasaan yang akan berpengaruh pada perbedaan pola pikir dan kultur kehidupan sehari-hari. Bagiku, tidak mudahnya meng-Indonesiakan gadis Mesir adalah tantangan terbesar yang membuatku cepat-cepat mengurungkan interest untuk membuat keputusan seperti Rafiq. Menikahi gadis-gadis pembawa ras yang identik dengan hidung mancung dan alis lentik mungkin membawa kebahagiaan (dalam Perspektif umat dewasa kini), tapi di sisi lain, dengan konsekuensi-konsekuensi pertengkaran, perebutan bahasa dan budaya untuk anak, dan… perceraian. Maka tidak berlebihan jika rencana Rafiq nyaris seperti ‘klenik’ bagi kami, para pelajar dan mahasiswa Al Azhar di Mesir.
Tapi, Rafiq seolah memang ingin mengukuhkan sebutan ‘relatif’ yang lengket padanya, atau ingin merevolusi ‘alias’-nya selama ini (aku tak tau motivasi Rafiq sebenarnya). Rafiq, dengan percaya dirinya akan meruntuhkan klenik kami, dan siap menjalankan teknisnya, konon hal-hal teknis itu sudah disusunnya dalam sebuah “skenario” yang kembali... melibatkan aku.
Karena agak 'kesal' dengan ide cerdasnya, aku pun dalam batin menuduh Rafiq hanya ingin menikahi gadis Arab, gadis Cairo, dengan modal dengkul…!
Bulan lalu, ia sempat mengajakku ke provinsi pedalaman, saat itu tujuannya masih dirahasiakannya, memang sesekali kudegar ia bergurau dengan sahabat kami Abdullah Gawad di rumahnya, di mana kami menginap, Rafiq bergurau bahwa ia tertarik menikahi gadis Mesir, tapi, entah apa masukan Abdullah Gawwad padanya, setelah kembali ke Cairo, kulihat Rafiq beberapa hari menyendiri. Dan… setelah sholat shubuh hari ini, dia mengajakku ke pojok masjid. Curhat, katanya…
Setelah menarik napas agak panjang, Rafiq mengutarakan sekenarionya;
“Sudah biasa mencari gadis lembah Nil di pedesaan provinsi sebelah karena maharnya masih dapat "disesuaikan", lalu, bukan sedikit yang dapat menjalankan bahtera keluarganya dengan relatif baik... biar berbeda budaya, beda kebiasaan… Tapi bagaimanapun... kita pun tau, biarpun wanita itu orang Mesir, tapi dia tetap putri dari ayah dan ibu yang orang Mesir, mereka sebagai orang tua tidak akan biarkan anaknya "dibawa lari" begitu saja ke Indonesia... jadi bukan mudah menggandeng gadis Mesir pulang ke Indonesia, maka... mau tak mau khan... suami akan menetap di Mesir demi keutuhan keluarganya... bahagia... biarpun pasti dengan terpaksa... itulah mereka, bukan aku... padahal kau pun tau, aku harus membawa istriku ke Indonesia untuk kebahagiaanku, kebahagianku... aku ingin anak-anakku nanti bukanlah anak Mesir, tapi anak-anak Indonesia, biarpun ibunya orang Mesir…”
Aku diamkan saja, aku paham, kata-katanya tadi belum habis, dan kalimat panjang tadi, hanya pembukaan saja, kulihat, dia mulai mengadakan semacam pertimbangan-pertimbangan, yang membuatnya terlihat bimbang saat ini… hmm… kau akan menyerah kawan, bagaimanapun, akhirnya kau menyadari bahwa cita-citamu memang musykil, nyaris mustahil…
Rafiq melanjutkan… “Aku kurang tertarik dengan "sekenario" seperti itu, karena itu, aku perlu bantuanmu… temani aku berkunjung ke panti asuhan…”
Aku terkejut dengan kata-katanya yang terakhir...
Panti asuhan?!
“Panti asuhan?! Untuk?! ” belum hilang rasa heranku, sudah ditambah dengan dengan rencana aneh yang konon disebutnya sebagai suatu "sekenario".
“Ah kau, bukannya aku sudah pernah cerita kalau aku ingin menikah?! Aku akan dipertemukan dengan gadis itu, gadis yatim piatu di panti asuhan, insya Allah… dialah jodohku!”
“Waduh, masak sih, kamu bikin lucu aja…! Ha ha ha!”
“Tapi... ini benar Zak... aku serius, aku memang akan ke panti asuhan, menemui calon istriku.”
Aku benar-benar kaget, tapi masih mengesampingkan kabar itu, karena aku masih tidak mempercayai kata-kata Rafiq, konyol sekali kedengarannya, mencari istri warga Mesir, di panti asuhan?!
“Ya sudah, kapan mau ke panti asuhan?” kataku masih menahan geli.
“Habis Ashar, hari ini.”
“Yah?!”
“Yah, alamat panti asuhannya, di Ahmad Hilmi Tahrir… tidak jauh kan …? Memang, setelah aku pikirkan, tak perlu ke provinsi Tafahna atau Zagazig. Aku memilih skenario yang berbeda, untuk menikah dengan gadis Mesir.” ujarnya.
Aku mulai merasakan satu hal yang janggal, nampaknya, Rafiq serius, benar-benar sulit dipercaya!
“Hah?! Astaghfirullah, ada apa ini Fiq?! Kamu sudah persiapkan begitu matang rupanya? Sejak kapan?!”
“Tidak begitu lama, aku memang tidak mengajakmu, aku sudah antisifatif... kata-katamu sering buat aku kalah sebelum bertanding, ha ha ha! Aku rasa, inilah skenario Allah untukku, aku mendapat ide... semacam ilham... setelah shalat istikharah dan tirakat, berapa hari belakangan.”
“Fiq, ini serius…?” aku serasa sedang bermimpi mendapatkan kenyataan dari kenekadan sahabatku, dan kenekad-annya sudah membuatnya sampai ke proses ini.
“Sudah dengar kan sekenarionya...? Jalan ceritanya, Allah yang nentukan, sekenario ALlah...”
"Sekenarionya… sekenario-Nya…?”
Dalam benak, aku mengulangi kata-kata Rafiq berulang kali, tersenyum sendiri sambil geleng-geleng kepala.
Mencari jodoh di panti asuhan…? Luar biasa!
Aku menoleh pada Rafiq yang tersenyum, memperhatian Rafiq yang mondar-mandir mencoba pakaian sebelum berangkat... akupun memberinya tanggapan yang agak sarkastis tadi;
“Dasar! Itu ide yang musykil!”
***
Masih sulit kupercaya jika ini benar-benar terjadi di dunia nyata, tetapi bukankah telah banyak kisah nyata yang bahkan lebih menakjubkan daripada dongeng buatan manusia, maka, tak ada alasan untuk tidak mempercayai satu hal ajaib yang memang telah terjadi dengan sekonyong-konyong, pernah kudengar dongeng sepatu kaca dari ‘Barat’ hingga tentang terompah ajaib dari ‘Timur’, namun itu tak sebanding dengan legenda tentang bagaimana cerita ‘Tsabit dan sebiji Apel’ yang sangat romantis… aku juga telah mendengar dongeng petualangan ‘Mayat si Bongkok’ yang menakjubkan, hingga petualangan tentang gagahnya ‘Sinbadh Sang Pelaut’ dalam ‘Kisah Seribu Satu Malam’, namun dua dongeng ini tidak sebanding dengan cerita ‘Nabi Yusuf dan Zulaikha’ yang manis dan magis. Dan, Rafiq kawanku telah membuat legendanya sendiri, legenda dari kehidupan sehari-hari yang menakjubkan namun dapat kusejajarkan dengan dongeng-dongeng tadi, meskipun harus dengan segudang kebingungan untuk mempercayainya.
Masih segar di ingatan saat aku dan Rafiq berkeringat di bawah panas terik berkunjung ke panti asuhan, Kuingat betul saat kami berkenalan dengan seorang calon yang ditawarkan pada Rafiq. Tidak bisa kubayangkan bagaimana gigihnya sahabatku itu meyakinkan tentang kuatnya izzah untuk membina rumah tangga yang ‘mawaddah wa rahmah’ pada pengurus panti, bahkan hingga sekitar dua bulan lamanya, hampir tiap seminggu sekali dia mengunjungi panti asuhan itu, untuk berbagi… kadang bersamaku, kadang sendiri.
Dan kini, kulihat di depan mataku, Rafiq sedang meraih kebahagiaan yang lain, inilah dongeng tentang Rafiq dan gadis lembah Nil. Benar benar seperti garam di laut dan asam di gunung yang dipertemukan dalam seperiuk gulai… di pesta pernikahan ini.
Zaghrudah yang merupakan siulan khas wanita mesir dalam pesta pernikahan terdengar bersahut-sahutan, meski awalnya hanya akan di-setting sederhana, ternyata cukup meriah acaranya, ibu-ibu di Mesir tak tahan bila tak ramai bersiul di hari pernikahan… dan itu menjadikan acara ini meriah (lebih tepatnya ribut). Tapi yang unik adalah karena acaranya benar-benar perpaduan antara dua budaya, tadi aku saksikan rampak gendang yang dibunyikan oleh salah satu grup rebana dan nasyid melayu yang membawa kenangan pada kampung halaman, dan kini aku sedang mendengarkan tepukan tangan dengan perpaduan ritme irama nada sahara dan nada gambus melayu. Tapi aku kemudian dengan setengah hati dan kurang rela untuk membuang muka ketika beberapa harim rekan-rekan mempelai wanita mulai bergoyang bersama rampak gendang dan rebana. Duh!
Aku pun baru sadar telah lelah sekali, Rafiq terlalu banyak memberikan kepercayaannya padaku dalam urusan pernikahannya ini. Tanpa sadar, aku terlalu lama berdiri, dan sambil duduk, dari kejauhan aku mengamati dua pegantin itu bersanding, tiba-tiba muncul rasa kesepian dalam diri ini… bahkan terbersit perasaan, bahwa aku menyesal telah meremehkan skenario yang dilakoni Rafiq.
Mengapa aku tidak ikut saja sekenario itu, nampaknya menarik…
Hingga kemudian, seorang bapak, orang Mesir yang juga seorang tamu udangan, duduk menghampiriku.
“Zaki Anas… idzayyak?” ia menyalamiku.
“Alhamdulillah, wa inta amil eh (baik jugakah?)” setengah kaget aku merespon bapak yang menyonsongku, aku agak lama mengingat-ngingat orang yang seolah sudah mengenalku, bahkan hafal nama lengkapku.
“Alhamdulillah, akupun baik… lupa ya? Saya Ragab, Mohammed Ragab… masih lupa atau sudah ingat?” ujarnya, ramah.
“Oooh! Sayyid Ragab! Iya aku baru ingat! Kita pernah ketemu di panti beberapa waktu lalu. Bagaimana kabarnya Tuan?”
Aku baru ingat bahwa Tuan Ragab adalah adalah seorang donatur tetap di Panti di Qasr Aini, yang kebetulan pernah beberapa kali berpapasan dan mengobrol dengan kami.
“Alhamdululillah, baik, Iya… betul, kita pun ketemu waktu kau dengan Rafiq datang ke panti, alfu mubarak buat sahabatmu…” Ujar Tuan Ragab masih dengan senyum lebar.
“Iya, alhamdulillah, semua tak lain karena karunia Allah semata, senang bertemu dengan Anda lagi di sini…” ujarku… “Datang sendirian?”
“Ooh, tidak, aku bersama anakku, itu dia… Nagwa.”
“Ooh, begitu, ahlan wa sahlan untuk kalian berdua…” aku melirik gadis yang ditunjuk bapak itu, hampir saja aku menanyakan tentang istri dan anggota keluarganya yang lain, kalau tidak aku ingat bahwa dia tidak punya siapa-siapa lagi selain putri semata wayangnya, Tuan Ragab adalah duda yang sangat mencintai putri tunggalnya.
“Hei, Anas…” ujar Ragab kemudian, menepuk lenganku halus…
“Ya?”
“Temanmu sudah menikah, dan kau belum kan ?”
“Iya,aku juga turut bahagia dengan kebahagiaannya, insya Allah, jika sudah ada tumpuan rizki, barulah aku akan menikah, saat pulang kampung nanti.” Ujarku.
“Hmm, mengapa harus menunggu jika sudah ada niat?” tanyanya kemudian.
“Bukan menunggu, hanya sedikit menunda saja, aku kira, masih banyak yang perlu dipersiapkan sebelum segala sesuatunya diputuskan… bukankan begitu, Tuan Ragab?”
“Ya, ya, aku mengerti, tapi, Anas, kenapa kau tak tertarik menikah dengan gadis asli Mesir, seperti temanmu itu?!”
“Ha ha ha…!” tawaku terlepas.
“Hei, mengapa tertawa?” ujar Ragab, tertawa kecil.
“Aku bukan orang Mesir.”
“Temanmu juga bukan orang Mesir, tapi dia menikah dengan gadis Mesir. Apa memang kau tidak tertarik?”
“Tidak gampang bagiku untuk mendapat gadis Nil, mereka sangat berharga. Sepertinya tidak mungkin...” Aku bilang begitu karena teringat dengan konsekuensi biaya syarat pernikahan.
“Wah, mengapa tidak mungkin? Sangat mungkin! Lihat temanmu! Tapi, tidak siap bukan berarti kau tidak ingin, benar kan ?” kata Ragab sambil memegang tanganku, menggoda, tapi wajahnya berubah serius.
“Ya Rabb! tak perlulah aku berkhayal, mana ada yang tertarik dengan laki-laki sekecil aku, dan hidungku… bagi kalian, mungkin adalah masalah.” ujarku, disambut tawa Ragab.
Lalu, obrolan kami terhenti saat karena kehebohan yang muncul tiba-tiba dalam acara itu. Rafiq digoda oleh beberapa undangan pernikahan untuk menari, dan kamipun menertawakannya. Menertawakan muka Rafiq yang memerah.
“Anas…” Ujar ragab kemudian setelah kelihatannya hendak pamit padaku.
“Ya?”
“Ini kartu namaku, Datanglah ke rumahku, atau kapan-kapan, hubungi aku.”
“Oh, iya, terimakasih.”
“Ini serius! Datanglah ke rumahku… oke…!”
“Insya Allah…” aku mengamati kartu nama yang berisi nomor telepon mister Ragab, kartu nama yang berlogo Enppi, nama perusahaan yang sangat kukenal, aku sering melewati kantor pusat perusahaan minyak terbesar itu, setiap aku pergi kuliah.
“Anas, bagaimana menurutmu… Nagwa putriku?” ujar Tuan Ragab kemudian, agak kaget dibuatnya, belum sempat aku berkata apa-apa, Ragab sudah melanjutkan kata-katanya lagi, “Yang penting, azzam… datanglah ke rumahku…!”
“Hah…?!”
“Assalamu’alaikum…”
“Waaalaikumsalam warahmatullah…” Aku tak bisa lagi mengucapkan “sampai jumpa”. Semua terasa terlalu cepat, aku hanya mampu menunggui punggungg Ragab dan putrinya menghilang dari pandangan, lalu tersentak lagi oleh keramaian pesta pernikahan.
***
“Bagaimana mungkin…?” Rafiq masih memandangiku dengan pandangan yang penuh arti.
“Itulah, akupun sampai sekarang sulit untuk percaya.”
“Ragab itu salah satu dewan direksi di Enppi, sedang kau…?”
“Ya, aku tak lain hanya alumni Al Azhar dan masih berstatus pengangguran, tapi… begitulah kenyataannya, akupun tak menyangka bahwa anaknya Nagwa bisa menerima rencana ayahnya.”
“Sulit dipercaya, ini… ah, ini tidak mungkin…” Rafiq seperti meratapi diri sendiri.
“Oh… iya, Fiq… gimana persiapan kepulangan kalian?”
“Insya Allah, kalau tak ada kendala apa-apa, tinggal dua minggu lagi aku di sini…”
“Itulah hebatnya skenario yang kau buat dulu, dengan menikahi anak yatim piatu, kau bisa menekan "tuntutan" dan dapat menggandeng istrimu dengan mudah ke kampung halaman, tak ada yang menahan atau melarang, dan... dua minggu lagi, Zahra resmi menjadi orang Indonesia.” Ujarku ditaggapi Rafiq dengan senyuman tersipu.
“Ah, Nas, sejak kami menikah, dia sudah kujadikan orang Pekalongan.”
Kamipun tergelitik,
“Oh, ya Nas, masalah tadi itu…?”
“Entahlah…”
“Bingung…? Karena maharnya…?”
“Itulah... aku belum ceritakan hal ini... sulit menolak tawaran mister Ragab, dia kelihatannya orang IM, kau tau kan ? Ikhwan simpatisan di IM konon mengabaikan ‘urf yang mengatur mahar!”
“Wah!” Rafiq terkaget-kaget, dan kata-kataku kemudian pasti akan membuatnya lebih kaget lagi.
“Tawaran mister Ragab, memang akan terkesan sombong jika ditolak, Mister Ragab meyakinkanku bahwa dia lebih menghargai tiga puluh juz hafalan Al Qur’an-ku dan “Al Azhar”-ku, semuanya "ditawar" dengan tawaran yng mungkin bagi kita kurang masuk di akal, karena kita terbiasa dengan tawaran materialistis... Nagwa adalah tawaran tertinggi mister Ragab, belum lagi janjinya bagi biaya pernikahan yang bersedia ditanggungnya, segala perkara duniawi termasuk rumah, ongkos pulang pergi Indonesia Mesir bahkan tidak lebih berharga daripada ilmuku dan kepercayaannya padaku, jika pun aku ingin lanjut S2, dia pun siap membiayai! Mister Ragab ingin membuka bisnis di Indonesia, menurutnya, Mesir ke depannya tak bisa banyak diharapkan, pemerintahan yang otoriter dan penuh nepotisme membuat masa depan anaknya makin dikhawatirkannya, bapak tua yang kesepian itu paham betul, sebagai simpatisan oposisi, suatu waktu, kejadian buruk bisa saja menimpa keluarga malang itu… Mungkin dengan membuka usaha di Indonesia , besamaku, dia berharap bisa memulai hidup baru… dan tentu saja tawaran Mister Ragab padaku... karena melihatmu.”
Rafiq hanya terpana demi mendengar ini.
“Begitulah sekenarionya, kawan... sekenario ini menunjukkan, aku bisa sepertimu yang dengan mudah menikahi Nagwa tanpa beban biaya dan masalah, aku dapat meraih kebahagiaan tertinggi dengan gadis lembah Nil sepertimu...” Ujarku sambil menepuk pundaknya.
Rafiq kemudian, hanya menatapku dengan pandangan tidak percaya, “Tapi… mengapa…?” ujarnya lesu... menggaruk kepalanya.
“Ya, begitulah… bagitulah sekenarionya, tapi bagaimanapun, aku tak sebaik kau sebagai pemeran utama, aku tidak bisa mengikuti sekenario ini, tidak bisa mengikuti teknisnya, itulah alasan mengapa aku menolak tawaran tuan Ragab.” Ujarku.
Kamipun lalu membisu menatap senja sore itu sambil menunggui dua gelas teh hangat di Café Gabal Muqattam... dengan kemelut di hati masing-masing. Aku menunggui surutnya senja dengan keharuan yang sangat, karena senja ini adalah senja terakhirku di Cairo . Adzan maghrib yang akan kami sambut, adalah adzan maghrib terakhir yang akan kudengar di Mesir.
Esok, aku kembali ke Indonesia … sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar