Hidayah Untuk Semua


Cerpen Purnama Hasido

Aku tidak terkenal, juga bukan termasuk koperboi (artis sampul), maka… jangankan majalah atau koran lokal sekalipun, penerbit buku catatan hutang-piutang-pun tak kan sudi untuk memuat fotoku di sampulnya.
Tapi… Saudara-saudara… mungkin, seperti Anda, yang merasa belum menemukan jati diri Anda sebenarnya dan masih penasaran pada puncak kreatifitas Anda yang bisa dioptimalkan… aku pun begitu… merasa punya potensi untuk terkenal, yaa... perasaan bahwa aku ber-HAM menjadi seleb, koperboi (coverboy maksudnya) atau politikus githu… aku masih penasaran tentang puncak kreatifitas-ku, yang mungkin… bagi ‘orang kebanyakan’ disebut ‘kesuksesan’. Tapi mungkin—masih—seperti Anda, aku belum mengambil hak itu…
Mungkin benar kata kawan-kawanku, PeDe ku sudah lewat ambang batas... Sugeng sahabat karibku, menyebutnya sebagai ‘krisis tawadhu’.
Bagaimanapun juga, kenyataannya… puncak kreatifitasku saat ini adalah… aku ditunjuk kawan-kawanku menjabat ketua Rohis…
Wess!
Di luar dugaan bukan?!
Aku pun berani jamin, ahli ramalan cuaca dan perbintangan di Bosscha takkan sampai berespektasi… bahwa seorang Junaidi bisa menjadi ketua Rohis di satu masa di masa mudanya. Aku pun bertanya sendri, bisa-bisanya Junaedi ‘Al Mizahy’ terpilih menjadi seorang ketua Rohis?!
Apa pantas?
Kok bisa?
Ngak ada yang lain?
Dan bermacam pertanyaan lain… :-D
Bagaimanapun… pantas-pantas saja, aku dan ikhwan-ikhwan kerabatku di Rohis di sini memang agak di bawah standar satu atau dua strata kesholehan”. Sebagian ekstrimis, menganggap kami kurang ‘sufi’. Bahkan terkadang terkesan kalau kami bukan aktifis Rohis. Mungkin karena suasana kampus kami yang kurang punya SDM ideal sedemikian.
Padahal universitas kami adalah Universitas Islam. Islam Negri lagi! Memang agak aneh, ternyata cenderung sulit mencari sosok ‘alim’ di sini.
Meski begitu, kami, anggota Rohis, bukan tak punya prinsip. Kami punya ‘urf alias undang-undang tak tertulis;
“Asal ibadahnya tegak, maksiat no way, oke-oke sajalah’, ya nggak ...?!”
(Yaa... sajalah).
Tapi, bagaimana menafsirkan “maksiat” yang dimaksud?! Bagaimana mendefenisikan “no way” yang disebut tadi? Serta, bagaimana menempatkan istilah “ibadah yang tegak” tadi dalam tataran epistemologis…? Hmmm… tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…
***
Seperti biasa, habis Dhuha pagi ini, aku berbagi cerita dengan sohib dekatku Sugeng, sang sekretaris Rohis… di mushola kampus.
“Aku ada rencana nih Geng, gimana kalau dalam waktu dekat ini, kita adakan tahajjud bareng?!”
“Tahajjud bareng... ?! Ha ha ha! Baru dengar tuh Jun! Kayaknya seru!”
"Baru dengar kan, begini format acaranya, tengah malam kita bangun, terus sholat tahajjud sendiri-sendiri, selesai tahajjud kita kumpul, ada acara makan-makan… Nah! Makan-makannya yang bareng-bareng, selesai makan kita bisa ngobrol apa saja, unek-unek, curhat, atau pingin latihan ngomong aja, bareng-bareng!
“Ck… ck… Itu sih sama aja dengan kendurian tengah malam Jun!”
“Nggak, dong… ini ada tahajjudnya, nama acaranya ‘tahajjud bareng’, tahajjudnya sendiri-sendiri, makan-makannya yang bareng-bareng…”
“Boleh juga, tapi gimana teknisnya? Kita kita ngak pernah kepikir ada acara makan-makan bareng tengah malam begitu, aku biasanya inspeksi ke dapur sendirian, jam-jam segitu…”
“Dasar kamu… santai aja… aku udah pengalaman untuk acara beginian Geng, waktu lagi di pesantren dulu, kami sering ngadain, kumpul-kumpul duit buat beli mie, terus cari ember… sediakan air panas untuk mi… lalu sekalian buat minumannya, ada juga yang kebagian tugas khusus ‘minta’ cabe dari simpanan dapur umum pesantren… ada juga yang cari gantungan baju untuk ngaduk-ngaduk makanan sama minumannya, karena ngak ada sendok, ha ha ha!” Selorohku. Aku senang membuat Sugeng heran dengan ceritaku di pesantren, entah apa yang akan dipikirkannya, kalau kutambah dramatisasinya, aku akan cukup senang membuat Sugeng sampai muntah… :-D
“Luar biasa Jun!” Sugeng menatap takjub.
“Luar biasa khan? Biasanya pagi-pagi kami rame-rame nyerbu toilet, cabe campuran sambal mi di perut mulai bereaksi… ada yang lebih seru lagi! Mau tau?!”
“Bukan ceritamu yang luar biasa Jun…”
Aku melihat ada yang membias di mata Sugeng…
Seperti mata buaya…?!
“Luar biasa apanya dong, Geng?!”
“Itu Jun…” Sugeng menunjuk arah belakang punggungku dan kulihat…
Entah itu manusia ‘aseli’ atau jadi-jadian! Sepagi ini aku mendapat sebuah karunia yang aneh…?! Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan cewek secantik itu…!
Aku cepat berpaling lagi ke Sugeng… karena…
Melihat yang terlalu memukau pagi-pagi kurang baik untuk kesehatan… jiwa kita belum begitu siap, raga pun belum cukup sigap, perlu kalori yang mencukupi untuk retina mata agar benar-benar dapat fokus memandang yang ‘engak-engak…’
Halah!
“Sugeng sahabatku…!!! Siapakah gadis yang telah mendapatkan salah satu keajaiban penciptaan seindah itu?!”
“Dan kamu menjadi seaneh ini?!” Wajah Sugeng menjadi kurang bersahabat…
“Geng…!” @_@
Sugeng mengguncang bahuku…
“Eh Jun, kamu baru kenal Nesha kan…?! Lupa yah, dia tu mantan artis beken jaman kita masih puber dulu! Nesha Bintang Kejora, dengan lagu Bintang Bundar yang Box Office itu…!”
Aku mendengar kejanggalan pada akhir penjelasan Sugeng…
“Ya… ya Geng! Aku kenal! Waah, sudah berubah yah…!”
“Ya tentu saja, cuma kamu yang mengalami perubahan seminimum ini…” Sugeng tertawa, merasa pintar…
“Itu Nesha Geng?! The Amazing Talented Pop Star?! Kok bisa kuliah di sini?”
“Kamu kan pulang kampung kemaren, makanya telat tau kalo Nesha sudah bikin geger kampus kita…” Sugeng semakin meremehkan keherananku “Aduh Junaidi my brader! Apa kata dunia kalo tau ternyata ketua Rohis mendadak linglung cuma karna liat cewek kinclong pagi-pagi?! Insyaf Jun…!” Sugeng mengguncang-guncang bahuku lagi
“Sugeng! Pinjam pulpen!”
“Hah?! For what?!”
“Tanda tangan, aku fans-nyah!!!”
“Tanda tangan?! Astaghfirullah akhiii! Udah tua! Udah ngak jamannya lagi pake minta tanda tangan segala! Kau sudah lumutan! Karatan! Karbh… “ kalimat dari Sugeng terhenti…
Eh Jun! Ssttt! Lihat tu, Nesha ngelihat ke kita! Dia ke sini!” Sugeng mendadak tegang.
“Yang bener kamu Geng?! Di… dia ke sini?!”
Celakamalakabama!
Nesha menuju ke arah kami.
***
“Maaf, Mas Junaidi, ketua Rohis?”
“I… iyah, ada apa yah dek… ada yang bisa di… tanda… bantu…?”
“Saya Nesha, tertarik untuk jadi anggotanya Rohis mas Jun… bisa?”
“Oooh… gitu… ya… yah, bole… bole…”
“Mas Junaedi sakit?”
“Ehek… ngak, sehat… alhamdulillah… emang kenapa yah?”
“Pagi-pagi kok keringetan…?”
“Bi… biasa… ke sininya sambil joging dek, biar sehat…he he…”
“Sambil joging, apa habis joging ngak mandi, Jun?” Sugeng melirik nakal…
Nesha tersenyum,
Sejak subuh tadi… untuk pertama kalinya aku melihat senyum terindah…
“Tadi… syaratnya apa?”
“Syarat? Syarat apa? Ngak! Ngak pake syarat! Saya ekhlas kok!”
Aduh!
“He he he… maksud Nesha, syarat untuk jadi anggota Rohis… apa syaratnya?”
“Ooo… Nesha ber-KTP Islam saja sudah cukup, dan… pastinya berjilbab juga dong sama kayak mbak-mbak Rohis yang lain, sholat tepat waktu mesti jalan, ngak terlalu banyak makan… sehat… bersyukur… alim…”
“Sudah Jun… sudah! Jangan buat dia bingung, gini aja… Nesha datang aja besok lusa ke musholla kampus habis Ashar, di sana ada bimbingan bareng akhwat-ahkwat lain yah…” Sugeng sok bijak… membuatnya terlihat lebih prima dariku…
“Ehm… satu lagi, Nesha…”
“Apa tuh mas Jun?”
“Bukan kawat yah… tapi akhwat!
“Akh… wat…. He he he… Oke deh mas Junaidi, makasih yah, assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah…”
Nesha pun berlalu, dan aku tau… bukan hanya aku, Sugeng pun seolah masih belum puas berkelakar dengan Nesha.
“Gila Geng! Tu cewek bisa bikin dehidrasi! Cadangan keringatku habis!
“Dasar pria! Gitu aja udah kegeeran, malu-maluin sekretaris Rohis aja!”
“Fyuh… eh habis ini ke Pak Qomar yah…”
“Kenapa? Asam uratmu kambuh lagi?”
“Ngak, mau pijit aja, ngak tau yah geng, habis disamperin tadi, urat jantungku rasanya jadi agak kendor ya?
“Ha ha ha! Juuun… Jun… ada-ada aja kamu! Hmmm… aku juga ikutan dipijit yah… upah nemenin bayarin aku…”
Dasar Sugeng!
***
Aku harus memasang poster ini sebelum kepergok Sugeng… poster Nesha Sang Idola Cilik yang ‘manis binti imut’ ini… oooh! Siapa sangka?! Aku bisa ngobrol dengan seorang mantan bintang, Ngak! Ngak! Nesha bukan mantan! Sampe sekarang Nesha masih menjadi bintang di hatiku! Ha ha ha! Gileee pokoknya… ha ha ha!
Dan!!!
Kepala Sugeng menyembul dari balik pintu yang lupa kukunci, mirip persis bekicot keluar dari cangkang!
Seratus persen aku kaget!
“Apaan tuh, Jun?!”
“Poster…!
Aku sudah berusaha menyembunyikan gambar di poster itu, tapi sayang Sugeng terlanjur tau…
Aih! Lama-lama dia juga bakal tau poster ini, tak ada gunanya lagi disembunyikan… tapi, rasa kaget tadi, membuatku memang sangat ingin menjitaknya…!
Poster Nesha?! Buat apa?!”
“Hiasan dinding aja… yaa… sekalian buat nostalgia masa-masa puber kita dulu!
“Jun... kamu kan pernah bilang ngak boleh fanatik sama sesuatu… atau sama sesorang… bisa-bisa kejebak syirik! Dan kalau saudah fanatik bisa buat kita jadi bersikap anarkis…”
Sugeng serius sekarang.
“Yaa…! Tergantung niatnya juga lah Geng… kalok nggak ada niat fanatik apa dosanya?! Kalau hanya sebagai hiasan, sekalian untuk mengingat dan mensyukuri keindahan yang diciptakan Allah, bukannya itu malah positif?!”
“Pintar kamu ngomong Jun! mentang-mentang anak pondok. Oke… ku ngalah deh... eh aku ke sini Cuma mau ngingatin… lusa kamu yang ngisi tausiyah diniyah.”
“Ya... ya... pasti ingat.”
“Jangan lupa minum antimo!
“Buat apa? Acaranya di kapal pesiar, apa?”
“Kan kamu orangnya agak demam panggung, khawatir aja lihat Nesha bisa mabuk kepayang… ha ha ha!”
“Don't worry sugeng! Aku udah terlalu berpengalaman dalam hal ini, terima kasih nasehatnya akhi…”
“Terserah deh, sudah ya, asssalamu’alaikum.”
“wa’alaikum salam…”
***
Acara tausiyah diniah olehku…
Rupanya banyak yang hadir... wah, tumben rame?!
“Aduh Geng, gimana nich ya? Aku belum sarapan! Pagi tadi cuma sempat ngemil permen sebiji, jadi ngak fit banget, gantiin dong!”
“Dicoba dulu, jangan aku, aku juga ngak ada persiapan…”
“Uih Geng…!”
Pemandu acara memulai.
“Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, Segala puji dan syukur kita panjatkan…
… baiklah ikhwan akhwat rahimakumullah… mari kita dengarkan bersama taujihat dari ikhwan kita Junaidi Rajab Alim Kusmoyo Soleh Subekti…”
Wew… sudah hafal nama lengkapku?
Aku pun memulai…
Assalamualaikum warahtmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah… bla ... bla ... bla ... dan bla ... bla ... bla ... serta bla ... bla ... bla...
… jadi dalam mengatur waktu… seorang muslim harus bisa… untuk…”
Hah?! Nasha datang!
seorang muslim harus bisa... untuk… datang …! Okh!”
“Kamu kenapa Jun?” Bisik sugeng…
“Maaf, maaf… maksud saya, seorang muslim harus menyadari kalau… kalau…”
Dia tersenyum padaku!
“… … kalau… aduuuhh...!”
G#...!
Bisik-bisik mulai terdengar dan hadirin membuat keributan yang semakin menderu-deru di telinga…
“Tenang! Tenang! Ikhwan dan akhwat diharap tenang…! Akhi Junaidi, silahkah diteruskan…” Moderat mulai kelihatan panik.
“Ba ... baik terimakasih saudara eM Ce… ”
Aduh!
…aku lupa daIilnya?!
“Jun… kamu kok pucat…?” bisikan Sugeng kembali membuyarkan konsentrasi…
Riuh suara orang-orang semakin kedengaran memudar...
“Saya lanjutkan…”
Perlahan tapi pasti, sekujur tubuhku semakin basah… dan suaraku lambat laun seolah membumbung tinggi entah ke mana…
Kepalaku pusing sekali…
Tempat ini pun seperti mati lampu…
Dan berputar-putar…
“Jun! Jun kamu kenaph... …?!”
***
“AlhamdulilIah… akhi Junaidi sudah sadar...”
Di, di mana ini... ramai sekali?
Ternyata di kamarku sendiri.
“Apa kubilang Jun. Semaput juga rupanya kau, ha ha ha!”
“Sstt...!”
Orang-orang menatap Sugeng dengan wajah kesal.
“Mas Junaedi fans saya waktu masih ABG ya?”
Suara Nesha?!
“Udah gede juga sama…” kudengar komentar Sugeng, bikin kesal saja, sedang beberapa orang lain masih berbisik memandangi poster di dinding.
“I, iya… iya… lagu kamu bagus…”
Kulihat Nesha hanya tersenyum … aduh malu dan memalukan!
“Nanti mas… silaturahmi ya ke rumah... mau?”
“Ke rumahmu?”
“Ini alamatku, nanti sekalian ketemu mama dan papa Nesha… ada yang mau Nesha obrolin.”
Nesha meletakkan kartu namanya di atas meja belajarku. Selanjutnya wajah Nesha mundur ke belakang berganti wajah menyerupai permukaan bulan... wajah Sugeng yang berkawah dan berbukit-bukit karena acne syndrom. Akupun rasanya ingin semaput lagi…
Satu demi satu, beberapa rekan temanku di Rohis pulang. Tinggal beberapa ikhwan yang juga bersiap-siap untuk pulang.
“Kelihatannya al akh Junaidi ini perlu istirahat, kita pamit dulu ya...”
“Ya... terima kasih banyak yah.”
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wa barakatuh…”
Dan kini tinggal aku, Sugeng dan kartu nama Nesha yang semakin dingin…
(kayak bolu kukus aja ada anget ada dingin, he he…)
“Payah kamu Geng! Bikin malu aja…! Ngurus orang semaput pakai ngundang-ngundang orang sekampung…!”
“Siapa yang ngundang Jun?! Mereka datang sendiri kok, kamu ‘kan terkenal, seperti yang kamu percaya…”
“Iya sih, aku emang terkenal, tapi tetep aja, payah kamu Geng…!”
“Payah kenapa Jun...?”
“Ketahuan deh, kalau aku pasang poster Nesha, ketahuan sama Nesha lagi, duh malu-maluin…“
“Loh apa urusannya denganku?”
“Kamu nggak tanggap, ya copot dulu posterya!”
“Mana sempat Jun, semua juga panik, kamu pake pingsan di mushola segala, apalagi, jangankan nyopot, baru megang poster itu saja, kamu pasti histeris, apalagi nyopot… bisa-bisa kita ribut!
“Ya sih, tapi seharusnya tahu sikon Geng, Es…. I… kooon! Kamu kan cerdas!” Aku sudah terbiasa memuji Sugeng seperti Sugeng terlalu biasa memujiku, tapi masing-masing dari kami tau bahwa pujian kami ucapkan hanya seperti kentut saja, nothing personal”.
“Dari pada marah-marah, lebih baik kita makan nasgor, aku beli dua tadi, masih hangat!”
“Loh tumben...? Baik sekali mau nraktir aku, ngomong-ngomong kamu baru dapat suntikan dana dan rumah ya...?”
“Dari celenganmu Jun, ternyata uangnya logam semua, ha ha!”
Hah?! Tabunganku sepanjang musim kemarau?!
***
“Ooo, jadi, Mas Junaedi ingat masa puber kita waktu ketemu saya?”
“Iyah, dulu kamu lucu.”
“Sekarang gimana?”
“Sekarang kamu… (kata hatiku; cantik sekali) udah ngak lucu… (:-p)”
Waktu, membawa hidup kita pelan-pelan berubah ya...” Nesha berubah murung.
Aku tidak melihat Nesha tertarik dengan lelucon yang kubuat, matanya berubah sayu…
Astaghfirullah… kenapa aku mandangin matanya… therla… lu!
“Menurut mas Jun, perubahan hidup itu seperti apa?”
“Hem… (kata hatiku; aku harus punya opini cerdas untuk pertanyaan ini…) menurutku sih, kita harus selalu ada kesiapan dalam hidup, hidup yang seperti musim yang ekstrim, kadang dingin, kadang panas, nggak ada angin sepoi-sepoi, suhunya kadang 100 derajat celcius, kadang juga lebih, terlalu cerah...”
“Hah?! Musim apaan tuh?”
“Prakiraan cuaca di bulan… ha ha ha!”
Kembali, Nesha tidak begitu antusias dengan lawakanku… dia hanya tersenyum tawar, setawar air danau maninjau…
Sepertinya ini lawakan terakhirku… aku tidak lucu di depan Nesha, di matanya, mungkin aku terkesan ganteng, atau cenderung berwibawa daripada lucu
“Oh ya, katanya kemaren…? Kita ngobrol sama papa dan mamamu… Papa mama-mu mana…?”
“Tau'! Mungkin sibuk dadakan lagi... padahal papa mama udah janji… kayaknya keluargaku bikin rumah gede-gede cuma untuk keluar masuk aja, di sini lebih sering kosong…”
“Kesepian…?”
“Lumayan, mendingan sih kalo ada kak Brian yang pulang sekali-kali, tapi kak Brian juga ngak tahan di rumah, lebih milih nge-kos. Di sini juga ada tiga pembantu, satu sopir… tapi kalo rumah kosong begini, mereka keluar, paling jalan jalan ke mall.”
“Berarti temanmu cuma kucing ini?”
“Ya… he he… Nashin temenku yang paling baik…” Nesha tersenyum sambil melirik kucing hamil tua yang tidur-tiduran di atas lantai…
Aha! Aku buat Nesha tersenyum!
Cukup lama kami berbasa basi, lama-kelamaan, Nesha mengakui juga bahwa aku cukup asik diajak berbincang…
Jadi begitulah mas Jun… papa mamaku tetap kurang setuju aku pake jilbab… makanya aku undang mas Junaidi untuk ketemu ortuku, mungkin bisa kasih pencerahan, eeh, ternyata mereka ngak dateng, jadi sia-sia deh mas Junaidi ke sini…” curhat Nesha.
Mendengar itu, semangat da'wahku yang sudah nyaris hanyut, muncul tiba-tiba, panjang, lebar dan luas sekalian kubeberkan puluhan dalil dan solusi pada masalah Nesha, yang pada akhirnya aku mulai bingung ketika arah pembicaraanku sudah berbelok jauh ke kisah penambangan batu bara di kampungku
Lho?!
“Kok, jadi ke batu bara yah…? Intinya gini aja ya… Nesha harus bisa memahamkan bahwa jilbab itu wajib hukumnya, kepada papa dan mama Nesha… okeh.”
“Sulit sih, Nesha juga ngak begitu hafal dalil kayak mas Junaidi, tapi akan Nesha usahakan deh…”
“Juga jangan lupa do'a, agar hidayah itu cepat datang kepada mama dan papamu…”
“Makasih atas nasehatnya mas...”
“Eh, jangan pake terima kasih, kewajiban sesama muslim itu untuk saling menasehati, saling tolong-menolong... ehm… mungkin aku mau pamit dulu ya... sudah hampir maghrib nih. Wah, sudah merepotkan, pake dibungkusin nasi segala…”
Padahal aku yang minta makanan itu dibungkus… karena aku menolak untuk makan malam di rumanya, dibungkus… biar lebih banyak makannya dan makan lebih leluasa…
(:-P)
“Ah, tidak apa-apa paling besok-besok bikin repot lagi... asal jangan tiap hari aja…” canda Nesha
Aku hanya tersenyum, malu-malu badak…
Wah, ada indikasi besok-besoknya bakal diundang lagi nih…
***
“Ane dengar… ente lumayan akrab sama Nesha… sedekat apa ente sama Nesha...? Kok bisa sering ke rumahnya…?”
Hanafi ‘Ane Ente’ (begitu aku dan Sugeng menginisial ikhwan ini…) sedang menginterogasiku penuh selidik.
“Aku takut, jangan-jangan...” Sugeng ikut ikutan pasang wajah serius… melihat wajah Sugeng begitu, rasanya ingin ketawa saja...
“Pasti ada afa-afanya inih.” Sambung Hanafi…
Tuuh kan, su’udzon, kamu sih Han, punya informan yang pinteran dikit lah, minimal bisa ngitung, aku baru dua kali ke sana aja dibilang sering…” Aku tau, Sugeng kena batunya kali ini… karena intel Hanafi tak lain adalah Sugeng…
“Wah Jun, kamu meremehkan pilihan Saudara Hanafi yang qualified?” Sugeng angkat suara.
Benar kan…? Sugeng…
“Ini masalah serius Jun, kamu harus hati-hati.”
“Ente bisa bikin heboh fenduduk sini…”
“Karena kamu ketua Rohis… kamu bawa nama organisasi… nama kampus juga…”
“Ente adalah qudwah! Bisa jadi itu qudwah hasanah tafi bisa juga syayyi’ah.”
Hanafi dan Sugeng mendesakku bergantian.
“Emangnya kenapa? Han Geng…! dia kan saudara kita juga… yah, maksudku saudari lah, aku ke sana juga sebenarnya untuk ketemu ortunya, Sugeng juga tau itu kok, aku juga ngak punya niat…. maksudku nggak ada rencana bagus mengambil hati Nesha…”
Aku lanjutkan dengan argumentasi yang absolut ini;
“Eh, akhuya, coba lihat tampangku, kira-kira pantas jadian sama tuh harim?”
“Ya, ngak lah!” tentu saja mereka menjawab kompak…
“Jadi…?” Hanafi seperti belum begitu puas, sedangkan Sugeng belum begitu paham…
“Aku tidak punya maksud apa-apa dengan Nesha... kalau aku dekat dengan Nesha, itu sih rejeki namanya, kalian mau dekat sama dia… silahkan. Kalo aku, rejekiku seperti ini lah… rejeki kan harus disyukuri… Alhamdulilah… he he…”
“Begini Jun, sebagai teman kan harus saling mengingatkan, ente manusia ane juga manusia...”
“Lha, aku apa?!” Sugeng interupsi…
“Ente spesies baru Geng! ya iyalah, manusia juga!” Hanafi sekarang seolah berada di pihakku.
Hanafi lalu menarik nafas panjang…
“Jun, mudah-mudahan obrolan kita ini bisa jadi nasehat kalaufun kita ingat, dan peringatan sama kita sendiri kalo kita lupa atau memang belum tau.”
“Makasih ya Han… atas perhatian dan nasehatnya…”
“Ntar dulu! Ni urusan Nesha gimana lagi…?! Belum clear! Sugeng seperti tak puas membahas nama Nesha, lagi dan lagi… :-D
“Oke deh, sekarang Nesha anggota Rohis, anggota kita, baiknya kita buat clear aja deh yah… eh, Hanafi… ente nie yah, punya perasaan sama Nesha khan?” Sugeng tampak sangat bersemangat membahas masalah Nesha, pertama, Hanafi yang ditekannya, pasti giliranku selanjutnya, aku
“Ehm… iya Geng… insya Allah… uhk!” Hanafi terbatuk menahan malu yang tak tertahan, aku tau, dia menjawab dari hati yang terdalam, sampai tanpa sadar terlalu jujur...
“Itu sudah pasti Geng, aku yang ketua Rohis aja pengen ada jodoh sama dia. He he…”
“Lha…! Kamu nggak Geng?” Hanafi reaktif karena merasa terjebak.
“Nggak lah… bro!
Sugeng menjawab sangat reaktif… kami mendadak kagum dengan jawabannya, tapi masih sangsi…!
Sugeng pun nyengir…
“Yaa… nggak salah lagi bro!”
Muka Sugeng mendadak manyun.
Ha ha ha!
Tawa kami pun memenuhi kamarku…




Its old story, edited at 01.05 midnight, December 8th, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar